Makna Spiritual Isra’ Mi’raj (3)

Kenapa Di Waktu Malam?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 12 April 2018, 10:25 WIB
Kenapa Di Waktu Malam?
Nasaruddin Umar/Net
"MAHA Suci Allah, yang te­lah memperjalankan ham­ba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang te­lah Kami berkahi sekeliling­nya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mend­engar lagi Maha Melihat". (Q.S. al-Isra'/17:1).

Pertanyaan yang sering mengusik pikiran kita kenapa perjalanan spiritual dalam lin­tasan sejarah Islam hampir semuanya terja­di di malam hari? Kenapa bukan di sing hari? Isra' Mi'raj sebagai perjalanan horizontal dari Baitullah, Mekkah ke Masjid Aqsha, Palestina, dan Mi'raj ialah perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidrat al-Muntaha. Perjalanan Isra' mungkin masih bisa dijelaskan dengan logi­ka dengan menghubungkannya dengan ken­daraan supersonic yang berkekuatan super cepat, namun Mi'raj hanya bisa didekati den­gan iman. Mengapa Allah Swt memperjalankan hambanya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan). Dalam bahasa Arab kata lailah mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang. Ada makna alegoris seperti gelap atau keg­elapan, kesunyian, keheningan, dan kesyah­duan; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu'), kepasrahan (tawak­kal), kedekatan (taqarrub) kepada Allah Swt.

Di dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: Ya lalila thul, ya shubh qif (wahai malam bertam­bah panjanglah, wahai subuh berhentilah). Kata lailah di dalam bait itu berarti kesyah­duan, keindahan, kenikmatan, kehangatan, ketenangan, kerinduan, keakraban, seba­gaimana dirasakan oleh para pengantin baru, yang menyesali pendeknya malam. Dalam syair-syair sufistik juga lebih banyak mene­kankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (taraqqi) menuju Tuhan. Mer­eka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi'i: Man thal­ab al-ula syahir al-layali (barang siapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam). Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara ham­ba dan Tuhannya.

Makna lailah dalam ayat pertama surah al- Isra'  menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan aspek kekuatan spiritual malam (the power of night). Kekuatan emosional-spiritual malam hari yang dialami Rasulullah, dipicu oleh suasana sedih yang sangat men­dalam karena sang istri, Khadijah, dan sekali­gus pelindung dan penyandang dananya baru saja pergi untuk selama-lamanya. Rasulullah memanfaatkan suasana duka di malam hari sebagai kekuatan untuk bermunajat kepada Allah Swt. Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak membawa Rasulullah me­nembus batas-batas spiritual tertentu, bahkan sampai pada jenjang puncak yang bernama Sidratil Muntaha. Di sanalah Rasulullah diin­stol dengan spirit luar biasa sehingga malai­kat Jibril sebagai panglima para malaikat tidak sanggup lagi menembus puncak batas spiritu­al tersebut, karena energinya hanya terbatas sampai batas yang ditentukan. Sedangkan Nabi saat itu terus melejit ke atas sampai ke puncak yang lebih dikenal dengan Sidrah al- Muntaha, Sebuah tempat yang tidak pernah disentuh oleh siapapun. Di Sidrah al-Muntaha ini Nabi Muhammad Saw membuktikan diri sebagai sosok figur yang istimewa, diberi kes­empatan sampai ke puncak. Meskipun sudah tiba di puncak spiritual tetapi Nabi memilih un­tuk turun kembali ke bumi demi umatnya. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA