Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Yang Valid Data Asing Atau Dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Kita

Politikus Gerindra Ungkap Kajian Anjloknya Kehidupan Demokrasi di Indonesia

Jumat, 04 Januari 2019, 10:13 WIB
Yang Valid Data Asing Atau Dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Kita
Foto/Net
rmol news logo Data yang diungkap Wakil Ketua DPR Fadli Zon terkait indeks kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia memicu polemik. Di jagat medsos Fadli Zon dibully pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Seperti apa sih datanya hingga membuat pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin terbakar?

Jadi berdasarkan data yang dirilis The Econ­omist Intelligence Unit (EIU) peringkat kehidu­pan demokrasi di Indonesia anjlok 20 peringkat dibanding 2016. Dari sebelumnya menghuni peringkat 48, kini hanya bertengger di posisi 68. Fadli membandingkannya dengan per­ingkat demokrasi Timor Leste yang berada di urutan 43 pada 2017. Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu menggunakan data Freedom House, organisasi independen pengawas kebebasan dan demokrasi di dunia

Fadli berkaca kepada kondisi politik Indone­sia yang masih diramaikan isu tak menggem­birakan menjelang Pemilu 2019. Dia mencatat, ada beberapa persoalan politik sepanjang 2018. "Mulai dari jaminan kebebasan berkum­pul dan berserikat yang menurun, intimidasi ter­hadap lawan politik, hingga manajemen pemilu yang amburadul," tulis dia di akun Twitternya, @fadlizon, Selasa, 1 Januari 2019.

Anjloknya indeks demokrasi Indonesia terjadi lantaran adanya ancaman kebebasan sipil di Indonesia. "Meningkatnya ancaman kebebasan sipil, menurut Freedom House, telah mendor­ong Indonesia turun status dari negara 'bebas' (free) menjadi negara 'bebas sebagian' (partly free) di tahun 2018. Sementara itu, jika kita bandingkan dengan Timor Leste, situasinya berbalik. Timor Leste mengalami kenaikan status dari negara 'partly free' menjadi 'free'," kata Fadli.

Kepada Rakyat Merdeka, juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin; Ace Hasan Syadzily dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno; Sudirman Said melempar argumentas­inya masing-masing terkait data Fadli Zon itu. Berikut pernyataan keduanya;
Ace Hasan Sadzily: Baca Datanya Jangan Sepotong-sepotong Dong

Bagaimana TKN Jokowi-Ma'ruf Amin menanggapi data yang di­ungkap Fadli Zon tersebut?

Fadli Zon harus membaca data jan­gan parsial dan sepotong-sepotong. Menurut data The Freedom House, tidak benar Indonesia statusnya turun dari free ke partly free. Indonesia masih tetap 'partly free' bahkan status itu tidak berubah dari 2014 dan nilai agregatnya pun stabil di angka 65. Di tahun 2018 angka itu tu­run menjadi 64 karena Freedom House menyoroti kasus Ahok yang Kristian yang dipersekusi atau dikriminalisasi atas tudu­han penghinaan agama, bahkan sampai di penjara dua tahun. Ini sebab freedom kita partly free. Jadi ini ulah Fadli dan kawan-kawan yang selalu mendorong isu-isu agama untuk kepentingan politik. Jelas saja indeks demokrasi Indonesia turun, kebebasan memeluk agama, perada­ban agama lain selain Islam di Indonesia semakin tergerus. Aksi-aksi bela Islam, persekusi non-muslim marak terjadi. Momentum awalnya ada di Pilkada DKI dan timnya Pak Prabowo yang memulai. Justru ini kesalahan Fadli dan kawan-kawan. Indeks akan semakin parah jika orang seperti mereka yang berkuasa.

Lho kok Anda justru menyalahkan kelompok pendukung Prabowo?
Tentu ini ulah kelompok yang berjubah agama yang sweeping dan mulai mengkafir-kafirkan. Merekalah yang membuat kebebasan berpenda­pat sehingga masyarakat kebebasan masyarakat minoritas untuk berek­spresi menjadi turun. Aspek kebe­basan berkumpul dan berserikat, menyampaikan pendapat, dan par­tisipasi politik menurun. Salah satu faktor utamanya adalah ancaman kekerasan yang dilakukan oleh kel­ompok masyarakat ini menghambat kebebasan berpendapat.

Komentar Anda terkait data The Economist Intellegence Unit yang juga disampaikan Fadli Zon ba­gaimana?
Menurut The Economist Intellegence Unit di tahun 2017 memang Indeks Demokrasi Indonesia benar turun 20 peringkat dibanding tahun 2016 sep­erti yang dikatakan Fadli Zon. Perlu dicatat itu tahun 2017, bukan 2018 seperti yang dikatakan Fadli. Posisi Indonesia sama dengan Amerika Serikat yang tidak sepenuhnya demokrasi. Padahal AS digadang-ga­dang sebagai rujukan Fadli, Prabowo, dan kawan-kawannya sebagai negara yang paling demokratis.

Apa Anda sendiri apa punya data lain untuk mengimbangi data yang dilempar Fadli Zon?
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik yang bekerja sama dengan Kemenkopolhukam, Kemendagri, LIPI, dan berbagai akademisi kam­pus. Indeks Demokrasi Indonesia di 2017 naik dibanding 2016. Namun, memang indikator kebebasan ber­pendapat turun. Indeks demokrasi angkanya 72,11 (skala 0-100) pada 2017, meningkat dibanding 2016 yang hanya 70,09. Dengan demikian Indonesia berada di kategori sedang. Aspek kebebasan sipil meningkat 2,3 poin dari 76,45 jadi 78,75. Aspek lembaga demokrasi juga naik 10,44 poin dari 62,05 jadi 72,49.

Jadi Anda menilai data yang dis­ampaikan Fadli Zon itu mengada-ada?

Fadli Zon tidak melihat data-data itu secara komprehensif, apa, dan ba­gaimana proses berjalannya demokrasi selama pemerintahan Jokowi ini.

Tadi Anda mengatakan aksi Bela Islam mempengaruhi kehidupan demokrasi kita.
Tapi bukankah ak­si mereka juga dilindungi Undang- Undang Dasar. Bagaimana itu?
Itu hak setiap warga negara untuk mengekspresikan keagamaan dan sekaligus politiknya. Tapi sebaiknya jangan memakai simbol agama jika tujuan sesungguhnya adalah politik belaka. Terlalu naif, agama yang sakral dipakai untuk kepentingan politik sesaat yang bersifat profan. Agama itu suci dan mulia. Sementara politik itu seharusnya diorientasikan semata-mata untuk kemaslahatan.

Tapi bukankah jika persepsi pe­merintah seperti itu malah justru membuat anjlok indeks demokrasi kita?
Kami tidak mengatakan tidak puas. Pemerintahan Jokowi telah dengan baik memfasilitasi bagi terseleng­garanya reuni 212 dan semacamnya tanpa dihalang-halangi. Kami tidak mempersoalkan acara itu. Sebab mak­sud dari acara itu mendoakan bangsa. Namun masih ada yang kampanye atas nama calon presiden tertentu. Itu kan bukan ajang untuk kampanye. Selain itu, yang harus dihindari adalah atas nama dakwah tapi mencaci maki siapa pun termasuk pemerintahan Jokowi dengan bahasa yang kotor. Bukankah Nabi Muhamad men­gajarkan kita keteladanan dalam bertutur kata dan akhlakul karimah.

Sejumlah politikus me­nilai langkah pemerintah memperkarakan ulama dan lawan-lawan politik pemerintah sebagai bentuk kriminalisasi. Hal itu tentu­nya juga menurunkan indeks demokrasi kita. Bagaimana Anda menanggapi itu?
Dalam catatan Freedom House dan The Economist Intelligence Unit, tidak ada indikator krimini­lasasi ulama. Istilah tersebut hanya berasal dari Fadli Zon dan kawan-kawan yang menjadikan ulama sebagai bentuk politisasi. Coba baca secara detail dalam laporan Freedom House itu, ada tidak indikator itu? Itulah yang saya maksud Fadli Zon membaca da­tanya tidak komprehensif. Mungkin saya kira dia tidak membacanya na­mun langsung berkomentar. Seperti halnya kubu Prabowo lainnya yang mudah tersulut dengan hoaks. Justru kita harus menegakkan hukum kepada siapa saja yang melakukan tindakan kriminal. Apakah kita harus membiarkan seseorang yang mengaku Habib tapi kelakukan­nya menganiaya anak-anak sampai bonyok dan berdarah-darah?

Terkait kontrovesi data ini apa langkah konkret yang akan ditem­puh TKN kepada Fadli?

Bagi kami seorang Fadli bagian dari sparing partner dalam berdemokrasi. Biarkan saja bicara seperti itu karena itu adalah bagian dari demokrasi. Namun, kami berharap dia bicara itu harus dengan data dan fakta. Ada rujukan yang jelas dan akurat, bukan sepotong-sepotong sesuai dengan kepentingan politiknya semata.

Apa yang menjadi dasar TKN men­gatakan bahwa indeks demokrasi kita tetap terjaga di pemerintahan Jokowi-JK ini?
Kita ini negara yang sudah melaku­kan konsolidasi demokrasi dengan baik. Jangan dinodai dengan politisasi agama dan SARA yang dapat men­dorong munculnya sentimen negatif bagi kualitas demokrasi kita. Kita harus jaga kualitas demokrasi ini dengan mengedepankan dialog, per­tarungan gagasan, ide, dan program. Bukan dengan main hakim sendiri, merasa dirinya paling benar, mencaci, menghujat, mengkafir-kafirkan, dan bahkan menistakan orang lain karena perbedaan pandangan politik.

Sudirman Said: Setiap Orang Bebas Kutip Referensi Sepanjang Kredibel


Sebenarnya data yang dis­ampaikan oleh Fadli Zon itu berasal dari mana sih?
Yang saya baca di media, Pak Fadli Zon mengutip in­deks EIU (the Economist Intelligence Unit). Menurut studi terakhir memang be­nar situasi kita seperti yang digambarkan. Bahkan bila dilihat kecenderungan sejak 2006, ketika EIU memulai studinya keadaan kita se­makin buruk.

Ketika IEU memu­lai menerbitkan indeks demokrasi di Tahun 2006, Indonesia berada di per­ingkat 65 dari 167 negara dengan skor 6,41. Pada era Presiden SBY skor kita terus naik menjadi 7,03. Di tahun 2015, di per­ingkat 49. Naik lagi keperingkat 48 di tahun 2016 dengan skor 6,97. Tetapi melorot tajam di tahun 2017 men­jadi peringkat 68 dengan skor 6,39. Rating dan skor ini lebih buruk dibanding 12 tahun lalu. Jadi dua ta­hun terakhir kepemimpinan Presiden Jokowi membuat indeks demokrasi kita terlempar jauh ke bawah.

Legitimasi dari data yang diguna­kan Fadli bagaimana?
Setiap orang bebas menggunakan referensi, sepanjang referensi itu kredibel. Tetapi bila kita gunakan indeks yang diterbitkan Badan Pusat Statistik pun keadaannya sama. Benar bila dibanding tahun 2016, indeks demokrasi di 2017 naik dari 70,09 menjadi 72,11. Tetapi itu hanya kem­bali seperti tahun 2015. Sedangkan secara tren sejak tahun 2014 indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan dalam 4 tahun terakhir. Kita pernah mendapat skor 73,04 di penghujung kepemimpinan Presiden SBY. Dan itu merupakan skor tertinggi yang pernah kita alami.

Apakah BPN memiliki data indeks demokrasi di Indonesia?

Dua referensi di atas (EIU dan BPS) sebenarnya sudah cukup rep­resentatif menggambarkan keadaan kita. Dan keduanya kan konsisten memberi pesan adanya penurunan. Yang lebih penting kan sebenarnya suasana batin masyarakat yang bisa dirasakan oleh para cerdik pandai yang obyektif.

Menurut TKN, Fadli Zon dinilai tidak membaca kajian itu secara utuh?
Harus diterima kenyataan bahwa petahana pasti akan bertahan seolah semua baik-baik saja. Tetapi sekali lagi, dengarlah suara hati rakyat, dan bertanyalah: apakah benar kita baik-baik saja?

TKN menilai aksi bela Islam me­munculkan pengaruh negatif ter­hadap indeks demokrasi Indonesia. Bagaimana Anda melihat itu?
Pandangan itu harus saya katakan: salah besar! Dan missleading. Kita har­us tanya mengapa ada aksi damai besar-besaran? Sebabnya ada yang berusaha membajak demokrasi. Terus kita tanya: siapa yang berusaha mengahalangi aksi-aksi damai itu dengan segala macam cara. Tekanan, intimidasi, penyabotan angkutan, teror opini. Sikap-sikap itulah yang membuat suasana batin rakyat sep­erti sedang mengalami pembungkaman. Kebebasan berpendapat dalam ancaman dan tekanan yang serius. Itulah akar penyebab indeks demokrasi kita terjun bebas.

Masih menurut TKN, tim Prabowo justru yang membuat indeks demokrasi turun pada saat kasus Ahok terjadi. Bagaimana Anda menanggapinya?

Ahok diadili karena melecehkan agama disebabkan sikapnya yang superarogan, kasar dan tidak me­nampakkan keluhuran budi seorang pemimpin. Arogansi dan kekasaran itu yang membuat dia ditinggalkan rakyat Jakarta. Kalau disebabkan agama, yang milih Ahok tidak akan lebih dari 15 persen, sesuai dengan agamanya. Harus diterima kenyataan bahwa ada unsur-unsur kemanusiaan dan kepemimpinan yang gagal dita­mpilkan Ahok. Jadi tidak bisa terus menerus menyalahkan rakyat mayori­tas yang bersikap mencari pemimpin baru. Jakarta butuh pemimpin yang tegas dalam pendirian tapi santun da­lam sikap. Dan terbukti gubernur baru Anies Baswedan makin menunjukkan kelasnya: tetap bekerja, berprestasi, tanpa kontroversi.

Banyak kalangan memprediksi kalau Prabowo memimpin, bisa-bisa indeks demokrasi Indonesia semakin terpuruk. Bagaimana Anda melihatnya?

Prabowo mantan militer tetapi demokrat sejati. Dia berpolitik dalam sistem dan menghormati mekan­isme demokrasi itu. Lihatlah sikap Prabowo sejak masuk ke gelanggang politik. Dengan sportif berkompetisi, kalah berkali-kali, tetapi tidak pernah merusak sistem apalagi mengganggu pemerintahan. Yang kita alami saat ini adalah pelemahan institusi demokra­si. Dan ini ironis karena justru ketika pemerintahan dipimpin politisi sipil yang dipilih rakyat. Kita harus koreksi keadaan ini.

Lalu apa tanggapan BPN jika merujuk BPS yang me­nyebutkan Indeks Demokrasi Indonesia di 2017 naik dibanding 2016?
Benar naik dibanding tahun 2016 dari 70,09 menjadi 72,11. Tetapi itu kembali ke skore tahun 2015. Dan jika dibanding dengan tahun 2014 di­awal pemerintahan Joko Widodo se­sungguhnya menurun terus. Apalagi dibanding dengan periode presiden sebelumnya, prestasi Presiden Joko Widodo sangat buruk.

Bagaimana Anda melihat dengan indikator kebebasan berpendapat yang mengalami penurunan?
Indikator kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul mengalami penurunan karena pemerintah tam­pak makin represif. Ada suasana ketidakadilan yang dirasakan se­bagian warga masyarakat. Ada perasaan tertekan dari sebagian kalangan. Masyarakat itu ibarat gerbong, tergantung pada lokomo­tifnya. Bila kepemimpinan nasional tidak mampu menghadirkan rasa adil maka suasana batin rakyat akan merasakannya.

Terus bagaimana Anda melihat kasus 'kriminalisasi ulama' yang dituding oleh banyak pihak dilaku­kan oleh pemerintah?

Krimiminilasi ulama saat ini ada­lah situasi terburuk sejak reformasi. Terlalu telanjang presekusi dan krim­inalisasi ulama. Dan sudah banyak yang mengamini bahwa reuni 212 di Monas bulan Desember yang lalu adalah ekapresi damai dan beradab, dari keprihatinan umat Islam yang merasakan penistaan dan kriminal­isasi para ulama, para pemimpin mereka. Harus dipahami umat Islam ini mayoritas yang sedang bangkit secara ekonomi, pendidikan, penge­tahuan, dan kasadaran politiknya. Jika pemimpin negara tak mampu menangkap semangat itu dan men­gelolanya, maka yang akan muncul adalah sikap represif dari aparat. Dan ini keadaan yang berisiko meretakkan kohesi sosial. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA