Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Perlukah Pelajaran Bencana Di Sekolah?

Jumat, 18 Januari 2019, 09:49 WIB
Perlukah Pelajaran Bencana Di Sekolah?
Foto/Net
rmol news logo Wilayah Indonesia masuk dalam cincin api (ring of fire) bencana. Mulai dari gempa berskala kecil, yang hanya menimbulkan efek goyang dan tanpa korban, baik korban jiwa maupun infrastuktur. Selain bencana gempa, bencana longsor pun akrab terjadi. Pun bencana tsunami.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Kini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun memandang penting memasukkan pendidi­kan bencana dalam kurikulum pendidikan. Upaya itu dilakukan agar masyarakat mendapatkan pengetahuan sejak dini terkait kebencanaan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, kementeriannya akan memberikan dasar-dasar keterampilan hidup atau basic of life skills kepada siswa. Salah satunya mengenai pendidikan ketahanan terhadap bencana.

Mendikbud menegaskan, pendidikan ketahanan bencana dimasukkan ke dalam kurikulum. Namun, dia juga memper­timbangkan membuat mata pelajaran khusus, Lantas bagaimana sebetulnya pelajaran soal bencana ini? Apakah akan dibuat mata pelajaran tersendiri atau tidak? Bagaimana pula pandangan BNPB selaku instansi yang menangani bencana terkait rencana ini? Berikut penuturan lengkapnya.

Muhadjir Effendy: Kami Sisipkan Ke Pelajaran Relevan
 
Persiapan Kemendikbud seperti apa dalam mengalokasikan ang­garan untuk mitigasi bencana?
Kami tidak bicara anggaran, tapi kami bicara program. Beberapa waktu lalu Pak Presiden Jokowi sudah menyampaiakan agar kegitan kebencanaan itu berfungsi untuk mengedukasi, agar dipercepat.

Maksudnya?
Ya, disisipkan ke mata pelajaran yang relevan. Antara lain geografi, Ilmu Pengetahuan Alam, kemu­dian masuk di salah satu bagian dari program penguatan karakter (PPK) yang bermuatan pendidikan karakter. Sebab di PPK sudah ada komponen pencegahan penggunaan obat-obatan terlalarang.

Kemudian tentang toleransi mencegah terjadinya intoleran. Lalu kejahatan di sekolah maupun di luar sekolah. Ada juga radikalisme. Jadi nanti juga masuk dalam keben­canaan.

Komisi VIII DPR memberikan usulan agar pendidikan bencana disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing?
Pasti kan sudah ada paketnya. Baik paket yang diproduksi oleh Kemendikbud dan UNICEF, maupun BNPB. Kami sudah siapkan jenisnya. Misalnya dari bencana banjir, gempa, dan bencana tsunami, sudah ada semua. Nantinya kami tinggal ses­uaikan daerah yang langganan gempa lebih ditekankan pada masalah ba­gaimana miti­gasi bencana gempa. Kalau daerah banjir bagaimana mitigasi banjir. Dan seterusnya bencana yang kerap dialami di Indonesia.

Apakah anggaran yang dibahas disebutkan nominalnya. Lantas berapa anggarannya?
Tidak ada (anggaran).

Pihak BNPB menolak jika kuri­kulum bencana masuk dalam PPK, lantaran muatan PPK sudah ban­yak. BNPB khawatir kurikulum bencana tidak fokus. Bagaimana itu?
Saya belum dengar hal itu. Namun itulah kebijakan Kemendikbud yang tidak mungkin jika jadi mata pela­jaran. Sekarang saja sudah banyak sekali masyarakat yang mengang­gap itu (kurikulum bencana) sangat penting jadi mata pelajaran sendiri. Namun nantinya anak-anak tasnya bisa lebih berat.

Kalau tenaga pengajarnya adakah pendidikan khusus juga?
Ruangan PPK itu kan sangat lebar, tidak hanya guru namun bisa men­gundang sumber dari luar. Resource lingkar itu artinya sekolah itu sebagai pendukung sumber.

Jadi nanti bisa saja dari BNPB yang memberikan kepada guru atau kepada siswa. Bisa juga tim relawan yang memiliki pengalaman di lapangan. Jadi tidsk harus guru. Pokoknya dibuat secara luwes bah­kan nanti sesuai saran Pak Presiden harus ada simulasi yang masif tentang bagaimana memitigasi terjadinya bencana.

Contohnya?
Misalnya, satu daerah katakan­lah provinsi, hari ini kita siap-siap harus simulasi secara serempak se­luruh elemen mulai kantor hingga sekolah. Terlebih pasar kalau tiba-tiba ada bencana.

Kemudian bagaimana harus melakukan dalam watu yang ber­samaan dan itu sesuai dari acaman daerah masing masing. Misalnya banjir, gunung meletus, longsor, dan lain-lain.

Kabarnya, surat keterangan tidak mampu dihapuskan. Lantas sebagai penggantinya siswa yang ingin masuk sekolah bisa menggunakan surat apa selain SKTM?
Kan bisa gunakan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Ya pokoknya yang termasuk dalam program keluarga harapan.

Mekanismenya bagaimana misalkan siswa datang ke sekolah atau seperti apa?
Bisa siswa atau sekolah memiliki inisiatif sendiri bilamana yang KIP sekolahnya diusulkan langsung ke sekolah yang akan melanjutkan. Maka dari itu saya berharap ada kerja sama yang baik di tingkat bawah. Jangan menunggu juplak dan juknis kemudian tidak bergerak.

Pasalnya sudah ada Permendikbud-nya. Hal ini bertujuan agar ada inisiatif dari sekolah lebih mendahului bukan menunggu orang tua mendaf­tarkan anaknya ke sekolah.

Akan tetapi mereka turun sendiri ke keluarga bekerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat lalu mereka di­data dan diundang untuk masuk ke seklahnya. Sehingga tidak harus menunggu Mei. Artinya Februari mereka sudah mulai bergerak men­data anak-anak yang akan masuk di sekolahnya masing masing lalu aktif belajar.

Sutopo Purwo Nugroho: Muatan PPK Terlalu Banyak, Tidak Fokus

Mendikbud kan berencana me­masukkan materi pelajaran soal bencana ke Pelajaran Pendidikan Karakter. Bagaimana pandangan BNPB?

Kami tentu sangat mendukung adanya pelajaran soal kebencanaan. Tapi harap dipertimbangkan kembali, rencana Mendikbud yang hendak me­masukkan pendidikan kebencanaan, ke mata pelajaran pendidikan karak­ter karena tidak akan fokus. Sebab, pendidikan karakter terlalu banyak muatannya, ada narkoba, terorisme, bela negara, dan lain-lain.

Lalu harus dimasukan kemana?
Jangan dijadikan mata pelajaran baru, tapi harus dimasukan dalam jenis pelajaran yang lain. Kalau hanya masuk program penguatan pendidi­kan karakter saja, itu terutama mem­berikan basic of life skills. Jadi hanya dasar dasar keterampilan hidup, tapi harus memasukan dalam mata pela­jaran lain seperti Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Geografi juga harus wajib, kalau selama ini kan hanya pilihan.

Perlu kah ada materi simulasi bencana juga?
Nah itu masuk nanti ke dalam esktrakulikuler atau muatan lokal (mulok). Jadi dalam mulok tadi disesuaikan dengan tingkat anca­mannya. Bagi masyarakat sekitar Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, yang paling banyak tentang gempa bumi dan ancaman tsunami, karena ancaman paling banyak di sana. Bagi masyarakat Kalimantan tidak perlu kegempaan, tsunami, erupsi. Tapi tentang kebakaran hutan lebih banyak di sana, tentang banjir yang memang paling banyak ada di Kalimantan.

Memang di ekstrakulikuler atau mulok belum masuk ya?

Ya belum, makanya sekarang ini dibahas kembali. Makanya ketika Mendikbud menyampaikan seperti ini, banyak di grup komunitas para pendidik itu mereka menyampaikan keluhan kepada saya. Saat ini kami akan mencoba melakukan diskusi, dan nantinya mereka akan mem­berikan masukan kepada mendikbud, agar tidak hanya terpaku ke sini saja, tetapi juga bisa masuk ke jenis pelaja­ran yang lain. Kalau hanya program penguatan pendidikan karakter, ya nanti gurunya kesulitan.

Kan sudah banyak sekali materi di program penguatan pendidikan karakter, dan itu sudah masuk dalam kurikulum. Misalnya soal pendidikan antikorupsi, narkoba, dan bela nega­ra. Sementara itu soal ini bisa juga di­masukan dalam pendidikan yang lain, mata pelajaran yang lain. Misalnya tadi ke IPS, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), geografi, muatan lokal yang ada di sana, dan sebagainya.

Perlu dibuat mata pelajaran tersendiri?
Tidak. Diselipkan saja satu bab khusus, tapi jangan menjadi pilihan. Misalnya, soal pendidikan keben­canaan itu di SMA sudah masuk dalam satu bab pelajaran geografi, tapi hanya wajib untuk yang IPS. Sementara untuk di kelas IPA tidak wajib. Padahal urusan bencana itu tidak mengenal. jurusan IPA atau IPS. Anda jurusan bahasa juga bisa terkena bencana.

Pembahasannya sudah sampai di mana?
Nah, ini kami sudah beberapa kali ketemu sama Kemendikbud. Tapi statment terakhir yang disampaikan oleh mendikbud, soal bencana ini akan dimasukan dalam program penguatan pendidikan karakter, yang di dalamnya sudah ada muatan soal narkoba, teroris, bela negara, dan lain-lain. Jadi tidak khusus, mungkin hanya tiga kali pelajaran, atau tiga kali tatap muka. Nah kemudian bukan menjadi mata pejaran khusus.

Kalau ditambah jadi pejaran sendiri kasihan, sekarang anak anak SD tasnya lebih berat dari pada mahasiswa. Itu karena terlalu banyak mua­tan tadi, sehingga menurut kami ini perlu diba­has kembali. Berdasarkan pengalaman kami, eng­gak mung­kin pendidi­kan bencana itu hanya per­temuan sekali, satu semester hanya tiga kali tatap muka, itu tidak mungkin. Pengajaran ten­tang ini harus terus menurus. Makanya kami maunya diselipkan dibanyak materi pendidikan, kemudian harus disertai dengan pelati­han, dimana itu tidak kalah penting.

Harus disimulasikan juga ya?
Ya sumulasi itu wajib, tergantung seperti apa ancaman bencananya. Kalau dia tinggal di Kalimantan, di Riau, Jambi, di sana ancamannya kebakaran hutan. Jadi diajarkan bagaimana men­genali supaya tidak membakar. Lalu kalau teruadi kebakaran dan banyak asap harus seperti apa.

Jadi apa yang diperlukan itu yang diajarkan, itu yang disimulasikan, dilatih. Enggak perlu dia diajari soal tsunami, karena enggak rawan gempa bumi dan tsunami. Tiap daerah dia dia­jarkan materi yang berbeda. Kalau di Jakarta rawan banjir, kebakaran, dan gempa, tiga itu yang diajarkan. Bukan soal kebakaran hutan, karena enggak ada. Tidak usah belajar erupsi gunung juga. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA