Hal itu disebabkan karena masa dinas Idham di kepolisian kurang dari 2 tahun. Tampaknya IPW kurang cermat membaca Undang-Undang.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang 2/2002 tentang Polri, diatur persyaratan untuk menjadi calon Kapolri.
Pasal 11
(1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.
(3) Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(6) Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
(7) Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
(8) Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Jadi, usia dan sisa masa dinas Calon Kapolri tidak diatur dalam Undang-Undang Polri.
Undang-Undang Polri hanya mewajibkan bahwa Calon Kapolri harus perwira tinggi yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
Artinya, pangkat yang terdekat dengan pangkat yang akan disandang sebagai seorang Kapolri, adalah pangkat yang berada 1 level di bawah pangkat Jenderal penuh, yaitu Komjen.
Undang-Undang Polri tidak mengatur mengenai batas usia dan sisa masa dinas Calon Kapolri. Hal ini bertolak belakang dengan persayaratan sebagai Calon Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).
Pasal 69 Undang-Undang 35/2009 tentang Narkotika disebutkan syarat-syarat pengusulan seseorang Calon Kepala BNN.
a. Warga negara Republik Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Sehat jasmani dan rohani;
d. Berijazah paling rendah strata 1 (satu);
e. Berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam pemberantasan Narkotika.
f. Berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun;
g. Cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
i. Tidak menjadi pengurus partai politik; dan
j. Bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjabat kepala BNN.
Jangankan mengenai batas usia, Undang-Undang Psikotropika ini juga mengatur soal berapa lama Calon Kepala BNN berkarier menangani kasus-kasus psikotropika.
Tahun 2018 lalu, Kapolri Tito Karnavian tidak menaati UU ini.
Sebab yang dicalonkan Tito sebagai Kepala BNN adalah Komjen Heru Winarko, yang sama sekali tidak pernah menangani kasus narkotika sepanjang berdinas di Polri.
Selain mengatur soal pengalaman, UU Psikotropika juga mengatur soal usia calon Kepala BNN yang diatur dalam Pasal 69 UU Psikotropika:
e. Berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam
penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam
pemberantasan Narkotika;
f. Berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun.
Hal ini, bertolak belakang dengan UU Polri dalam hal pemilihan Kapolri baru.
Pasal 11 UU Polri mengatur sebagai berikut:
(1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.
(3) Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(6) Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
(7) Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
(8) Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Jadi, Undang-Undang Polri tidak mengatur soal batas usia dan soal sisa masa jabatan Calon Kapolri. Oleh karenanya, pencalonan Idham Azis sama sekali tidak menabrak UU yang berlaku, apalagi bila ada yang menyebut pencalonan ini cacat administrasi.
Apapun itu, Idham Azis sangat layak dicalonkan menjadi Kapolri.
BERITA TERKAIT: