Itu bukan kampanye, tapi sudah dilakukan Presiden Prabowo. Malah, Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli mengusulkan agar upah minimum naik 6 persen saja. Tapi Prabowo menambahi 0,5 persen lagi. Diberi bonus. Pernyataan itu diumumkan Prabowo dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, 29 November 2024.
Tulisan ini bukan tentang puja-puji Prabowo. Bukan ke situ. Sebagai warga negara Indonesia, saya menganggap semua presiden RI adalah bapak saya, yang wajib saya hormati dan saya doakan terbaik.
Saya tidak sependapat dengan politisi PDIP Deddy Sitorus yang dalam konferensi pers bersama PDIP, Kamis, 28 November 2024 menyatakan, PDIP mengasihani Presiden Prabowo. “Bayangkan, seorang presiden harus terbang ke rumah seorang mantan Presiden (Jokowi) lalu kesan kami dipaksa untuk menjadi influencer calon gubernur. Hati kami tersakiti.”
Saya tidak setuju itu. Apalagi, pernyataan itu setelah calon gubernur jagonya PDIP kalah. Bukan sebelum kompetisi. Apalagi, pernyataan itu disiarkan pers yang bisa mempengaruhi rakyat Indonesia, bahwa presiden RI itu tidak terhormat. Sehingga tidak membuat wong cilik melu gemuyu. Melainkan ngundang padu.
Saya tidak ke situ. Tulisan ini bukan soal politik. Bukan juga soal PDIP. Pernyataan PDIP tersebut hanya saya jadikan ilustrasi perbandingan dalam cara pandang menghormati presiden kita.
Tulisan ini soal korelasi antara hidup dalam kegratisan (kebijakan Presiden Prabowo) dengan tingkat kriminalitas. Presiden Prabowo berusaha keras, dengan anggaran negara terbatas, memerangi kemiskinan.
“Poverty is the mother of crime,” kata Kaisar Kekaisaran Romawi, Marcus Aurelius (121 - 180 Masehi). Kalimat sangat kuno, yang juga sejalan dengan pemikiran Bapak Kriminologi Dunia, Cesare Lombroso )6 November 1835-19 Oktober 1909). Dan, relevan hingga sekarang.
Maksud ucapan kaisar yang terkenal itu adalah: Orang-orang miskin, dalam keadaan putus asa, akan melakukan tindakan putus asa untuk bertahan hidup. Demi makan anak-anak mereka, orang miskin bakal nekat dan cepat dalam merebut makanan dari orang lain: Kriminalitas.
Kenaikan upah minimum nasional Indonesia, adalah suatu upaya memberantas kemiskinan. Atau memberantas ibunya kejahatan.
Prabowo Subianto pengusaha besar. Pastinya sudah mengkalkulasi bahwa angka kenaikan itu rasional. Perusahaan-perusahaan memang terbebani biaya gaji pegawai. Tapi para pemiliknya bisa memotong deviden para pemegang saham, untuk menutupi biaya gaji. Tidak ada masalah.
Itu berdampak memperkecil disparitas orang kaya dengan si miskin.
Bayangkan, pada pukul 01.00 dini hari ada cewek naik Lamborghini. Lalu dia berhenti di pinggir Lapangan Monas. Dia turun, lantas duduk di bangku taman, sekadar menikmati larut malam. Sambil duduk, ia menelepon temannya, memamerkan keindahan Monas di dini hari.
Sementara, jam berapa pun di sekitar Monas ada banyak orang miskin yang anaknya di rumah hari itu belum makan. Sedangkan HP si cewek, bisa dirampas, dijual cepat Rp300 ribu. Belum lagi Lamborghini. Maaf… mungkin si miskin grogi pada Lamborghini. Sebab, nyetirnya ngeri salah...
Intinya, mereka bisa bertindak dalam keputusasaan. Akibat disparitas.
Dikutip dari The Economist, 7 Juni 2018, berjudul: The stark relationship between income inequality and crime, disebutkan: “Jika Anda punya barang mahal, jangan memamerkannya. Terutama, jika tetangga Anda tidak memilikinya.”
Di situ The Economist mengutip teori Gary Becker (1930 - 2014), ekonom Amerika peraih hadiah nobel, dalam karyanya: Crime and Punishment: An Economic Approach. Yang intinya, bahwa disparitas kaya-miskin yang tinggi adalah pemicu kejahatan.
Teori Becker (dicetuskan tahun 1970-an) bahwa semua kejahatan bersifat ekonomi. Dan, semua penjahat bersifat rasional. Semua calon penjahat membuat penilaian biaya-manfaat dari kemungkinan imbalan atas pelanggaran hukum, dibandingkan dengan kemungkinan tertangkap dan dihukum.
Dalam dunia penjahat yang memaksimalkan utilitas, menurut Becker, tempat-tempat yang memiliki kesenjangan yang lebih besar antara orang miskin (calon penjahat) dan orang kaya (calon korban), jika semua hal lain sama, akan memiliki tingkat kejahatan yang lebih tinggi dibandingkan tempat atau wilayah yang disparitasnya rendah.
Teori Becker yang kuno itu relevan hingga kini. Sebab, sifat dasar manusia dulu sampai sekarang, butuh makan. Setelah makan terpenuhi ada kebutuhan lain. Kalau itu tidak terpenuhi, maka ia akan melirik orang di dekatnya yang hidup mewah. Di situlah potensial kriminalitas.
Riset terbaru oleh Gallup (perusahaan analitik dan konsultasi multinasional Amerika, berkantor pusat di Washington DC) memverifikasi teori Becker dalam survei.
Survei tersebut menanyakan kepada 148.000 orang di 142 negara tentang persepsi mereka terhadap kejahatan. Juga seberapa aman responden merasa dalam empat ukuran berikut ini:
Pertama, apakah mereka mempercayai polisi setempat.
Kedua, apakah mereka merasa aman berjalan pulang sendirian.
Ketiga, apakah harta benda atau uang mereka pernah dicuri.
Keempat, apakah mereka pernah diserang penjahat selama setahun terakhir.
Pengujian korelasi antara pertanyaan-pertanyaan ini dan jumlah ketimpangan pendapatan (yang diukur dengan koefisien Gini) di negara mana pun, menunjukkan hubungan yang kuat dan positif antara negara dengan disparitas tinggi dibanding yang rendah.
Penjelasannya, apakah orang merasa aman berjalan pulang sendirian, atau tidak? Menunjukkan hubungan yang paling kuat dengan ketimpangan kaya-miskin.
Di Venezuela, misalnya, empat perlima responden mengatakan mereka tidak merasa aman berjalan pulang sendirian. Bahwa penculikan dan pemerasan merupakan kejadian umum di sana.
Distribusi pendapatan Venezuela adalah yang paling tidak merata ke-19 dalam studi tersebut.
Sebaliknya, 95 persen orang di Norwegia mengatakan, mereka merasa aman berjalan pulang sendirian. Benar saja, negara ini adalah negara ke-12 yang paling setara (kaya-miskin) dari 142 negara.
Hubungan sederhana ini tidak memperhitungkan semua perbedaan persepsi masyarakat tentang tingkat kejahatan. Tidak menyangkut teori-teori lain tentang kejahatan. Misalnya, tipologi fisik atau model penjahat, atau teori psikologi tentang penjahat. Tidak dikaitkan dengan semua itu. Murni disparitas kaya-miskin.
Tapi seberapa besar komparasi antara disparitas dengan tingkat kejahatan? Seberapa besar andil kenaikan upah bisa mengurangi jumlah kejahatan?
Dikutip dari Center for New York City Affairs, 12 April 2023, berjudul: Let’s Fight Crime the Proven Way: By Increasing the Minimum Wage, diungkapkan hasil riset Lauren Melodia, Wakil Direktur Kebijakan Ekonomi dan Fiskal di Center for New York City Affairs.
Bahwa kota New York dalam satu dekade sebelum pandemi Covid, mengalami penurunan kesenjangan ekonomi yang dramatis. Pada tahun 2010-an, 50 persen rumah tangga terbawah di Kota New York mengalami peningkatan pendapatan untuk pertama kalinya dalam 20 tahun.
Upah minimum di sana dinaikkan dari 7,25 Dolar AS menjadi 15 Dolar AS per jam, secara bertahap, antara tahun 2013 dan 2019. Atau, naik lebih dari seratus persen dalam enam tahun.
Hasilnya, dari tahun 2013 hingga 2019, pencurian dengan pemberatan dan perampokan masing-masing turun 38 persen dan 30 persen. Pencurian besar-besaran terhadap kendaraan bermotor turun 26 persen. Pembunuhan turun 6 persen.
Alhasil, kebijakan Presiden Prabowo itu sangat mungkin bakal menurunkan tingkat kriminalitas Indonesia. Jadi, hormatilah presiden RI. Janganlah presiden kita dianggap rendah.
BERITA TERKAIT: