Pilihan hijrah Rasulullah Saw bukan langkah pengecut seperti yang sering dituduhkan kalanÂgan orientalis yang menganggap Nabi pengecut meninggalkan umatnya di Mekkah dan mencari selamat di Madinah. Strategi Nabi (Islam) meÂlangkah mundur untuk mencapai kemenangan jauh lebih mulia ketimbang melakukan langkah nekat. Akhirnya Nabi kembali merebut kota MekÂkah (Fath Makkah) tanpa setetes darah menguÂcur. Nabi Muhammad Saw menaklukkan separÂuh belahan bumi tanpa darah jihad yang berarti. Peperangan yang dilakukan Nabi bukan agresi tetapi bela diri. Buktinya ketika Nabi dikepung di Mekkah, ia bersama Abu Bakar melarikan diri, bukannya mati bersama dengan sahabat-sahaÂbatnya yang lain di tempat persembunyian. BukÂti lain ketika Nabi memenangkan Perang Badar para tawanan perang dibebaskan dengan tebuÂsan amat ringan, ketika ia menaklukkan MekÂkah yang diserukan bukan balas dendam tetapi perdamaian: "Hari ini adalah hari perdamaian" (
al-yaum yaum al-marhamah). Demikian pula penaklukan-penaklukan kota dan suku lain di kaÂwasan Timur Tengah, tidak ada yang diselesaikan secara "hukum adat perang jahiliah" dengan cara balas dendam.
Dengan tegas Al-Qur'an melarang dan sekaÂligus mengecam orang-orang yang melakukan perjuangan atas nama apapun dan untuk apapun serta semulia apapun suatu tujuan dengan cara menyelakakan diri sendiri, sebagaimana dikataÂkan: â€Dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Baqarah/2:195). Ayat ini cukup tegas bahwa berjihad dengan cara nekat tidak diperkenankan di dalam Islam. Jika ada seruan jihad yang mengajak orang lain menÂempuh cara-cara nekat maka itu perlu dipertanyakan. Selain tidak pernah dicontohkan Nabi, juga akan menodai nama agung Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang. Peringatan buat kita semua bahwa jihad yang sesungguhnya ialah menempuh cara-cara yang wajar dan sesuai denÂgan perintah dan apa yang dicontohkan Nabi MuÂhammad Saw teladan kita.
Dalam dunia modern seperti saat ini, makna jihad sudah seharusnya dikembangkan denÂgan cara-cara yang lebih beradab dan sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan hadis. Jihad melalui diplomasi jauh lebih elegan. Jihad denÂgan cara melahirkan sebuah peradaban besar yang memungkinkan orang menjadi "makmum" juga jauh lebih mulia. Banyak cara jihad yang lebih terhormat dan elegan dalam zaman modÂern sekarang ini. Jihad dengan cara bunuh diri atau menyelakaan diri atau orang lain yang tak berdosa merupakan pemandangan yang sangat menodai Islam sebagai sebuah agama dakwah. Pendekatan yang lebih baik saat ini mengedepankan firman Allah: Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu". (Q.S. Ali ’Imran/3:64). Ayat lain: "Dan janganlah sekali-kali kebencianÂmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil". (Q.S. al-Maidah/5:8).
Memang ada keadaan tertentu di medan perang diperbolehkan oleh beberapa ulama melakukan tindakan "berani" untuk mengambil keputusan, seperti pendapat Al-Qurthubi: "Diperbolehkan membunuh orang Islam yang dijadikan tameng hidup, dalam masalah ini tidak ada perÂbedaan pendapat, Insya Allah. Yang demikian itu jika pembunuhan itu terdapat maslahat dharuriyah, kulliyah, dan qhatiyah." (Tafsir Al Qurthubi, 16/562). Senada dengan itu Ibn Taimiyah mengatakan daÂlam Majmu' al-Fatawa-nya: "Sesungguhnya para imam telah bersepakat bahwa jika kaum kafirin menjadikan kaum muslimin sebagai perisai hidup dan kaum muslimin (yang berjihad) khawatir jika tameng hidup itu tak disingkirkan, maka diperboleÂhkan membidik tameng hidup tersebut dengan niat memerangi kaum kaffir (28/538-539)."