Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Glamor, Pamor Dan Katastrofi Perhelatan Olahraga

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yudhi-hertanto-5'>YUDHI HERTANTO</a>
OLEH: YUDHI HERTANTO
  • Senin, 17 Februari 2020, 13:39 WIB
Glamor, Pamor Dan Katastrofi Perhelatan Olahraga
Gelaran Asian Games 2018/Net
LEBIH dari sekadar sehat. Penyelenggaraan sebuah event olahraga, dapat menjadi ladang subur, dalam mengejar impian prestasi dan keuntungan nominal. Tanpa pertimbangan yang teramat kuat, mimpi indah bisa berakhir menjadi mimpi buruk.

Terlebih untuk sebuah kegiatan berlevel internasional, negara yang bertindak sebagai tuan rumah, tampil glamor dengan bersolek. Tapi bukan tanpa risiko, upaya mempercantik diri itu kerap berujung petaka. Katastrofi terjadi, seiring dengan puncak pamor.

Gelontoran biaya yang dikeluarkan, terkalkulasi dalam proyeksi penerimaan, selama gelaran tersebut berlangsung. Seolah mengakomodasi prinsip "biar tekor asal kesohor".

Pada tataran logika, terlihat semua pihak terlibat akan menangguk untung. Para atlet, mendapatkan peluang mengejar prestasi juara. Sementara itu, kumpulan sponsor memperoleh ruang publikasi dan promosi.

Keuntungan ditangkap penyelenggara, melalui tiket pertandingan hingga merchandise. Sisanya, publik puas karena mendapatkan tontonan menghibur. Dampak finansial tambahan, hadir melalui mekanisme pariwisata saat momen olahraga.

Ternyata tidak hanya itu, ada hal lain yang juga hendak ditampilkan di luar main course olahraga, yakni image dan kredibilitas bagi penyelenggara.

Paparan dari ekspose pemberitaan, serta sorot media dan pandangan mata akan tertuju pada kegiatan tersebut. Citra yang baik, dan kemampuan dalam mengadakan pentas olahraga tingkat dunia, menjadi modal bagi popularitas.

Olahraga dan Korupsi

Berkaca dari pengalaman pengelolaan bidang olahraga nasional, kita sesungguhnya berhadapan dengan situasi yang tidak menguntungkan. Sekurangnya, kementerian dan bahkan menterinya, pernah tersangkut skandal korupsi.

Monumen Hambalang, adalah saksi bisu. Betapa mimpi olahraga menjadi lahan prestasi, justru dimanfaatkan untuk kepentingan individu. Sejatinya, proyek tersebut menjadi lokasi sentral bagi pendidikan, pelatihan dan sekolah olahraga nasional. Upaya lancung itu, lalu berakhir dengan sia-sia.

Di bagian terbaru, kasus dana hibah KONI. Membuat Menpora sebelumnya, tersandung. Jatuh menjadi pesakitan. Olahraga menjadi sarana dan celah, untuk menggangsir uang negara. Jika diurutkan ke belakang, berbagai kasus terlihat nyata, mulai dari pengaturan skor, mafia pertandingan, dll.

Sebagai sebuah kegiatan sehat, olahraga justru mengandung berbagai hal yang "tidak sehat". Paling disorot, khususnya bidang olahraga sejuta umat, yakni sepak bola. Bak benang kusut, prestasi minim diperoleh, konflik mudah sekali dituai.

Pusaran nominal yang terlibat dalam sebuah kegiatan olahraga, tentu menarik para peminat lain. Tidak hanya terkait saat kegiatan, bahkan dimulai sejak persiapan pengadaan infrastruktur olahraga, hingga bagian penghujung penentuan juara. Semuanya, bisa dijadikan lubang mengail harta secara culas.

Politik Olahraga

Sepanjang sejarahnya, olahraga juga tidak bisa dipisahkan dari aspek politik. Kalau menengok di berbagai negara yang kental dengan olahraga, sepakbola misalnya, sebagaimana Italia, maka para pemilik klub elite sepak bola di negeri pizza itu, bisa memperoleh popularitas politik.

Jika menengok ke belakang. Bahkan ajang Asian Games 1962, sebagai gelaran olahraga di tingkat Asia yang keempat, dilangsungkan di Indonesia, di saat Republik ini masih terbilang remaja. Bung Karno, mengonsepsikan sebagai mercusuar dunia.

Pembangunan kawasan olahraga dan stadion Senayan. Infrastruktur jalan Semanggi. Hingga deretan wisma atlet serta hotel sebagai penginapan rombongan dari berbagai negara partisipan dipersiapkan. Tidak hanya itu, peristiwa tersebut melahirkan stasiun televisi pertama nusantara, TVRI.

Nama bumi pertiwi menjadi harum, meski menanggung beban berat. Karena kondisi perekonomian saat itu tidak cukup baik. Bahkan, Bung Hatta sebagai mantan Wakil Presiden, sempat melayangkan surat keberatan atas ngototnya Bung Besar, untuk menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah kegiatan Asian Games tersebut.

Aspek politik internasional, menjadi konsideran saat itu. Perlu panggung untuk memecah kebuntuan, dari pertikaian Blok Barat dan Blok Timur. Asia direpresentasikan melalui Indonesia, menjadi motor gerakan baru non blok. Menyampaikan pesan, sebagai kekuatan baru negara merdeka.

Pesta olahraga bisa jadi ajang politik, dan bersifat politis. Kisah jumping motor gede ala Presiden Jokowi, pada pembukaan Asian Games 2018 di Jakarta, disinyalir menjadi sarana start kampanye jelang proses politik 2019.

Setidaknya, atribut popularitas bisa diperoleh. Terlebih prestasi para atlet, juga mampu terdongkrak, bersamaan dengan riuhnya dukungan publik dalam negeri. Tidak mengherankan, ketua pelaksana Asian Games, kemudian menapaki jalur politik menjadi ketua tim kampanye hingga berbuah kursi menteri.

Bencana Event Olahraga

Salah satu kajian yang menarik terkait dengan pelaksanaan kegiatan olahraga, termuat dalam buku Brazilian Football and Their Enemies, 2014. Buku yang dilahirkan melalui rangkaian tulisan Pandit Football Indonesia tersebut, menggambarkan bagaimana negeri Samba berdarah-darah, dalam mewujudkan tontonan piala dunia 2014.

Bahkan setelah itu, spekulasinya bertambah. Rio de Janeiro lantas menjadi tempat perhelatan Olimpiade 2016. Tidak sedikit ongkos yang harus dikeluarkan, untuk mengadakan dua event terbesar sejagat tersebut. Padahal pada saat bersamaan, Brasil sendiri tidak dalam performa ekonomi terbaik.

Biayanya penyelenggaraan, mulai dari pembangunan venue stadion. Penginapan atlet, hingga transportasi dan akomodasi dipersiapkan. Dengan konsekuensi penggusuran, hingga penggunaan anggaran negara di luar prioritas. Kegiatan mewah bertaraf dunia hadir secara ironis, dalam siaran langsung televisi di berbagai permukiman kumuh. Ada ongkos sosial yang harus dibayar, dari pembangunan megaproyek perhelatan olahraga tersebut.

Model serupa terlihat pada kasus Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang. Moda transportasi bertajuk Light Rail Transit -LRT Palembang, meski lebih baik dalam hal operasionalisasi, daripada LRT Jakarta yang masih mangkrak, belum mencapai titik optimum utilisasi. Pasca menjadi sarana transportasi Asian Games, kegunaannya di bawah 50 persen kapasitasnya.

Investasi bernilai tinggi tersebut, kemudian harus berhadapan dengan penggunaan setelah kegiatan. Lebih jauh lagi, dibutuhkan biaya pemeliharaan rutin. Maka dengan mudah, ikon sebuah perhelatan kemudian menjadi monumen yang tidak terpakai sesudahnya. Pernyataan keinginan untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2032 perlu dipikir ulang.

Bagaimana dengan hiruk pikuk, lomba adu cepat Formula E di Ibukota? Kondisinya serupa dengan berbagai ilustrasi di atas. Bila tidak terkalkulasi dengan baik, rakyat pula yang harus menanggung derita. Jangan pula, hanya dimanfaatkan elite, sebagai ajang mencari citra.

Sebab, citra terbaik adalah dalam bentuk kinerja, bagi seluruh layanan kepentingan publik. Hitung dengan cermat! rmol news logo article

Penulis sedang menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA