Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Korupsi Penyediaan Air Minum Untuk Korban Tsunami, Hukum Mati Saja?

Jumat, 11 Januari 2019, 09:12 WIB
Korupsi Penyediaan Air Minum Untuk Korban Tsunami, Hukum Mati Saja?
Foto/Net
rmol news logo Kasus dugaan suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membuka kembali diskursus penggunaan pasal hukuman mati bagi para koruptor. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji kemung­kinan itu.

Praktik korupsi SPAM terjadi di daerah bencana Donggala, Palu, Sulawesi Tengah.

KPK bisa saja menjerat para pelaku dengan ancaman hukuman mati. Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur hukuman mati.

Pasal itu berbunyi; (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuan­gan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pi­dana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimak­sud dalam ayat (1) dilakukan dalam 'keadaan tertentu', pidana mati dapat dijatuhkan.

Dalam bagian penjelasan, 'keadaan ter­tentu' adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi. Yaitu, apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggu­langan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

"Apakah masuk kategori pasal 2 atau tidak. Nanti kita pelajari dulu, kita belum bisa pu­tuskan ke sana," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

Pasal yang sudah pasti digunakan KPK sementara ini, diungkapkan Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, pasal suap. Yakni, pasal 5, 13, 11, ataupun 12 Undang-Undang Tipikor. Ancaman hukumannya paling maksimal seu­mur hidup atau minimal empat tahun.

Dalam kasus korupsi SPAM, KPK men­etapkan delapan tersangka. Yakni, Kepala Satker SPAM Strategis/PPK SPAM Lampung Anggiat Partunggul Nahot Simaremare, PPK SPAM Katulampa Meina Woro Kustinah, Kepala Satker SPAM Darurat Teuku Moch Nazar, dan PPK SPAM Toba 1 Donny Sofyan Arifin, sebagai tersangka penerima.

Kemudian Dirut PT WKE Budi Suharto, Direktur PT WKE Lily Sundarsih, Direktur PT TSP Irene Irma, serta Direktur PT TSP Yuliana Enganita Dibyo, sebagai tersangka pemberi.

Total suap yang diduga diterima para pejabat Kementerian PUPR itu sebesar Rp 5,3 miliar, 5.000 dolar AS, dan 22.100 dolar Singapura. Duit itu diduga merupakan bagian dari fee 10 persen dari total nilai proyek Rp 429 miliar yang didapat oleh kedua perusahaan itu.

Penerapan hukuman mati bagi para pelaku memang masih dikaji. Polemik terkait wacana hukuman mati itu sudah berkembang. Banyak yang mendukung wacana itu, namun ada pula yang menentangnya.

Mereka yang mendukung mengatakan, kasus korupsi SPAM merupakan momen­tum bagi KPK untuk menciptakan efek jera bagi para koruptor. Sebaliknya para penentang menilai ancaman hukuman mati melanggar HAM.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang men­jelaskan, kemungkinan KPK menggunakan pasal hukuman mati bisa jadi terhalang lan­taran bencana gempa dan tsunami Donggala tidak ditetapkan sebagai bencana nasional. Sementara Komisioner Komnas HAM Amiruddin menentang penerapan hukuman mati karena dianggap melanggar konstitusi.

Berikut penuturan keduanya kepada Rakyat Merdeka:

Saut Situmorang: Pilihannya Tenggelam Atau Melawan Korupsi
Kajian KPK untuk menghukum mati koruptor, selain menjeratnya dengan pasal 2 Undang-Undang Tipikor, apakah ada lagi payung hukumnya?
Dapat dilakukan dengan pasal lain yang sesuai, namun dilakukan dengan semaksimal mungkin.

Jadi koruptor tersebut dikena­kan pasal apa?
Pemberinya pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 juncto pasal 55 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan juncto pasal 64 KUHP. Sedangkan penerima pasal 12 huruf a atau b atau pasal 13 juncto KUHP pasal 64.

Apa benar pertimbangan ren­cana hukuman mati ini lantaran terjadi di daerah bencana?
Rencana atau wacana itu datang dari publik yang geram dengan prak­tik korupsi yang ada kaitan dengan bencana alam. Mengingat Indonesia sering mendapatkan bencana alam. Sementara dalam kasus SPAM ini yang Donggala belum masuk dinyatakan bencana alam nasional. Bagi KPK sepanjang formil dan materilnya terpenuhi dan tentu di situ perdebatannya.

Jadi kasus-kasus korupsi yang sebelumnya, seperti korupsi yang dilakukan Bupati Cianjur terbe­bas dari jeratan hukuman mati?
Kembali ke ketentuan atau 'dalam keadaaan tertentu' yang dimak­sud pada pasal 2 Undang-Undang Tipikor 1999/2001. Jadi memenuhi atau tidak untuk kasus itu?

Mau menjerat dengan hukuman mati, tidak khawatir ditentang aktivis HAM?
Hukum itu dibangun dengan per­adaban hukum, nilai-nilai yang tum­buh dan berkembang di masyarakat, filosofis, yuridis, sosiologis, dan lain-lain. Hukum itu hakikatnya benda hidup karena dia mengatur dinamika masyarakat. Jadi itu se­babnya ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan pada cara kita mengatur aspek formil, norma baru, dan lain-lain, serta mengembangkan penataan aspek materil.

Jadi apakah kita mau memak­simalkan hukuman atau hukuman mati (agar apa yang disebut adil itu datang) itu pilihan negara bu­kan pilihannya KPK saja. KPK itu pelaksana undang-undang bukan pembuat undang-undang. Maka mari kita uji materil dan uji formil apakah kita memang konsisten dengan jargon-jargon extra ordi­nary crime. Sementara itu cara kita menanganinya masih dominan nor­matif lambat untuk jadi progressif. Itu pilihan kita semua. Mau tengge­lam dalam lautan korupsi atau mau berenang dan melawannya dengan extra effort.

Apakah KPK tidak beren­cana menuntut hukuman seumur hidup atau memiskinkan koruptor SPAM Donggala, Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) dibanding huku­man mati?
Setiap kasus memiliki keunikan­nya. Biarkan jaksa KPK bersama pimpinan KPK yang akan membuat seperti apa tuntutan yang akan diputuskan oleh yang mulia hakim tipikor kita.

Apakah KPK tidak beren­cana menuntut hukuman seumur hidup atau memiskinkan koruptor SPAM Donggala, Palu, Sulteng dibanding hukuman mati?

Setiap kasus memiliki keunikan­nya. Biarkan jaksa KPK bersama pimpinan KPK yang akan membuat seperti apa tuntutan yang akan diputuskan oleh yang mulia hakim tipikor kita.

Berapa tersangka yang berhasil diamankan KPK dalam kasus korupsi Donggala, Palu, Sulteng SPAM?
Sejauh ini seperti yang disampai­kan dari 21 orang yang diamankan terdapat dugaan empat orang pem­beri dan empat orang penerima telah ditahan. Sedangkan sisanya dikembalikan.

Apa saja barang buktinya?
Pada saat operasi tangkap tangan tersita uang Rp 3 miliar lebih, 23 ribu dolar Singapura dan 3200 dolar AS. Dan sejumlah hasil sitaan lain saat geledah pasca OTT dan kebetulan saya belum update.

Apakah semua tersangka akan dikenakan pasal yang sama?
Penerima disangkakan pasal 12 atau pasal 11 juncto pasal 64 (1) KUHP. Sedangkan pemberi disang­kakan pasal 5 atau pasal 13 Juncto pasal 64 KUHP Ayat (1).

Apakah KPK juga akan me­minta keterangan dari Menteri PUPR Basuki Hadimulyono?
Tentu sepanjang itu apakah relevan dengan kasus nanti penyidik akan mendalami hal itu.

Amiruddin, Pilih Hukuman Mati, Tidak Baca Konstitusi
Bagaimana pandangan Anda soal wacana hukuman mati terse­but?
Prinsipnya kontitusi Indonesia Pasal 28 itu menyatakan, hak hidup itu adalah hak yang tidak bisa di­kurangi, dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, seluruh ketentuan pidana di Indonesia, vonisnya tidak boleh lagi ada hukuman mati. Undang-undang kita mestinya menyesuaikan. Jadi kalau ada orang, yang masih mau pilih hukuman mati, berarti dia enggak baca itu konstitusi. Itu prinsip hak asasi manusia, bahwa hak hidup itu adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Bukan berarti, hak asasi manusia ini permisif terhadap para koruptor.

Terhadap korupsi, pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Dengan apa?
Kalau dia pejabat publik, orang penting, tentu lipat gandakan saja vonis hukum kurungannya, lalu sita semua asetnya. Kalau mau memberi­kan hukuman diperberat saja. Karena apa? Hukuman mati itu tidak menye­lesaikan persoalan. Selain itu hukuman mati adalah hukuman yang tidak bisa dikoreksi. Begitu orang dieksekusi, kalau nanti ada bukti yang menyatakan sebaliknya tidak bisa diubah lagi. Jadi prinsipnya kayak begitu. Kalau mau dibuat berat misalnya hukum saja dia 30 tahun kek vonisnya. Hukuman berat kayak begitu.

Yang dikorupsi itu kan dana untuk daerah bencana?
Karena daerah bencana maka lipat gandakan hukumannya. Bukan lalu orangnya dihukum mati, bukan be­gitu. Lipat gandakan saja hukuman­nya. Misalnya, karena yang dikorupsi dana untuk daerah bencana, misal hakim kasih vonis 40 tahun kan bisa. Begitu boleh.

Saya rasa hukuman yang seperti itu bisa menimbulkan efek jera. Orang mikir nanti, waduh 40 tahun. Tapi kalau pengadilan juga vonisnya cuma 5 tahun, 3 tahun ya sama saja.

Anda yakin hukuman penjara yang lama itu bisa menyebabkan efek jera?
Orang kalau sudah masuk penjara lebih dari 10 tahun, sudah mengkerut dia itu. Tinggal masalahnya, Ditjen Lapas Kemenkumham itu mesti dibersihkan. Jangan sampai orang dalam penjara masih bisa keluyuran. Kalau begitu bukan vonisnya yang salah. Makanya saya suka menga­takan itu Menteri Hukum dan HAM beresin dong itu. Masak orang yang harusnya dipenjara masih bisa da­gang narkoba, masih bisa keluyuran. Itu artinya kan yang enggak beres aparaturnya, bukan vonisnya.

Kalau hukumannya penjara seumur hidup saja sekalian ba­gaimana?
Boleh divonis hukuman kurungan seumur hidup. Dari perpektif HAM tidak ada masalah. Intinya Komnas HAM menjunjungi tinggi hak hidup. Tapi Komnas mendukung huku­man seberat-beratnya pada pelaku korupsi. Hal itu bisa dengan melipat gandakan vonis atau penyitaan aset­nya sesuai ketentuan yang ada.

Ketentuan hukuman mati kan ada dan diatur juga di dalam Undang-Undang Tipikor. Bagaimana dong?
Makanya, saya bilang prinsip kon­stitusinya itu mesti dipakai. Hal-hal yang bertentangan dan tidak sesuai dengan konstitusi ya mesti dikesa­mpingkan. Kalau enggak kita akan hukum mati orang setiap hari nanti. Dan enggak ada efek jeranya juga kan. Atau bisa juga kita buat, selain huku­man penjara sekian puluh tahun, dia dikenakan kerja sosial juga. Misalnya suruh bersihin WC di terminal-terminal bus atau stasiun kereta. Itu kan hukuman juga, ditonton banyak orang dia ketika melakukan itu. Jadi keluarganya yang menikmati hasil korupsi itu juga akan merasakan. Itu kalau kita mau, berlakukan hukuman yang berat, lalu kasih sanksi sosial juga, pasti akan ada efek jeranya.

Apa iya hukuman sosial bisa menimbulkan efek jera juga?
Iya. Mestinya KPK mikir ke situ. Kamu bisa bayangin saja. Dulu kan ada hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditangkap, lalu dihukum. Coba dia divonis 30 tahun penjara, terus sita asetnya, plus harus keria sosial setiap beberapa bulan, meny­apu jalanan misalnya. Jadi malu kan dia karena dilihat orang. Jadi hidup orang enggak dilanggar, tapi diberi hukuman berat. Kenakan saja dia tiga hukuman itu sekaligus, penjara yang lama, sita asetnya sebanyak-ban­yaknya sesuai ketentuan yang ada, dan hukum juga dengan kerja sosial. Kalau itu dilakukan saya yakin bisa menimbulkan efek jera. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA