Jangan dihitung setelah jadi bahan pangan lalu ada berapa orang memasak, membagi makanan, atau istilah dia seperti hajatan.
Itu cara menghitung yang salah. Cara menghitung semacam itu bersifat instan. Bagaimana kalau bahan makanannya impor? Maka makan gratis hanya akan menciptakan kesempatan kerja, pendapatan dan
multiflier effect di tempat lain atau di luar negeri.
Cara menghitung seperti disebutkan Sri Mulyani tersebut parsial, tidak utuh. Seharusnya juga dihitung berapa orang yang kehilangan pekerjaan akibat program MBG tersebut, mulai tukang roti, atau tukang jual makanan yang lewat pagi pagi menjual sarapan untuk anak anak, warung makan atau kantin di sekitar sekolah yang bangkrut, dan lain sebagainya. Itu jumlahnya bisa lebih banyak lagi yang gulung tikar akibat MBG. Jadi cara hitungnya
ojo ngono Mbak Sri.
Jadi makan bergizi gratis jangan dihitung seperti menghitung orang hajatan. Karena itu seperti es teh. Yakni es batu di dalam teh. Teh ibarat ekonomi, es batu ibarat makan bergizi gratis, sama sekali tidak menambah skala ekonomi. Es batu di dalam teh tidak akan membuat es tehnya meluber.
Jadi program ini tidak akan menambah kapasitas ekonomi apa pun, tidak menambah pertumbuhan ekonomi sedikitpun, tidak akan menambah pergerakan ekonomi, jikalau tidak
linked dengan perkembangan pertanian dalam arti luas dan industri pangan.
Oleh karenanya makan bergizi gratis harus memberikan rangsangan yang besar bagi masyarakat untuk memajukan, meningkatkan produksi pertanian, peternakan, perikanan nasional dan peningkatan industri makanan yang mendukungnya.
Ini saya kasih contoh untuk usaha pertanian dan peternakan yang bagus yakni bagaimana makan bergizi gratis bisa membangkitkan kembali peternakan bekicot di Segitiga Emas yakni Kediri, Trenggalek, Tulung Agung Jawa Timur. Itu baru menambah stok bahan pangan berprotein tinggi. Nanti kalau banyak produksinya maka bisa di ekspor. Harganya mahal mbak Sri. Untuk peternakan wabah belalang jangan dulu.
Sebab kalau tidak maka program ini malah akan berdampak negatif. Bukannya memberikan
multiflier effect malah memberikan diskriminatif Effect. Belum lagi dampak sosial lainnya jika nanti para pemasok bahan makanan berasal dari luar wilayah ekonomi lokal setempat. Bisa gawat.
Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)
BERITA TERKAIT: