Jilbab merupakan fenomena simbolik yang sarat dengan makna. Jika yang dimaksud jilbab penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama, sebuah manuskrip hukum keluarga paling tua sepanjang penemuan arkeologi, diperkirakan beumur 3000 SM, kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2000 SM) dan Code Asyiria (1500 SM). Pasal-pasal yang lebih jelas tentang jilbab dapat dilihat di dalam Code Asyiria yang diÂanggap kelanjutan code-code sebelumnya.
Menurut Morris Jastrow dalam Veiling in AnÂcien Assyria, peraturan mengenai jilbab sudah ditegakkan di kota-kota tua sekitar Mesopotamia dan Babilonia, terutama Assur, ibu kota Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya perempuan budak dan prostitusi tidak boleh menggunakannya. Jilbab merupakan simbol perlengkapan
(sign of appurÂtunance) bagi seorang isteri yang punya suami atau anak gadis yang punya ayah atau wali. LamÂbat laun, jilbab menjadi simbol kelas menengah atas di dalam masyarakat. Komunitas yang tidak menggunakannya dianggap perempuan kelas bawah atau tidak terhormat. Bahkan Emile MarÂmorstein dalam
The Veil in Judaism and Islam menambahkan, motif, warna dan model tertentu juga disesuaikan dengan kelas masyarakat.
Dalam masa perang panjang antara Romawi- Byzantium dengan Persia sampai pertengahan abad ke-6 M, rute perdagangan antar pulau mengalami perubahan untuk menghindari akiÂbat buruk wilayah peperangan. Di beberapa peÂsisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi kota penting sebagai wilayah transit perdagangan dari Timur ke Barat atau dari Utara ke Selatan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari daerÂah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi di masa ini. Kultur HelleÂnisme-Byizantium dan Mesopotamia-Sasania ikut serta menyentuh wilayah ini yang tadinya geokultural tersendiri. Menurut De Vaux dalam Sure le Voile des Femmes dans l'Orient AnÂcient, tradisi jilbab (veil) dan pemisahan peremÂpuan (
seclution of women) bukan tradisi orisinal bangsa Arab. Bahkan fenomena jilbab juga buÂkan merupakan bagian dari Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel, seperti ReÂbekah yang mengenakan jilbab (Kitab Kejadian Bab 24:64,65), berasal dari etnik Mesopotamia, yang memang jilbab menjadi pakaian adatnya.
Jilbab pada mulanya tradisi Mesopotamia- Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellinistik-Bizantium. KedÂua tradisi ini menyebar menembus batas-baÂtas geokultural melalui wilayah-wilayah jajahan kedua adidaya tersebut. Tidak terkecuali bagian utara dan timur jazirah Arab, seperti Damaskus dan Bagdad. Ketika perang saudara (fitnah kubra jilid I) berkecamuk di Madinah, Mu'awiyah memÂboyong ibukota politik dunia Islam ke Damaskus bekas wilayah protektorat Romawi-Byzantium. Abbasiah menaklukkan Bani Umayyah, tidak mengembalikan ibukota politik Islam ke temÂpat kelahirannya, Mekah-Madinah, tetapi malah di boyong ke timur, Bagdad, bekas wilayah proÂtektorat Persia. Menurut Fadwa el-Guindi dalam Veil Modesty, Privacy, and Resistance, wacana jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaÂban hellenisme dan persia di zaman Muawiyah dan Abbasiyah.
(Bersambung)