ADAPTASI nilai-nilai IsÂlam ke dalam nilai-budaya lokal, khususnya di kawasan Nusantara, tidak diraÂsakan adanya distorsi dan ketegangan berarti. Ini disebabkan kuatnya persamaan antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai budaya lokal Nusantara, khususnya Indonesia. Apa yang sering didengungkan PB NU, khususnya Pak Agil Siradj, sebenarnya tidak perlu dipersoalÂkan. Kenyataannya Islam di Kawasan NusanÂtara tidak bisa dipisahkan dari pola dialekÂtik sejarah perkembangan pra-Indonesia dan atau Proto-Indonesia. Proto Indoneisa ialah sebuah periode antara Post-Prasejarah dan sejarah Indonesia modern. Periode ini biasa juga disebut periode nusantara awal. TransÂformasi nilai-nilai dalam era Proto-Indonesia, seperti periode sebelumnya, juga berlangsung mulus tanpa menimbulkan ketegangan di daÂlam masyarakat. Bagaimana nilai-nilai tradisÂional warisan masyarakat pra-sejarah dan post-prasejarah tetap dibiarkan eksis, seperti sistem kepercayaan animisme, dinamisme, dan ajaran sinkretisme lainnya, masih tetap memiliki hak hidup dan diakui keberadaannya secara sosiolÂogis. Pada saat bersamaan ajaran agama HinÂdu, Budha, dan Islam juga hadir dan berusaha memperkenalkan orisinalitas ajarannya dengan seni dan caranya masing-masing. Agama HinÂdu datang lebih awal dari anak benua India bisa mengadaptasikan ajarannya dengan sistem keÂpercayaan lokal masyarakat. Bagi agama HinÂdu sistem kepercayaan seperti animisme dan dinamisme tidak terlalu sulit mengakomodir ke dalam sistem ajarannya karena agama ini tidak mengenal konsep bid’ah, sesuatu yang tidak boleh dilaksanakan manakala tidak perÂnah dilegitimasi oleh sang pembawa ajaran, dalam Islam ialah Nabi Muhammad. PersentuÂhan agama Hindu dengan masyarakat NusanÂtara berlangsung dengan damai, seolah-olah masyarakat pribumi menganggap ajaran Hindu bagian dari kelanjutan agama nenek moyangÂnya. Sesungguhnya bukan hanya Hindu tetapi juga agama Budha.
Islam sebagai agama yang datang kemudian otomatis harus berinteraksi dengan dua nilai. Pertama system nilai kepercayaan pribumi yang masih eksis dan sebagiannya menyatu dengan ajaran Hindu, dan kedua berinteraksi dengan ajaran agama Hindu dan agama Budha yang juga sudah mulai eksis di sejumlah wilayah NuÂsantara. Kehadiran agama Budha tidak dirasaÂkan sebagai agama baru di nusantara karena dikesankan sama dengan agama Hindu. KetiÂka Islam mulai datang dan dikembangkan oleh para saudagar yang arif dan bijaksana, seolah ditempatkan sebagai bagian dari kelanjutan pembangunan sebuah bangunan. Islam muÂlai menawarkan nilai-nilainya sebelum serta-merta memperkenalkan norma-normanya. Ini mengingatkan kita kepada Nabi Muhammad saw ketika masih di Mekah, baru pepmerkenalÂkan sisten nilai belum memperkenalkan system norma yang berisi perintah dan larangan, beriÂkut dengan sanksi dan reward. Istimewanya, toÂkoh-tokoh penganjur Islam bisa bergandengan tangan dengan tokoh-tokoh agama Hindu dan penguasa kraton dan penguasa istana lokal lain di Kawasan Nusantara.
Para penganjur Islam di masa awal memÂperkenalkan Islam betul-betul sangat mengeÂsankan. Mereka memiliki seni tersendiri dan karenanya mereka leluasa memperkenalkan IsÂlam bukan saja di akar rumput tetapi juga di lingÂkungan Istana. Ini terjadi bukan hanya di Pulau Jawa tetapi juga di seluruh wilayah kepulauan Nusantara. Kehadiran Islam sama sekali tidak dirasakan sebagai sebuah ancaman bagi keluÂarga keraton dan para penganut agama Hindu. Islam Nusantara berdiri kokoh karena beranjak dari nilai-nilai dasar budaya masyarakat IndoÂnesia. Ajaran Islam yang berkembang di IndoÂnesia lebih dirasakan persambungannya denÂgan tradisi luhur bangsa Indonesia ketimbang perbedaannya. Dengan demikian, kekompakan antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai lokal adaÂlah sesuatu yang sangat wajar.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.