Taraqqi sebagai sebab ialah arus balik perÂjalanan dan pergerakan sentrifugal ke senripetal, yaitu sebuah perjalanan spiritual insan kamil dari bawah (
al-’alam al-sufla) ke alam atas (
al-’alam al-’ulya), yaitu ke alam yang lebih dekat dari titik sentral yang biasa disebut dengan Ahadiyah dan atau Ahadiyah, atau dari
al-hadharat al-’ainiyyah ke
al-Hadharat al-’Ilmiyyyah, sebagaimana diiÂsyaratkan dalam ayat:
Inna lillah wa Inna ilaihi raji’un (Kita semua dari Allah Swt dan aka kemÂbali kepada-Nya). Dalam ayat lain juga dijelaskan: "Maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyuÂkan." (
Q.S. al-Najm/53:9-10).
Taraqqi sebagai akibat ialah buah dari sebuah usaha keras (
mujahadah) yang dilakukan sesÂeorang mengakibatkan dirinya melejit ke atas (
taraqqi). Taraqqi hanya bisa terjadi jika ada
isti’anah, dan
isti’anah bisa terjadi jika ada ta’abbud. Dengan kata lain,
ta’abbud merupakan pangÂkal segala-galanya jika seorang akan kembali ke hadirat-Nya. Itulah sebabnya di dalam surah al- Fatihah disebutkan:
Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkau pula yang kami memohonkÂan pertolongan). Ayat ini menegaskan penyebuÂtan
ta’abbud didahulukan dan
isti’aanah disusulÂkan. Ini menjadi isyarat buat kita bahwa ta’abbud harus mendahului isti’anah, upaya penyembahan dulu baru pertolongan dari Allah Saw.
Ta’abbud merupakan ikhtiyar, tugas, dan kewajiban hamba, sedangkan
isti’anah merupakan hak proregatif Allah Swt. Semakin besar
ta’abbud seseorang maka semakin besar pula peluang hamba unÂtuk mendapatkan isti’anah.
Ta’abbud merupakan pencarian, riyadhah, mujahadah, dan sekaligus bentuk pendakian (taraqqi) seorang hamba; seÂdangkan Isti’anah merupakan bentuk penurunan (penghampiran) Allah Swt kepada sang hamba.
Banyak di antara kita hanya lebih mengenal dan familiar dengan
isti’anah, yang bisanya seÂcara konsisten memohon pertolongan kepada AlÂlah Swt terhadap berbagai persoalan dan kesuÂlitan hidup yang dialami tetapi kurang konsisten menjalankan fungsi
ta’abbud. Idealnya pola keÂseimbangan
ta’abbud dan
isti’anah diparalelkan. Satu sisih kita konsisten mengamalkan
ta’abbud dan pada sisi lain Allah Swt konsisten melakukan
isti’anah. Allah Swt menjamin kasih sayangnya keÂpada orang yang secara konsisten mengamalkan ta’abbud. Bahkan Allah Swt dalam hadis Qudsi mengatakan "Barangsiapa mendekati Aku seÂjengkal maka Aku akan mendekatinya sesiku, baÂrang siapa mendekati-Ku sesiku maka Aku akan mendekatinya sedepa", demikain pula seterusÂnya. Dalam riwayat lain disebutkan "Barangsiapa mendekatiku berjalan maka Aku akan mendekaÂtinya dalam keadaan berlari".
Ta’abbud-isti’anah dan
taraqqi-tanazul merupakan pola relasi ideal antara hamba dengan Tuhannya.