Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membaca Trend Globalisasi (33)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Trend Jilbab (1): Latar Belakang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 09 Januari 2019, 09:24 WIB
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Trend Jilbab (1): Latar Belakang
Nasaruddin Umar/Net
BUSANA muslim yang laz­im disebut jilbab, hijab, atau berbagai sebutan lain, kini semakin trendy. Busana ini bukan hanya trendy di dunia Islam tetapi juga di negara-negara minoritas muslim. Bahkan sudah berkali-kali menyita perhatian di dalam peragaan busana interna­sional di kota mode Perancis, Italia, dan New York.

Jilbab merupakan fenomena simbolik yang sarat dengan makna. Jika yang dimaksud jilbab penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama, sebuah manuskrip hukum keluarga paling tua sepanjang penemuan arkeologi, diperkirakan beumur 3000 SM, kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2000 SM) dan Code Asyiria (1500 SM). Pasal-pasal yang lebih jelas tentang jilbab dapat dilihat di dalam Code Asyiria yang di­anggap kelanjutan code-code sebelumnya.

Menurut Morris Jastrow dalam Veiling in An­cien Assyria, peraturan mengenai jilbab sudah ditegakkan di kota-kota tua sekitar Mesopotamia dan Babilonia, terutama Assur, ibu kota Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya perempuan budak dan prostitusi tidak boleh menggunakannya. Jilbab merupakan simbol perlengkapan (sign of appur­tunance) bagi seorang isteri yang punya suami atau anak gadis yang punya ayah atau wali. Lam­bat laun, jilbab menjadi simbol kelas menengah atas di dalam masyarakat. Komunitas yang tidak menggunakannya dianggap perempuan kelas bawah atau tidak terhormat. Bahkan Emile Mar­morstein dalam The Veil in Judaism and Islam menambahkan, motif, warna dan model tertentu juga disesuaikan dengan kelas masyarakat.

Dalam masa perang panjang antara Romawi- Byzantium dengan Persia sampai pertengahan abad ke-6 M, rute perdagangan antar pulau mengalami perubahan untuk menghindari aki­bat buruk wilayah peperangan. Di beberapa pe­sisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi kota penting sebagai wilayah transit perdagangan dari Timur ke Barat atau dari Utara ke Selatan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari daer­ah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi di masa ini. Kultur Helle­nisme-Byizantium dan Mesopotamia-Sasania ikut serta menyentuh wilayah ini yang tadinya geokultural tersendiri. Menurut De Vaux dalam Sure le Voile des Femmes dans l'Orient An­cient, tradisi jilbab (veil) dan pemisahan perem­puan (seclution of women) bukan tradisi orisinal bangsa Arab. Bahkan fenomena jilbab juga bu­kan merupakan bagian dari Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel, seperti Re­bekah yang mengenakan jilbab (Kitab Kejadian Bab 24:64,65), berasal dari etnik Mesopotamia, yang memang jilbab menjadi pakaian adatnya.

Jilbab pada mulanya tradisi Mesopotamia- Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellinistik-Bizantium. Ked­ua tradisi ini menyebar menembus batas-ba­tas geokultural melalui wilayah-wilayah jajahan kedua adidaya tersebut. Tidak terkecuali bagian utara dan timur jazirah Arab, seperti Damaskus dan Bagdad. Ketika perang saudara (fitnah kubra jilid I) berkecamuk di Madinah, Mu'awiyah mem­boyong ibukota politik dunia Islam ke Damaskus bekas wilayah protektorat Romawi-Byzantium. Abbasiah menaklukkan Bani Umayyah, tidak mengembalikan ibukota politik Islam ke tem­pat kelahirannya, Mekah-Madinah, tetapi malah di boyong ke timur, Bagdad, bekas wilayah pro­tektorat Persia. Menurut Fadwa el-Guindi dalam Veil Modesty, Privacy, and Resistance, wacana jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan perada­ban hellenisme dan persia di zaman Muawiyah dan Abbasiyah.  (Bersambung)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA