Ia tidak menyisakan sedikit pun benci dan dendam di dalam dirinya karena ia sadar terhÂadap hakekat segala kenyataan. Cintanya suÂdah memenuhi seluruh relung-relung jiwanya sehingga tidak tersisa sedikit pun ruang untuk membenci siapapun, sepeti yang pernah dilonÂtarkan
Rabi’ah al-Adawiyah ketika ia ditanya seseorang: "Apakah engkau benci kepada SetÂan?" Ia jawab: "Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada setan". Para salik di maqam ini sudah mulai menyadari bahwa sesÂungguhnya keberadaan wujud meteri ini hanya satu (al-wahdah/the oneness), meskipun terÂdiri atas berbagai bentuk dan jenis sehingga tampak kelihatan banyak sekali
(al-katsrah/ the manyness). Mereka juga menyadari bahÂwa pergerakan dan mobilitas berbagai materi wujud itu tidak lagi melalui proses tajafi sebaÂgaimana pandangan mata awam melihatnya, melainkan sudah melihat ada kekuatan tajalli pada segala bentuk dan dan jenis makhluk. (Tajafi dan Tajalli sudah dibahas dalam artikel mendatang).
Hijab atau tantangan paling berat bagi para salik di maqam awal ini ialah keberadaan keanekaragaman makhluk. Selama orang masih terkecoh menyaksikan keberanekaraÂgaman
(al-katsrah/the manyness) maka sulit untuk menyaksikan keseragaman
(al-wahdah/ the oneness). Para salik di maqam ini harus mampu meninggalkan cara pandang pluralitas alam menjadi singularitas alam. Dengan kata lain, bagaimana mengubah paradigma "yang banyak" menjadi "yang satu". Yang banyak ini pada hakekatnya satu dan yang satu itu pada hakekatnya Dia Yang Maha Esa (Allahu Ahad). Jika para salik dalam level ini sudah mampu menembus hijab-hijab tersebut, maka pada saatnya meraka akan meningkat lagi, tidak sekedar melihat yang banyak itu satu
(al-wahÂdah/the oneness) tetapi sudah mampu meÂnyaksikan yang satu itu menjadi Esa
(al-Ahad/ the One), yaitu Hakekat dari segala hakekat dan Yang Memberi Bekas terhadap segala hakekat
(al-mu’atstsir al-haqiqiy).
Para salik dalam level ini sudah mempu meÂnyaksikan bukan hanya yang banyak ini menÂjadi satu tetapi juga sudah mampu menyadari hakekat keberadaan segala sesuatu. Ia tidak lagi sekadar melihat gunung itu gunung, poÂhon itu pohon, kucing itu kucing, langit itu lanÂgit, tetapi sudah menyadari sepenuhnya bahÂwa keseluruhannya itu tidak lain ialah "wajah Allah" sebagaimana disebutkan di dalam ayat: Wa lillahi al-masyriq wa al-magrib, fa ainama tuwallu fa tsamma wajhullah (Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kalian menghadap di situlah wajah Allah). (
Q.S. al-Baqarah/2:115).