Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Aziz mengatakan, masyarakat yang tak menggunakan hak pilih alias golput, tak perlu dipidana Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Antiterorisme. "Kalau pidana tidak usah, sebab Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak mengatur hal itu," ujar Viryan.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, para pihak yang mengajak orang lain melakukan golput pada Pemilu 2019, tidak bisa dijerat dengan undang-undang apa pun.
"Tidak ada undang-undangnya, tidak ada hukumnya, mau pakai pasal apa, mau pakai teror, teror bukan, mau pakai hoaks, hoaks bukan," kata Mahfud.
Lain halnya jika ada seseorang yang menghalang-halangi orang lain untuk tidak bisa menggunakan hak pilihnya.
"Kalau cuma saya mau golput, ikut tidak, mau dihukum dengan apa," ujarnya.
Namun, bagaimana sebenarnya usulan dari Menkopolhukam Wiranto? Serta bagaimana tanggapan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait hal ini? Berikut penjelasan lengkap dari Wiranto dan Direktur Perludem Titi Anggraini.
Wiranto: Yang Membuat Kacau Ada Hukumannya
Bagaimana fenomena ajakan untuk golput saat Pemilu nanti? Mengajak golput itu yang namanya mengacau. Itu kan mengancam hak dan kewajiban orang lain.
Banyak yang bilang, golput tidak bisa dikenakan Undang-undang Terorisme. Bagaimana itu? Kalau Undang - undang Terorisme tidak bisa, undang-undang lain masih bisa. Ada Undang-undang ITE, KUHP bisa. Sesuatu yang membuat tidak tertib, sesuatu yang membuat kacau, pasti ada sanksi hukumannya.
Bagaimana pengajak golput akan dikenakan Undang-undang ITE? Begini, yang khawatir Bangsa Indonesia kalau golput banyak, kalau nanti ke TPS terancam, yang khawatirkan kita semua. Pemilu milik Indonesia.
Ucapan Anda kadung menimbulkan pro dan kontra... Saya memberikan statement seperti itu, semata-mata untuk kepentingan kita sebagai bangsa yang melaksanakan pemilu, bukan kepentingan pak Wiranto sendiri.
Usulan ini baru dari Anda? Kalau ada orang yang mengancam masyarakat lain untuk tidak datang ke TPS, namanya teror. Saya mengusulkan, mewacanakan, bagaimana kemudian dimasukkan saja ancaman tindak pidana terorisme, itu kan wacana, silakan dikaji.
Ada pihak yang tidak setuju, bagaimana itu? Tidak setuju ya tidak apa-apa. Kalau setuju, masih ada prosesnya. Tapi jangan hanya mengecam, mencela, pak Wiranto tidak tahu hukum, ngawur dan sebagainya.
Kasih solusi dong, ini kan milik Bangsa Indonesia. Pemilu adalah kewajiban kita sebagai bangsa, kewajiban konstitusional, kita amankan semuanya, jangan kita meributkan soal ini.
Apa yang terpenting dari usulan Anda? Yang penting, bagaimana masyarakat kita dari rumah bisa ke TPS dengan aman, bisa memilih sesuai hati nuraninya, tidak diancam, tidak dipaksa, dan sebagainya. Ini kan negara demokrasi.
Saya sebagai Menteri bertugas ikut menjaga agar pemilu aman, lancar, sukses.
Apa saran Anda? Saya selalu berusaha menyadarkan masyarakat, ini adalah kewajiban kita bersama, tugas kita bersama. Untuk itu, masyarakat kami imbau supaya jangan golput. Semua melaksanakan hak pilihnya yang lima tahun sekali, agar hak politiknya tidak disia-siakan.
Mengenai hoaks yang semakin ramai menjelang Pemilu, bagaimana ini? Ada hoaks yang mengajak masyarakat untuk tidak datang ke TPS karena tidak aman dan sebagainya. Itu yang saya terus menerus menyampaikan pesan kepada masyarakat, ayolah datang ke TPS, aman.
Lantas, bagaimana hoaks masuk Undang-undang terorisme? Masih panjang.
Belum ada kan aturan tersebut? Saya katakan seperti itu terus kayak fatwa, tidak. Undang-undang itu ada proses, tapi undang-undang tidak tabu untuk diubah. Kita menganut satu mazhab undang-undang yang progresif.
Maksudnya? Kalau undang-undang itu tidak lagi sepadan, tidak lagi bisa memberikan efek tangkal, efek jera dan keadilan dari satu kejahatan yang sudah berkembang karena kemajuan satu lingkungan, kemajuan manusia, teknologi, maka undang-undang diubah. Kalau tidak diubah, akan ketinggalan zaman, maka menimbulkan ketidaktertiban.
Titi Anggraini: Tidak Boleh Tegakkan Hukum Dengan Asumsi
Bagaimana pendapat Anda soal pernyataan Menkopolhukam tersebut? Mestinya, pejabat negara menjelang hari pemungutan suara, menyampaikan pendapat yang membawa optimisme, khususnya bagi pemilih untuk menggunakan hak pilih pada saatnya.
Bukankah pernyataan Wiranto, secara tak langsung, mengajak orang nyoblos? Mestinya, para pejabat menghindari pernyataan-pernyataan yang bisa memicu kontroversi atau polemik di masyarakat. Lebih baik upaya memperkuat partisipasi pemilih itu, dilakukan dengan cara yang mengedukasi, melahirkan semangat positif, dan suasana yang kondusif. Pernyataan akan mempidanakan penyebar golput, adalah penyataan yang kontraproduktif.
Kenapa Anda menganggap kontraproduktif? Karena, memilih adalah hak, dan hak itu sepenuhnya digunakan sesuai dengan kebebasan pemilih. Tidak boleh dipaksa, tidak boleh diintimidasi, apalagi dimobilisasi.
Tapi, Wiranto hanya mengancam yang mengajak golput. Bukankah itu bagus? Ajakan untuk golput itu, hanya bisa kena pidana kalau disertai kekerasan, upaya memberi iming-iming berupa uang, barang, atau jasa yang sifatnya transaksional. Itu kalau menurut Undang-Undang Pemilu.
Cuma itu faktor pidananya? Faktor lainnya, mengajak golput dengan menyebarkan hoaks, atau dengan menyebarkan fitnah, itu juga bisa dipidana. Tetapi, kalau ajakannya itu berupa kampanye damai, memang Undang-Undang Pemilu tidak bisa menjerat mereka dengan pidana.
Mestinya semua elemen, terutama pejabat negara mengevaluasi, kenapa sampai ada gerakan untuk mempromosikan golput.
Kalau sudah ketemu penyebab golputnya, lantas apa? Mengambil langkah yang progresif, kreatif dan inovatif, supaya lebih membangun optimisme dan semangat warga negara, untuk menggunakan hak pilihnya.
Bukan dengan menakut-nakuti. Kalau dengan menakut-nakuti, malah nanti membuat masyarakat semakin enggan, untuk menggunakan hak pilihnya.
Sepengetahuan Anda, apakah UU ITE atau KUHP bisa menjerat orang yang mengajak untuk golput? Tidak bisa. Memang apa dari UU ITE yang bisa diterapkan. Saya agak bingung. Maksudnya karena menyebabkan kegaduhan. Menyebabkan kegaduhan itu asumsi, dan kita tak boleh berpegangan pada asumsi. Justru, pendekatan pemidanaan untuk meningkatkan partisipasi, itu akan sangat merugikan bagi upaya untuk mengajak warga menggunakan hak pilihnya.
Menurut Wiranto, orang yang mengajak golput itu pengacau, makanya perlu dikenai sanksi pidana? Pengacau atau orang yang membuat kekacauan, itu baru asumsi. Itu juga masih sesuatu yang abstrak. Kita tidak boleh menegakkan hukum, dengan menggunakan asumsi atau perkiraan-perkiraan yang sifatnya abstrak. Justru kalau menurut saya, kita merespon fenomena golput itu, harusnya dengan menggunakan strategi yang lebih baik.
Misalnya? Dari sisi penyelenggara pemilu, mensosialisasikan pemilu dengan lebih maksimal. Dari sisi peserta pemilu, betul-betul mengedepankan politik gagasan dan program. Bukan bicara hal-hal yang menyebabkan kontroversi, dan menyebabkan sensasi. Sehingga, masyarakat bisa melihat kelebihan, kalau mereka menggunakan hak pilihnya.