Penyerangan yang terÂjadi untuk kesekian kalinya ini, menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi kalangan jemaat Ahmadiyah di Kantor Pusat Ahmadiyah di Jalan Balikpapan I, Gambir, Jakarta Pusat, keÂmarin.
Usai sholat dhuhur, beberapa jemaat memilih meriung santai di Masjid Al Hidayah yang menÂjadi satu komplek dengan kantor pusat Ahmadiyah di Indonesia. Mereka duduk di ruang tengah masjid.
Wajah mereka tampak sendu, seperti tersirat perasaan khaÂwatir setelah penyerangan terÂhadap jemaat Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Bosan meriung, sebagian dari mereka memilih merebahkan badannya di karpet masjid yang cukup empuk. "Kami ikut sedih melihat saudara kita diserang massa," ujar Jusman, salah satu jemaat Ahmadiyah kepaÂda
Rakyat Merdeka, kemarin.
Kantor Pusat Ahmadiyah beÂrada di tengah-tengah pemukiÂman padat penduduk. Secara bentuk, tidak ada beda antara masjid Ahmadiyah dengan masjid lainnya. Di bagian atas juga terdapat kubah dan menara layaknya masjid pada umumÂnya. Yang membedakan, hanya bentuk bangunan yang sedikit mengerucut ke atas.
Di depan masjid terdapat plang cukup besar warna hijau. Tulisannya, "Masjid Al Hidayah". "Kami sudah ada di sini sejak taÂhun 1970-an," sebut Jusman.
Masuk lebih dalam, terdaÂpat pintu masuk di sebelah kiri. Setelah masuk, pengunjung baru mengetahui bahwa kantor tersebut menjadi Kantor Utama Ahmadiyah. Pasalnya, di sekelilÂing masjid terdapat papan besar yang menginformasikan jarinÂgan Ahmadiyah di seluruh dunia. Mulai dari Amerika, Kanada hingga Indonesia. "Kami sudah ada 300 cabang di Indonesia," klaim Jusman.
Selain itu, terdapat gambar pendiri organisasi Ahmadiyah, yaitu Mirza Ghulam Ahmad yang bersanding dengan pimpinan besar Ahmadiyah dari massa ke massa hingga periode sekarang.
Selama berkantor di sini, Jusman mengaku tidak pernah mendapat gangguan yang berarti dari penduduk sekitar. Sebab, kata dia, warga pada umumnya sudah menerima Ahmadiyah karena teÂlah duduk berdampingan selama puluhan tahun. "Kalaupun ada gangguan, itu terjadi tiga tahun lalu," kata dia.
Jusman mengaku punya penÂgalaman tidak mengenakan selama berkantor di tempat ini. Saat itu, kata dia, banyak yang memprovokasi melalui pengeras suara agar tidak berkunjung ke masjid ini. "Tapi setelah diteluÂsuri oleh polisi, ternyata mereka terpengaruh oleh hasutan pihak luar," tandasnya.
Setelah kejadian tersebut, lanjut Jusman, pihak kepolisian memberikan pengertian agar tidak melakukan provokasi yang merusak ketentraman masyarakat. "Setelah diberi pengerÂtian, akhirnya mereka paham dan tidak melakukan provokasi lagi," kenangnya.
Jusman mengklaim, selama ini tidak ada perbedaan antara Ahmadiyah dengan organisasi massa Islam lainnya. "Kami sholat lima waktu dan puasa. Kalaupun beda hanya 1 persen, sisanya 99 persen sama semua," klaimnya.
Untuk itu, dia berharap keÂpada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dengan pihak manapun yang menyebut Ahmadiyah sesat. "Lebih baik silaturahmi ke sini, nanti kami jelaskan semua," ucapnya.
Selain itu, lanjut Jusman, pihaknya juga tidak meminta penambahan keamanan ke pihak kepolisian terkait peristiwa yang terjadi di Lombok Timur. "Polisi sudah tahu kalau di sini aman-aman saja," tandasnya.
Terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 3 tahun 2008 tentang Peringatan, dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Jusman mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan uji materi ndang-Undang Nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama (P3A/ Penodaan Agama) yang menjadi pangkal diterbitkannya SK terseÂbut. "Kami tinggal menunggu putusan dari MK," ujarnya.
Bila MK menerima gugatan yang dilayangkan Ahmadiyah, menurut Jusman, maka dengan sendirinya SKB tersebut dibatalÂkan.
Mayoritas Pengungsi Perempuan Dan Anak-anak Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana menyatakan, penyerangan dan perusakan rumah serta pengusirÂan warga Ahmadiyah di Lombok Timur mengakibatkan 24 warga harus mengungsi sementara di Mapolres Lombok Timur.
"Kejadian ini mengakibatkan enam rumah rusak, peralatan ruÂmah tangga dan elektronik serta empat sepeda motor hancur," ujar Yendra dalam keterangannya.
Yendra menyebut, dari 24 pengungsi, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. "Ada 21 orang perempuan dan anak-anak, dan hanya tiga orang laki-laki. Sebagian suami mereka bekerja, dan berada di luar kota," sebutnya.
Yendra berharap, para penÂgungsi bisa kembali ke rumah mereka di Dusun Grepek Tanak Eat, dan menjalani hidup seperti biasa. "Seperti dinyatakan oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang yang menjamin untuk merehabilitasi kembali harta mereka," ucapnya.
Lebih lanjut Yendra menduga, pengrusakan tersebut dilakukan massa dengan motif kebencian dan intoleransi kepada paham agama berbeda. Mereka, kata dia, juga ingin meratakan seluÂruh rumah penduduk komunitas Muslim Ahmadiyah dan menÂgusirnya dari Lombok Timur. "Amuk massa ini sejatinya sudah terindikasi mulai Maret 2018," sebutnya.
Yendra menyebut, saat ini ada seribuan anggota komunitas Ahmadiyah di NTB yang merasa terancam dengan aksi kekerasan tersebut. "Tapi, mereka tak mau muncul karena merasa jiwanya terancam," tandasnya.
Dengan itu, Yendra menyesalÂkan terjadinya pengrusakan ini di tengah suasana khusyuknya ibadah puasa Ramadan yang seÂharusnya penuh kedamaian, serta menjauhi amarah dan kebencian kepada sesama. "Tapi, sekelÂompok massa justru melakuÂkan penyerangan, perusakan, dan pengusiran kepada sesama warga negara," sesalnya.
Untuk itu, Yendra menunÂtut jaminan keamanan dari pihak kepolisian di manapun Komunitas Ahmadiyah berada, jaminan dari pemerintah pusat dan daerah untuk tinggal di rumah yang dimiliki secara sah karena dijamin UUD 1945.
Juga, lanjut dia, jaminan dari pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan ibadah seÂsuai keyakinan masing-masing. "Penegakan hukum yang adil atas para pelaku penyerangan, perusakan dan pengusiran," pintanya. ***
BERITA TERKAIT: