Kini tekad sudah bulat untuk nyaleg lagi lewat PAN. Namanya sudah masuk Daftar Caleg Sementara (DCS) PAN. Namun ketika baru dalam proses pemenuhan syarat nyaÂleg, Wa Ode sudah ‘disengat’ Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.
Beleid yang diterbitkan KPU itu memuat aturan larangan bagi bekas napi kasus korupsi untuk maju sebagai caleg. Tak ingin langkahnya mentah di tengah jalan, Wa Ode buru-buru mendafÂtarkan diri mengajukan uji materi terhadap PKPU ke Mahkamah Agung. Permohanan uji materi Wa Ode sudah diregister dengan nomor 45 P/HUM/2018 tertangÂgal 10 Juli 2018.
Berikut ini curhat peremÂpuan yang pernah duduk sebaÂgai Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR yang merasa pintu masuknya ke dunia politik lagi sedang berupaya ditutup oleh KPU. Berikut penuturan Wa Ode kepada Rakyat Merdeka.
Kenapa Anda mengajukan gugatan uji materi terhadap PKPU itu?Kalau alasannya sih karena ini kan tahun pemilu. Saya masih kader PAN, dan saya mendafÂtar sebagai caleg untuk jadi peserta Pemilu 2019. Saya maju dari daerah pemilihan (dapil) Sulawesi Tenggara, saya sudah terdaftar di DCS. Berkas sudah masuk, yang kurang tinggal surat sehat jiwa. Saya tidak di kasih folmulir B1/B2 dari KPU karena kan mau konsultasi dulu soal PKPU. Makanya saya meÂmutuskan untuk judicial review ke MA. Apalagi belakangan ini opini terkait PKPU ini semakin ramai. Dan seperti kita tahu belakangan ini opini itu bisa punya legitimasi melebihi undang-undang. Akhirnya saya putuskan untuk mengajukan judicial review, supaya ada kepastian hukum terhadap posisi saya sebagai caleg.
Memangnya menurut Anda pasal berapa sih dalam PKPU yang jadi persoalan? Dulu, awalnya pasal 7 PKPU ini hanya mengatur soal caleg dan KPU.
Lalu kemudian ketika diunÂdangkan pasal 4 jadi mengatur caleg dan partainya. Karenanya saya gugat supaya saya tidak harus berbenturan dengan partai karena PKPU. Saya tidak mau membuat partai dilema karena adanya opini publik. Sehingga partai tidak terjebak dalam pengÂgiringan opini. Ini kan saya lihat ada opini yang dibentuk.
Permohonan uji materi yang Anda lakukan itu atas nama pribadi atau diajukan bersama para bekas napi kaÂsus korupsi lainnya?Gugatan ini atas nama saya sendiri. Gugatan ini juga sifatÂnya dadakan kok. Saya bangun pagi, nonton berita dan lihat pemberitaan Sekjen PAN yang lagi mendaftarkan ke KPU, sambil menandatangani pakta integritas yang artinya menyetuÂjui PKPU. Saya langsung kaget dong, waduh nasib saya baÂgaimana? Makanya saya ajukan saja (judicial review) sebelum terlambat.
Pasal berapa saja dalam PKPU yang Anda gugat?Intinya sih yang kami uji itu Undang-Undang Nomor 7 Tentang Pemilu, kemudian Undang-Undang Tipikor, dan Undang-Undang tentang HAM. Kami tidak tahu nanti undang-undang mana yang dijadikan dasar hukum dari putusannya. Hakim kan punya penilaian sendiri nanti. Itu sudah wilayahÂnya majelis hakim. Yang jelas kami menggunakan tiga itu sebagai dasar gugatan terhadap PKPU.
Tapi KPU menerbitkan aturan larangan nyaleg bagi bekas napi korupsi salah satu untuk memunculkan efek jera. Bagaimana Anda melihat hal itu?Kalau efek jera dibentuk sedemikian rupa supaya jadi pembenaran publik, saya ingin bilang, bahwa tahanan kasus koÂrupsi itu setelah di vonis sudah ada hukuman lainnya. Ketika di penjara itu dia dihukum lagi oleh Peraturan Pemerintah (PP) 99 (tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan), yang isinya tidak boleh mendapatkan reÂmisi, tidak boleh mengajukan pembebasan bersyarat. Saya merasakan hal itu, saya divonis enam tahun hukuman, dan saya jalani lima tahun lebih enam bulan tanpa remisi apapun. Saya menjalani masa tahanan itu karena mendapat remisi dasawarsa yang keluar lima tahun sekali.
Remisi dasawarsa itu remisi tanpa syarat, jadi tidak kena ketentuan PP 99. Makanya saya bisa pulang sedikit lebih cepat. Kemudian setelah bebas lalu ada aturan baru lagi yang mau menghukum? Ini yang saya pertanyakan. Meskipun harus jadi martir, hal ini harus saya sampaikan kepada publik agar semuanya fair, dalam melakuÂkan penghakiman terhadap napi korupsi.
Saya yakin kok, publik itu bagi orang yang sudah menjalani hukuman mereka apresiasi.
Apa mungkin ada masyarakat yang mengapresiasi seorang bekas napi kasus koÂrupsi mengingat korupsi saat ini menjadi musuh negara?Saya itu pulang ke Sulawesi Tenggara, dan saya pernah menÂcalonkan diri sebagai calon gubernur independen itu diapresiasi. Mereka berbondong-bondong memberikan dukungan dengan cara mengumpulkan KTP dan lain sebagainya. Bahwa ada sebagian orang yang mengatasnamakan publik tidak menginginkan bekas napi kasus korupsi, kami akan buktikan pada pemilu nanti.
Ada pepatah yang bilang begini, biasanya orang kalau menunjuk ke orang lain, biasanÂya itu keempat jarinya berbalik menunjuk ke dirinya sendiri. Kita semua itu bukan orang yang bersih-bersih banget. Orang sudah menjalani hukuman kok masih mau dihajar lagi. Kasihan kan jadi enggak selesai-selesai masalahnya.
Batas pendaftaran itu kan 17 Juli. Kalau gugatan ini beÂlum diputus juga sampai batas waktu tersebut, bagaimana nasib pencalonan Anda?Sepengetahuan saya sih, berÂdasarkan kesepakatan bersaÂma antara KPU, Kemendagri, Bawaslu, dan DPR itu tetap boleh terdaftar sampai ada kepastian hukum. Tapi kan dijawab lagi oleh KPU, bahwa kepastian huÂkum itu yang menentukan KPU berdasarkan PKPU, selama tidak ada yang judicial review. ***
BERITA TERKAIT: