Bangsa ini usai melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan Presiden-Wakil Presiden. Presiden dan Wakil Presiden baru pun telah terpilih yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Banyak prediksi dan analisis yang menyebutkan, ATHG kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan semakin menggila. Apakah NKRI mampu bertahan di tengah dahsyatnya ATHG tersebut atau justru tenggelam dalam disintegrasi bangsa? Apakah tujuan bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terwujudkan atau sebaliknya krisis multidimensi makin parah?
Pertanyaan-pertanyaan itu menyeret kita semua untuk
eling lan waspodo dan terus putar otak untuk
survive sebagai bangsa. Kondisi itu justru makin mempertebal ikhtiar kita untuk mewujudkan cita-cita luhur negara ini dibangun.
Robert E Quinn (1990) mengulas bahwa strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh.
Mengacu pada definisi strategi di atas, maka perencanaan kita sudah sejatinya mengacu pada Pancasila dan UUD 1945 dalam menjalankan roda kehidupan berabngsa dan bernegara. Dengan kata lain, Pancasila dan UUD 1945 harus dijalankan secara murni dan konsekuen.
Namun berbagai pertanyaan menggelitik di benak kita, apakah sudah dijalankan Pancasila dan UUD 1945? Apakah masih ada Pancasila dan UUD 1945? Tentu dengan berbagai ulasan yang telah dibahas, kita bisa menjawabnya. Dan sudah pasti kita tidak ingin menjadi generasi yang menyalahkan. Seluruhnya telah berjalan sesuai kehendak-Nya.
Saat ini kita hanya ingin menjadi generasi yang memperbaiki serta menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari kehancuran. Satu-satunya strategi yang ditempuh ialah dengan kembali kepada jati diri bangsa. Tugas kita semua tentunya membawa bangsa ini kembali kepada fitrah dan marwahnya.
Bung Karno pada tahun 1959 telah menegaskan bahwa relnya revolusi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945 (Tubbapi, 1965). Hal itu terkandung dalam pernyataan
Rediscovery our Revolution, yang tentunya untuk menjawab fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara pada kurun waktu 1949-1959. Di mana pola kenegaraan Indonesia saat itu telah bergeser ke arah liberal.
Menurut Prof. M.C. Ricklefs (1999) keadaan perpolitikan Indonesia sebenarnya sudah sangat kacau pada kurun waktu tahun 1950-1957. Namun, ia menambahkan “yang menarik dari itu semua ialah ketika negara terpecah-pecah, negara itu juga bersatu padu. Jarang sekali motto nasional Bhinneka Tunggal Ika lebih cocok dengan keadaan politik seperti itu. Akan tetapi, pelajaran dari periodisasi penuh konflik dan banyaknya perpecahan itu, akan melahirkan sebuah bangsa yang kuat secara sentralistik dan disegani oleh negara-negara besar”.
Periode agresi militer Belanda berakhir pada tahun 1949, setelah dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. KMB berakhir dengan adanya pengakuan kedaulatan atas “Negara Indonesia Serikat”. Lalu menyusul pada bulan Agustus 1950, republik kesatuan yang merupakan tujuan perjuangan kemerdekaan pada akhirnya terbentuk.
Terbentuknya republik kesatuan, menurut Bernard Dahm (1987), dibentuk melalui proses yang unik, kelompok negara-negara federal memberikan pernyataan yang di luar perkiraan Belanda. Dengan kebulatan tekad mereka nyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Dengan bergabungnya negara-negara federal ini, maka bubarlah Negara Indonesia Serikat dan berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950.
Namun sekali lagi perlu diingatkan, setelah menjadi NKRI di era tersebut dasar yang dipakai adalah UUD Sementara (UUDS) 1950, bukan UUD 1945. Iklim demokrasi liberal pun terjadi di fase ini.
Pada kurun waktu 1950-an, Bung Karno sudah melihat gelagat dari partai-partai politik dalam sistem parlementer yang tidak bisa menjaga kestabilan politik, ekonomi dan sosial. Gejolak di berbagai daerah juga terjadi. Biasa kita sebut dengan istilah pemberontakan.
Bung Karno dengan jelas menggambarkan kaitan antara sistem parlementer dan kapitalisme dalam suatu pidatonya yang berjudul Kedaulatan Rakyat dalam Pancasila pada kursus Pancasila di depan kader-kader Pancasila pada tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara, Jakarta.
“
Pernah dalam suatu pidato tatkala saya menghadiri perayaan tiga puluh tahun usianya PNI di Bandung saya katakan, ‘Parlementaire democratie adalah ideologi politik daripada kapitalisme yang sedang naik.’ Saya ulangi, parlementaire democratie adalah ideologi politik daripada kapitalisme yang sedang naik. Parlementaire democratie adalah ideologi politik daripada ‘kapitalismus im austieg’. Kebalikan daripada ‘aufstieg’ ialah ‘niedergang”.
Prof Miriam Budiarjo (2007) menyebut bahwa partai politik tidak mampu menyelesaikan permasalahan negara, jika permasalahan dalam internal saja tidak bisa diselesaikan, apalagi menyelesaikan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Bahkan pihak yang menjadi oposisi pun tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif. Oposisi hanya sibuk menonjolkan hal-hal yang negatif dari pemerintah.
Bung Karno selaku penggali Pancasila paham betul mengenai kondisi yang terjadi pada bangsanya di kala itu. Maka sebagai jalan tengah ia menawarkan untuk kembali kepada UUD 1945 agar Pancasila kembali hidup dalam alam kehidupan bangsa Indonesia.
Kendati sempat mendapat pertentangan, akhirnya ide tersebut terealisasi pada 5 Juli 1959 dalam suatu peristiwa yang disebut Dekrit Presiden. UUD 1945 resmi berlaku kembali menggantikan UUD 1950. Namun oleh banyak kalangan, implementasi Demokrasi Terpimpin saat itu juga menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
Begitupun di era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Pancasila dan UUD 1945 hanya menjadi barang yang sakral namun minim pada pelaksanaannya. Pada era Reformasi juga dirasakan hal yang sama, bahkan terjadi peristiwa yang cukup fundamental yakni terjadinya amandemen UUD 1945 dari tahun 1999 hingga 2002.
Alhasil, amandemen dalam masa itu tak ubahnya membuahkan UUD baru atau bisa kita sebut sebagai UUD 2002. Karena ditetapkan pada Agustus 2002 (Amandemen keempat).
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa kita tidak mencari kesalahan di setiap rezim. Kita berupaya untuk menjadi generasi yang obyektif dan bijaksana dalam menilai sesuatu. Kita berharap dapat memetik segala kebaikan dari setiap rezim serta membuang sesuatu yang dianggap menyimpang.
Kita pun menghendaki agar bangsa ini senantiasa ber-hikmat (kebijaksanaan) sesuai amanat sila keempat Pancasila, di mana menjadi bangsa yang selalu belajar dari kesalahan dan terus menggali kebenaran serta mendapat Tuntunan-Nya.
Sudah sepatutnya, generasi bangsa yang harus kita bangun saat ini ialah generasi ber-Ketuhanan YME alias yang memegang teguh Pancasila, generasi pejuang, patriot bangsa dan pembela kebenaran. Memang tidak mudah membangun generasi demikian di tengah derasnya arus globalisasi dan kapitalisme saat ini.
Namun yakinlah generasi itu akan terbangun kelak di tengah landasan yang benar. Generasi itulah yang benar-benar menjadi komponen utama dari suatu ketahanan nasional. Sebagai sebuah sistem, ketahanan nasional terdiri dari berbagai komponen dan masing-masing komponen atau gatra yang memiliki karakteristik saling berinteraksi dan berinterkoneksi satu dengan yang lainnya.
Komponen-komponen tersebut menggambarkan keseluruhan dari sistem yang saling berinteraksi satu sama lain sesuai bentuk Negara Kesatuan, dimana setiap wilayah terkandung aspek trigatra yang meliputi geografi, demografi, sumber kekayaan alam (SKA), dan aspek pancagatra yang meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan-keamanan (hankam). Kondisi gatra tersebut akan selalu berubah dan memiliki tingkat ketahanan masing-masing sesuai dengan pembinaannya (Lemhanas RI).
Dalam hal pengelolaan gatra, aspek ideologi merupakan hal terpenting yang harus dijaga. Pancasila sebagai ideologi bangsa yang melekat suatu sifat dan jati diri bangsa harus tetap terjaga serta diamalkan. Jika gatra ini bermasalah, bisa dipastikan pengelolaan seluruh gatra akan bermasalah.
Seperti yang telah diurai, Pancasila dan UUD 1945 merupakan suatu kesatuan yang utuh. Keduanya saling menguatkan layaknya kendaraan dengan bahan bakarnya. Setelah adanya Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, kehidupan berbangsa bernegara mengalami perubahan signifikan dan terjadi krisis multidimensi berkepanjangan.
Sehingga perlu adanya kaji ulang dalam konstitusi yang ada saat ini. Apakah UUD baru ini sudah sesuai dengan ruh Pancasila atau justru telah menghilangkannya? Hati nurani kita yang bisa menjawabnya.
Untuk menjawab perdebatan itu, ada baiknya kita menggunakan parameter ketahanan nasional saat ini, apakah melemah atau menguat? Jika yang terjadi saat ini ialah maraknya krisis moral dan etika maka barang tentu ketahanan nasional kita berada pada titik lemah.
Hal itu akan berimplikasi pada kesinambungan NKRI dan semakin jauhnya pencapaian tujuan bernegara kita. Oleh karena itu pengembalian jati diri bangsa menjadi sesuatu yang mutlak harus dilakukan -
Rediscovery Our Revolution atau Penemuan Kembali Revolusi Kita.
Kembali ke UUD 1945 naskah asli mungkin menjadi suatu jawaban atas itu. Sama halnya dengan yang dilakukan Bung Karno pada 5 Juli 1959. Kembali ke UUD 1945 naskah asli pada hakikatnya merupakan strategi untuk menyelamatkan kehidupan bangsa saat ini dan mewujudkan segala cita-cita luhurnya.
Hal itu setidaknya bisa menjadi renungan bagi presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto.
Terlebih, Prabowo juga pernah berstatement perihal kembali ke UUD 1945 naskah asli di 2019. Pernyataan itu terekam jelas di berbagai media. Apakah berani dan sanggup, Prabowo meluruskan kembali relnya revolusi Indonesia yang sudah menyimpang saat ini atau justru hanyut dalam penyimpangan sejarah yang semakin akut? Kita nantikan kiprahnya.
*Penulis adalah Redaktur RMOL
BERITA TERKAIT: