Inna mengaku memiliki rekaÂman percakapan dengan anggota DPRD yang meminta jatah duit hasil pemotongan dana kapitasi puskesmas. "Di handphone saya terekam pembicaraan dengan DPRD. Ada aliran dana ke DPRD," sebutnya.
Inna mengatakan rekaman perÂcakapan itu sudah diserahkan ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada kesempatan ini, Inna juga mengungkapkan dirinya terpaksa melakukan pemotongan dana kapitasi puskesmas karÂena diperintah Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko.
Inna juga diperintah Bupati melakukan pungutan liar penÂgurusan izin rumah sakit swasta di Jombang. Jika tak menuruti perintah itu, Inna akan dicopot dari jabatannya. "Total hasil pungli ada sekitar Rp 675 juta," beber Inna.
Juru bicara KPK Febri Diansyah menghargai pengakuan Inna. "Pengakuan itu pasti akan kita dalami," katanya.
Namun sejauh ini, penyidik masih menganggap Inna melakukan pungÂutan tanpa paksaan. Pasalnya, penÂgumpulan uang dari pemotongan dana kapitasi puskesmas dilakukan sengaja dan sistematis.
Selain itu, Inna dianggap memiliki kepentingan melakukan perbuatan itu demi mempertahÂankan jabatannya. "Ada kepentÂingan terkait posisi sebagai Plt untuk menjabat menjadi (kepala dinas) definitif," sebut Febri.
Menurut bekas aktivis
Indonesia Corruption Watch (ICW) itu, sikap terus terang Inna bisa menjadi pertimbangan untuk memperingan tuntutannya.
"Kalau memang tersangka ingin menyampaikan secara terang apa yang dia lakukan atau peran pihak lain tentu akan kami pertimbangkan sebagai alasan yang dapat meringankan kalau kooperatif," kata Febri.
"Bisa dikategorikan, tersangÂka membantu penyidik dalam membongkar kasus ini," lanjut Febri. Namun sejauh ini Inna belum mengajukan permohonan menjadi
justice collaborator (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penyidik untuk memÂbongkar perkara.
Kalaupun nanti Inna menÂgajukan JC, KPK tak langsung mengabulkannya. Menurut Febri, KPK akan mencermati sikap Inna selama menjalani proses penyidiÂkan dan penuntutan.
Jika nanti terungkap fakta-fakta bahwa Inna memiliki keÂpentingan dalam kasus ini atau berperan sebagai pelaku utama, permohonan JC bakal ditolak.
Kasus pemotongan dana kapiÂtasi puskesmas dan pungli perizÂinan rumah swasta di Jombang terbongkar setelah KPK melakuÂkan operasi tangkap tangan.
KPK pun menetapkan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko dan Inna sebagai tersangka. Nyono diduga menÂerima suap dari Inna sebesar Rp 275 juta. "Diduga pemberian uang dari IS ke NSW agar bupati menetapkannya sebagai kepala Dinas Kesehatan," kata Febri.
Inna mengumpulkan uang suap dari pemotongan dana kapÂitasi 34 puskesmas di Jombang. "Rentang Juni-Des 2017 ada yang dipungut Rp 500.000, Rp 1,5 juta, Rp 7,65 juta, Rp 14 juta, Rp 25 juta hingga Rp 34 juta," beber Febri.
Total uang yang terkumpul Rp 434 juta. Bupati Nyono mendapat jatah 5 persen. Sedangkan Inna 1 persen. Satu persennya lagi untuk paguyuban puskesmas.
"Atas dana yang terkumpul, IS telah menyerahkan sekitar Rp 200 juta kepada NSW pada Desember 2017," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarief dalam keterangan pers, Minggu 4 Februari 2018.
Inna juga menyerahkan uang Rp 75 juta kepada Nyono. Uang itu berasal dari pengurusan izin operasional sebuah rumah sakit swasta di Jombang. Penyerahan uang ini dilakukan pada 1 Februari 2018. Saat itulah petugas KPK menciduk Inna dan Nyono.
Nyono telah menggunakan seÂbagian uang suap yang diterima dari Inna untuk kepentingan kampanye pilkada. "Diduga Rp 50 juta digunakan NSW untuk membayar iklan terkait renÂcananya maju menjadi Bupati Jombang 2018," kata Laode.
Sebagai pemberi suap, terÂsangka Inna disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi.
Sementara, Bupati Nyono dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Kilas Balik
Ditahan KPK, Nyono Masih Bisa Ikut Pilkada
Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan karena menerima suap. Meski terjerat perkara, namanya tak dicoret sebagai peserta pemilihan bupati-wakil bupati Jombang 2018.
Ketua KPU Jawa Timur, Eko Sasmito menyatakan nama Nyono tak bisa dicoret karena sudah ditetapkan peserta pilkada. Sebaliknya, Nyono pun tak bisa mundur setelah penetapan itu.
Eko mengatakan telah meÂnyampaikan hal ini kepada Partai Golkar yang mengusung Nyono sebagai calon bupati Jombang di pilkada 2018.
Dalam pertemuan tertutup tersebut, Eko menyampaikan sikap KPU Jatim. Sikap itu menÂgacu kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum RI (PKPU) Nomor 3 tahun 2017 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali kota.
Eko menjelaskan, calon hanya boleh diganti bila dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehaÂtan, berhalangan tetap atau menÂinggal dunia dan telah divonis hukum secara inkrah.
"Ya saya katakan kalau mau mundur tidak boleh diganti, karena calon kepala daerah tersebut sudah terverifikasi saat pendaftaran," ujarnya.
Lantaran Nyono ditahan KPK, calon Wakil Bupati Jombang Subaidi Muchtarópasangan Nyonoóakan melewati masa kampanye sendirian.
Mengenai hal itu, Eko meÂnyatakan KPU tak ikut campur. "Masalah kampanye itu urusan partai, KPU tidak berwenang ke sana, ada debat publik ya tetap jalan. Apa pun kondisinya," paparnya.
Jika nanti pasangan Nyono-Subaidi memenangkan pilkada Jombang, KPU akan menerÂbitkan surat penetapannya.
"Kami akan kirim hasil penetaÂpan ke Gubernur lalu diteruskan ke Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). Nah selanjutÂnya bukan kewenangan kami," kata Eko.
Sementra itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengungkapÂkan sudah mengajukan tiga naÂma kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menjalankan tugas sebagai Plt Bupati Jombang setÂelah Nyono ditangkap KPK.
"Saya sodorkan nama. Mereka saya nilai berdasarkan pengalaman di pemerintahan," ujar pria yang akrab disapa Pakde Karwo itu.
Soekarwo menambahkan, dirinya juga melaporkan soal integritas dan moral para kepala daerah di Jawa Timur. Menurut dia, laporan mengenai hal ini besar dampaknya.
Ia menilai, tingginya ongkos politik menjadi salah satu faktor kepala daerah melakukan korupsi. Apalagi, jika kepala daerah itu hendak mencalonkan diri lagi. "Saya prediksi seperti ini karÂena tidak butuh dana sedikit bila seorang pemerintah ingin turun langsung bertatap muka dengan masyarakat," katanya. ***
BERITA TERKAIT: