Kedua ayat di atas terdapat isyarat betapa pentingnya manusia melakukan perjalanan spiritual (spiritual journey) guna meningkatkan martabatnya. Perlunya anak manusia menemÂpuh perjalanan suci juga telah diisyaratkan daÂlam ayat: Maka apakah mereka tidak mengemÂbara di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu merÂeka dapat mendengar? Karena sesungguhÂnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (
Q.S.al- Haj/22:46). Lebih tegas lagi disebutkan dalam ayat: Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunah Allah; karena itu mengemÂbaralah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendusÂtakan (rasul-rasul). (
Q.S. Ali ‘Imran/3:137).
Begitu pentingnya memikirkan perjalanÂan spiritual ini maka Allah Swt mengingatkan kita dalam suatu kalimat bertanya: Maka ke manakah kalian akan pergi? Itu tiada lain hanÂyalah peringatan bagi semesta alam. (
Q.S. al- Takwir/81:26-27). Ayat ini mengingatkan kita bahwa hidup ini sebuah pengembaraan, yaitu perjalanan untuk kembali ke pangkuannya (
Inna lillah wa inna ilaihi raji’un). Di dalam meÂnempuh pengembaraan hidup ini, di dalam seÂtiap pengabdian dalam shalat kita selalu memÂbaca ayat dalam surah al-Fatihah, yang wajib dibaca pada setiap rakaat: Ihdinas shirath al-mustaqim, shirath al-ladzina an’amta ‘alaihim, gair al-magdhub 'alaihim waladh dhalin (TunÂjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat
/Q.S. al-Fatihah/1:6-7). Kalangan ulama ('arifin) membagi jenjang perjalanan spiritual itu kepada beberapa taÂhap atau tingkatan.
Ibnu ‘Arabi dalam
FushÂush al-Hikam-nya menyebutkan ada tiga tahap pengembaraan spiritual (
al-sair al-tsalatsah), yaitu pengembaraan menuju Allah (
al-sair ila Allah), pengembaraan di dalam Allah (
al-sair fi Allah), dan pengembaraan dengan Allah keÂpada Allah untuk mencapai kesempurnaan (
al-sair bi Allah ila Allah li al-takmil), dan SayÂid Kamal al-Haidari dalam kitabnya
Min al- Khalq ila al-Khalq, Rihalat al-Salik fi Asfarih al-Arba’ah, mengembangkannya menjadi emÂpat bagian pengembaraan, yaitu sebelum ke jenjang yang terakhir versi Ibnu ‘Arabi ia meÂnambahkan suatu tahap yang disebutnya denÂgan:
al-taraqqi ila ‘ain al-jam’ wa al-Hadhrah al-Ahadiyyah, yaitu peroses pendakian menuÂju penyatuan dengan wujud
Ahadiyyah. Apa yang sesungguhnya yang dimaksud dengan tahapan-tahapan itu, dan bagaimana menemÂpuh pengembaraan suci ini, akan diuraikan dengan segala keterbatasn penulis di dalam artikel mendatang.
Allahu A’lam.