Pihak yang digugat adalah PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) dan PT Grand Indonesia (GI). Kejaksaan Agung akan bertinÂdak sebagai pengacara negara mewakili Kementerian BUMN dan PT Hotel Indonesia NA tour (HIN) selaku pemilik lahan Grand Indonesia.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, Loeke Larasati Agoestina membenarkan rencana mengguÂgat CKBI-GI. Namun jajarannya masih menghitung nilai ganti rugi yang akan dituntut kepada peruÂsahaan Grup Djarum itu. "Masih diverifikasi. Jadi, saya belum tahu. Tim masih bekerja," katanya.
Sebelumnya, penyidik gedung bundar Kejaksaan Agung gagal membuktikan adanya tindak piÂdana dalam kasus pembangunan Grand Indonesia itu. Penyidikan akhirnya dihentikan.
"Sekarang kewenangannya ada di Kementerian BUMN. Kita hanya menindaklanjuti apa yang diinginkan Kementerian BUMN," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Muhammad Rum.
Menurut dia, bila Kementerian BUMN ingin memperkarakan kerjasama penggunaan lahan Hotel Indonesia Natour oleh CKBI-GI, bisa dilakukan lewat jalur perdata.
Kejagung, kata Rum, akan mengajukan gugatan perdata jika Kementerian BUMN memÂberikan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung selaku pengacara negara. Gugatan ini bakal ditangani jajaran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
Ditanya mengenai peluang menang untuk menagih dana dari CKBI-GI lewat jalur perÂdata, Rum tak ingin berandai-andai. Menurut dia, upaya terÂbaik yang bisa dilakukan adalah lewat gugatan.
Jaksa Agung M Prasetyo menÂegaskan kasus Menara BCA dan apartemen Kempinski Grand Indonesia bukan ranah pidana. "Kita menyimpulkan itu sebagai perdata," katanya.
Menurut dia, ada peluang unÂtuk menangkan gugatan perdata dalam menagih dana penggunaan lahan HIN oleh CKBI-GI. Salah satu buktinya adalah ketidakÂsesuaian pembangunan dengan kerja sama yang disepakati.
CKBImelalui anak perusaÂhaan PT Grand Indonesia (GI) menambah dua bangunan baru tanpa memberitahu HIN selaku pemilik lahan. Dua bangunan itu adalah Menara BCA dan aparteÂmen Kempinski.
Sesuai obyek yang tertuang dalam kesepakatan kerjasama, lahan HIN akan digunakan untuk pengembangan Hotel Indonesia, pembangunan pusat perbelanjaan Grand Indonesia (
West Mall) dan East Mall, serta tempat parkir.
Akibat penambahan dua banÂgunan di luar kontrak itu negÂara dirugikan hingga Rp 1,29 triliun. Pada 23 Februari 2016, kasus ini ditingkatkan ke peÂnyidikan dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-10/F.2/ Fd.1/02/2016.
Kasus ini berawal setelah CKBI menjadi pemenang lelang pengelolaan Hotel Indonesia dan dilaksanakan perjanjian kerÂjasama dengan Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan sistem Built, Operate, and Transfer (BOT) atau membangun, menÂgelola, dan menyerahkan.
Dalam kerja sama ini, CKBI bisa menggunakan lahan milik HIN untuk pengembangan Hotel Indonesia, dua pusat perbelanÂjaan dan tempat parkir.
CKBI ternyata menambah dua bangunan yang diduga di luar kontrak kerja sama. Kedua banÂgunan itu adalah Menara BCA dan apartemen Kempinski.
CKBI lalu menyerahkan pelakÂsanaan kerja sama BOT kepada anak perusahaannya, PT Grand Indonesia (GI). Untuk membiÂayai pembangunan, PT GImenÂgagunkan Hak Guna Bangunan (HGB) Grand Indonesia ke lembaga keuangan.
Kejaksaan Agung telah meÂmeriksa Direktur Utama PT HIN periode 1999-2009 AM Suseto. Saat diperiksa yang kedua kali, Suseto mengakui adanya kesalahan prosedur daÂlam pembangunan Menara BCA dan apartemen Kempinski. Ia menganggap pembangunan dua gedung itu ilegal.
"Saksi mengaku pembanguÂnannya di luar kontrak kerja sama," kata Arminsyah, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung saat itu.
Kilas Balik
Komisaris Hotel Indonesia Natour Ungkap Kejanggalan Kontrak BOT Ada beberapa fakta yang jangÂgal dalam kontrak kerja sama Build, Operate, Transfer (BOT) antara PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI).
Komisaris PT HIN, Michael Umbas, menyebutkan kejangÂgalan-kejanggalan itu ia temuÂkan sejak menduduki jabaÂtan petinggi di BUMN itu, November 2015.
Ia menjelaskan, dalam kontrak BOT yang ditandatangani 13 Mei 2004, disepakati empat obyek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT GI yakni hotel bintang 5 (42.815 m2), pusat perbelanjaan I(80.000 m2), pusat perbelanjaan II (90.000 m2) dan fasilitas parkir (175.000m2).
Namun, dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tertangÂgal 11 Maret 2009, ternyata ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski, yang tidak tercantum dalam perÂjanjian BOT dan belum diperÂhitungkan besaran kompensasi ke PT HIN.
Menurut Michael Umbas, kondisi ini menyebabkan PT HIN kehilangan memperoleh kompensasi yang lebih besar dari penambahan dua bangunan yang dikomersilkan tersebut.
Pembangunan dua gedung itu memiliki nilai ekonomis yang cukup besar sehingga setara denÂgan rencana obyek BOT lainnya yang disepakati. Penambahan dua gedung ini mestinya diaÂjukan sejak awal perencanaan dan tercantum dalam objek BOT. "Hal ini jelas tidak sesuai perencanaan awal yang disetuÂjui kementerian BUMN," kata Umbas.
Selain itu, PT GI juga tidak kooperatif dan transparan dalam menyampaikan laporan pemeliÂharaan. Tidak memberi rincian nilai biaya pemeliharaan.
Seharusnya alokasi biaya peÂmeliharaan sebesar 4 persen dari nilai pendapatan pengelolaan obyek BOT, namun PT GI tidak pernah transparan terkait nilai keuntungannya. "Ini berpotensi kerugian bagi PT HIN yang akan menerima obyek BOT di kemuÂdian hari," sebut Umbas.
"Masih ada sejumlah hal lain yang juga kami temukan dan sedang didalami, seperti besaran nilai kompensasi, pengalihan sepihak penerima BOT dari PT CKBI ke PT GI, terjadi pengaÂgunan HGB ke bank, serta yang cukup serius, terkait opsi perÂpanjangan BOT 20 tahun pada tahun 2010 dengan kompensasi tidak maksimal dan dilakukan jauh sebelum masa kontrak 30 tahun berakhir," jelas Umbas.
Menurut dia, fakta-fakta itu jelas memberi dampak kerugian yang besar bagi PT HIN selaku korporasi. Sebagai komisaris yang baru ditugaskan di PT HIN, Michael Umbas menilai harus ada langkah-langkah penyelaÂmatan aset negara sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
"Kami berpendapat, dalam hal ini tentu negara selaku pemilik BUMN PT HIN tidak boleh kalah. Sehingga tidak boleh lagi ada upaya pembiaran dan pengÂabaian terhadap hal-hal yang menyebabkan potensi kerugian negara secara berulang-ulang dan terjadi secara kasat mata," pungkasnya.
Pihak PT GImembantah melakukan korupsi BOT dengan PT Hotel Indonesia Natour (HIN) saat membangun empat gedung di sekitar Hotel Indonesia pada 13 Mei 2004. "Kerja sama antara HIN dengan Grand Indonesia teÂlah melalui proses yang sah dan transparan," kata kuasa hukum PT GI, Juniver Girsang.
Menurut Juniver, perjanjian itu telah ditandatangani berbagai pihak. Karena itu ia menampik adanya tudingan kerugian negÂara, saat PT GI membangun dua gedung baru di luar dari empat gedung yang disepakati. "Tudingan bahwa pelaksanaan BOT ini merugikan negara Rp 1,2 triliun akibat pembangunan Menara BCA dan apartemen Kempinski tidak benar," kata Juniver. ***
BERITA TERKAIT: