Kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih layak. Komitmen putra-putri bangsa Indonesia dari Sabang sampai Marauke untuk bersatu melawan penjajahan diwujudkan dalam bentuk Sumpah Pemuda. "Kami putra-putri bangsa Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra-putri Indonesia bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra-putri Indonesia berbahasa satu, Bahasa Indonesia". Kalimat-kalimat ini tampil bagaikan mukjizat yang menggalang kesatuan dan persatuan segenap warga bangsa di dalam menghadapi penjajah. Puncaknya tercapai pada tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan umat Islam sedang menjalani bulan suci Ramadhan. Kemerdekaan Indonesia dideklarasikan bertepatan hari Jum’at pagi. Hari ini betul-betul hari dan bulan yang penuh berkah bagi segenap warga bangsa Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia dideklarasiÂkan, segalanya menjadi mudah diselesaikan. Termasuk merumuskan prinsip-prinsip dasar bernegara. Meskipun Indonesia dihuni oleh mayÂoritas umat Islam tetapi mereka tidak mau hidup egois, karena mereka sadar bahwa kemerdekaan Indonesia diraih secara bersama oleh seluruh rakyat Indonesia. Seluruh etnik dan kelompok agama sama-sama merasakan dampak penjajaÂhan sekaligus sama-sama berjuang mempertahÂankan kemerdekaan yang telah diraihnya.
Inklusifisme Islam Indonesia terjadi sejak awal, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka sudah terjadi kebersamaan antara satu sama lain seÂbagai sama-sama warga bangsa yang mendiami suatu negeri yang majemuk. Toleransi dan tengÂgang rasa antarsesama sesungguhnya terjadi jau sebelum Indonesia merdeka. Dalam zaman kerajaan-kerajaan lokal masyarakat nusantara sudah mengenal dan bahkan sudah bersikap inklusif. Budaya masyarakat maritim lebih meÂnekankan aspek titik temu (sentripetal) daripada perbedaan (sentrifugal). Kita beruntung menjadi bangsa yang berbudaya maritim. Bandingkan orang-orang yang hidup di dalam masyarakat daratan (continental) yang sarat dengan struktur dan tingkatan-tingkatan masyarakat (social stratiÂfications), dan selalu dibayangi dengan perang antar suku. Lebih bersyukur kita dengan Islam yang dikembangkan di kepulauan Nusantara ialah Islam yang bercorak sunny, khsusnya mazxhab Syafi'. Mazhab ini lebih cocok dengan masyarakat agraris seperti di Indonesia.
Di dalam masyarakat agraris ciri khas sistem kekerabatannya ialah dominan sistem patriarki yang memberikan peran besar terhadap kaum laki-laki. Ciri khas lainnya ialah paternalistik, yakni apa kata raja atau pimpinannya itu kata rakyatnya. Dengan demikian figur-figur sentral ini sangat menentukan di dalam masyarakat. Inilah yang pernah dimanfaatkan pemerintah Hindia Belanda di bawah arsitektur politiknya, Prof. Snouck Hurgronje, pernah menggaÂgas sebuah gagasan cerdas: "Masyarakat Nusantara tidak perlu terlalu repot mengurusnya karena apa kata laki-laki itu kata perempuan dan apa kata raja itu kata rakyatnya. Cukup menguasai kaum laki-laki otomatis perempaun dikuasai dan cukup menguasai raja atau sultan otomatis rakyatnya dikuasai". Untuk memeliÂhara kemerdekaan dan NKRI kita perlu belajar pada masa lampau, kita tidak boleh jatuh di lubang yang sama seperti keledai.