Pertanyaan yang sering mengusik pikiran kita kenapa perjalanan spiritual dalam linÂtasan sejarah Islam hampir semuanya terjaÂdi di malam hari? Kenapa bukan di sing hari? Isra' Mi'raj sebagai perjalanan horizontal dari Baitullah, Mekkah ke Masjid Aqsha, Palestina, dan Mi'raj ialah perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidrat al-Muntaha. Perjalanan Isra' mungkin masih bisa dijelaskan dengan logiÂka dengan menghubungkannya dengan kenÂdaraan supersonic yang berkekuatan super cepat, namun Mi'raj hanya bisa didekati denÂgan iman. Mengapa Allah Swt memperjalankan hambanya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan). Dalam bahasa Arab kata lailah mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang. Ada makna alegoris seperti gelap atau kegÂelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahÂduan; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu'), kepasrahan (tawakÂkal), kedekatan (taqarrub) kepada Allah Swt.
Di dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapan syair seorang pengantin baru:
Ya lalila thul, ya shubh qif (wahai malam bertamÂbah panjanglah, wahai subuh berhentilah). Kata lailah di dalam bait itu berarti kesyahÂduan, keindahan, kenikmatan, kehangatan, ketenangan, kerinduan, keakraban, sebaÂgaimana dirasakan oleh para pengantin baru, yang menyesali pendeknya malam. Dalam syair-syair sufistik juga lebih banyak meneÂkankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (taraqqi) menuju Tuhan. MerÂeka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi'i:
Man thalÂab al-ula syahir al-layali (barang siapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam). Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamÂba dan Tuhannya.
Makna lailah dalam ayat pertama surah al- Isra' menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan aspek kekuatan spiritual malam (
the power of night). Kekuatan emosional-spiritual malam hari yang dialami Rasulullah, dipicu oleh suasana sedih yang sangat menÂdalam karena sang istri, Khadijah, dan sekaliÂgus pelindung dan penyandang dananya baru saja pergi untuk selama-lamanya. Rasulullah memanfaatkan suasana duka di malam hari sebagai kekuatan untuk bermunajat kepada Allah Swt. Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak membawa Rasulullah meÂnembus batas-batas spiritual tertentu, bahkan sampai pada jenjang puncak yang bernama Sidratil Muntaha. Di sanalah Rasulullah diinÂstol dengan spirit luar biasa sehingga malaiÂkat Jibril sebagai panglima para malaikat tidak sanggup lagi menembus puncak batas spirituÂal tersebut, karena energinya hanya terbatas sampai batas yang ditentukan. Sedangkan Nabi saat itu terus melejit ke atas sampai ke puncak yang lebih dikenal dengan Sidrah al- Muntaha, Sebuah tempat yang tidak pernah disentuh oleh siapapun. Di Sidrah al-Muntaha ini Nabi Muhammad Saw membuktikan diri sebagai sosok figur yang istimewa, diberi kesÂempatan sampai ke puncak. Meskipun sudah tiba di puncak spiritual tetapi Nabi memilih unÂtuk turun kembali ke bumi demi umatnya.