Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Demokrasi Indonesia: Dari Transisi Menuju Konsolidasi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Selasa, 23 April 2019, 15:44 WIB
Demokrasi Indonesia: Dari Transisi Menuju Konsolidasi
Ilustrasi demokrasi/Net
PEMILU 2019 telah menguak begitu banyak persoalan yang menyebabkan demokrasi di Indonesia sulit mencapai tingkatan konsolidasi, walaupun telah berhasil melewati tahapan transisi lebih dari 20 tahun. Bagi banyak negara muslim, apa yang telah dilakukan oleh Indonesia merupakan capaian yang luar biasa mengingat kebanyakan dari mereka gagal mengikutinya.

Meskipun Samuel P. Huntington menyatakan negara-negara yang berhasil melalui transisi demokrasi, hanya memerlukan dua kali pemilu yang dilaksanakan dengan jujur dan adil untuk mencapai tingkatan konsolidasi demokrasi. Akan tetapi Min Zaw Oo mengkritik teori ini dengan menyatakan bisa jadi negara-negara yang berhasil melalui transisi demokrasinya tidak akan pernah mencapai konsolidasi demokrasi, disebabkan demokrasinya berjalan di tempat atau berputar-putar karena sejumlah faktor.

Untuk kondisi di Indonesia, tampaknya teori yang diungkapkan oleh Min Zaw Oo lebih mendekati kebenaran.

Pemilu yang baru saja dilaksanakan meskipun membanggakan dari sisi ketertiban dan keamanan, akan tetapi di balik permukaan telah menyingkap begitu banyak kekurangan dan kelemahan. Kini saatnya kita mulai membuat daftar masalah kemudian bergegas menyusun agenda bagaimana harus membenahinya.

Jika disederhanakan, maka masalah demokrasi yang kita hadapi dapat dikelompokkan menjadi dua; pertama, masalah yang sifatnya teknis dan politis. Masalah ini relatif mudah dan bisa diselesaikan dengan cepat.

Kedua, masalah yang terkait dengan budaya dan kedewasaan dalam berdemokrasi. Masalah ini memerlukan waktu lama dan perlu kontinuitas untuk membangunnya.  

Masalah yang masuk kategori pertama dapat dipilah menjadi masalah yang termasuk kategori teknis dan administratif, mulai penyusunan daftar pemilih tetap (DPT), proses penghitungan suara, sampai pada mekanisme penyelesaian sengketa.

Sedangkan yang termasuk wilayah politis, mulai parliamentary threshold (PT) Pilpres maupun Pileg, pengertian dan pelaksanaan pemilu serentak, daerah pemilihan, sampai pada cara penghitungan suara.

Sedangkan yang termasuk kelompok kedua; bagaimana membangun kesadaran masyarakat agar bisa melaksanakan hak-hak konstitusionalnya dalam sistem demokrasi secara benar dan baik. Sementara ini masyarakat sudah melaksanakan hak-haknya sekaligus menunaikan kewajibannya dalam bentuk antusiasme dan partisipasi yang sangat tinggi dalam pelaksanaan pemilu.

Dengan kata lain, kegiatan yang terkait dengan masalah fisik sudah berjalan dengan sangat baik. Akan tetapi, yang terkait dengan persoalan nonfisik tampaknya masih menghadapi masalah besar.

Hal ini bisa dilihat dari bagaimana menentukan pilihan politik. Terbukti masih ditemukannya kasus politik uang di banyak tempat, baik dalam bentuk serangan fajar, serangan dhuha, maupun bentuk lain yang lebih halus dan terselubung. Kemudian, pertimbangan emosional lebih dominan ketimbang pertimbangan rasional dalam menentukan pilihan. Padahal demokrasi dibangun di atas pondasi rasionalitasnya.  

Hal lain terkait masalah ini adalah masih rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi, khususnya yang terkait langsung dengan pemilu, seperti KPU, Bawaslu, dan Mahkamah Konstitusi. Akibatnya ancaman untuk menggerakkan massa atau people's power masih nyaring terdengar.

Untuk membenahi wilayah ini harus dimulai dari elite politiknya, khususnya yang berada di jajaran partai politik. Sementara ini elite partai hanya berorientasi pada target capaian suara dalam Pileg dan bagaimana jagonya menang dalam Pilpres.

Akibatnya para pendukung dan masyarakat luas yang dimobilisasinya menjadi korban akibat  digunakannya narasi kemarahan, provokasi kebencian, sampai pada penyebaran hoax yang diproduksi secara sistemik dan disebarkan secara masif.

Harus diakui bahwa membangun budaya politik rasional tidak mudah. Bahkan kini berkembang fenomena baru di negara-negara yang sudah mapan demokrasinya seperti Amerika, dan sejumlah negara di Eropa. Mereka terperangkap ke dalam politik populisme dengan mengeksploitasi isu agama dan ras untuk tujuan memenangkan kontestasi baik untuk jabatan eksekutif maupun legislatif.

Melihat semua kenyataan ini walaupun terasa sulit dan berat, akan tetapi kita tidak punya pilihan lain (point of no return), kecuali terus menatap dan melangkah ke depan dengan penuh optimisme, diiringi kesediaan untuk melakukan introspeksi diri sekaligus melakukan perbaikan terus-menerus. rmol news logo article

Penulis Adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA