Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Pintu Ruangan Fayakhun Terselip Surat DPP Golkar

Tertutup Rapat Setelah Sang Pemilik Jadi Tersangka

Minggu, 25 Februari 2018, 10:17 WIB
Di Pintu Ruangan Fayakhun Terselip Surat DPP Golkar
Fayakhun Andriadi/Net
rmol news logo Politikus Partai Golkar Fayakhun Andriadi telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus suap proyek pengadaan Satellite Monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Setelah menjadi tersangka, anggota Komisi I DPR ini tidak pernah sekalipun mendatangi ruang kerjanya di Gedung Nusantara III DPR Senayan, Jakarta.

Kamis siang (22/2), ruang kerja Fayakhun yang berada di lantai I302 Gedung Nusantara III DPR, Senayan, Jakarta sepi. Tidak ada aktivitas apapun di ruang kerja yang berada di pojok lantai 13 itu. Kondisi di dalam ruangan juga gelap gulita.

Di gagang pintu masuk terse­lip sebuah surat yang berasal dari DPP Partai Golkar. "Sejak ditetapkan menjadi tersangka, Pak Fayakhun sudah tidak per­nah ke ruang kerjanya," ujar Leni, salah seorang karyawan yang bersebelahan dengan ruang kerja Fayakhun Andriadi.

Seperti diketahui, Fayakhun ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap pengadaan satelit monitor­ing di Bakamla, Rabu (14/2).

Berdasarkan pengamatan, ruang kerja Fayakun sudah direnovasi. Dinding ruang ker­janya juga telah diganti dengan triplek warna krem. Pintu masuk yang awalnya dari kaca diganti dengan kayu warna coklat muda sehingga tampak elegan. Di de­pan pintu masuk ditempel nama Ir Fayakhun Andriadi M.Kom lengkap dengan nomor ruangan yang berada di bawahnya yaitu, 1302.

Sementara, di bagian atas ru­ang kerjanya tetap menggunakan model lama dengan bentuk kaca bening. Di belakang kaca terse­but ditutup dengan lemari beru­kuran besar di baliknya. "Ruang kerjanya sering tutup. Apalagi saat reses. Staf pribadinya juga jarang ke sini karena lebih ban­yak di DPD Golkar Jakarta," ujar Leni kembali.

Perempuan berjilbab ini me­nilai, staf ahli maupun staf pribadi Fayakhun jarang ber­gaul dengan staf ahli anggota Dewan lainnnya. "Nama staf ahlinya saja saya tidak tahu," tutup Leni.

Bagaimana tanggapan Fayakun? Dia menyerahkan perso­alan tersebut kepada hukum. "Biar itu nanti melalui proses hukum saja," elak Fayakun.

Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR Sarmuji mengata­kan, Fayakhun hingga saat ini masih menjadi anggota Fraksi Golkar. Sebab, kata dia, ber­dasarkan aturan hukum yang ada, seseorang anggota Dewan, baru dinonaktifkan dari jaba­tannya bila sudah berstatus terdakwa atau perkaranya masuk pengadilan. "Saat ini dia masih menjalankan tugas sebagai ang­gota Dewan seperti biasa," ujar Sarmuji.

Menurut Sarmuji, berdasarkan pengalaman yang ada, anggota Dewan dari Golkar yang telah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, biasanya dihim­bau untuk mengundurkan diri sebagai anggota Dewan demi kebaikan dirinya maupun Partai Golkar. "Biasanya setelah ada himbauan dari partai atau fraksi, yang bersangkutan mengun­durkan diri tanpa menunggu putusan tetap dari pengadilan," ucapnya.

Namun untuk perkara Fayakun, Sarmuji mengaku belum mengetahui apakah sudah ada himbauan agar Fayakun mengundurkan diri. "Saya belum mengecek soal itu," elaknya.

Agar kasus tersebut tidak teru­lang kembali, Sarmuji mengin­gatkan kepada seluruh anggota Dewan agar selalu berhati hati dan membahas berbagai proyek yang menjadi bidang tugasnya. Sebab, kata dia, hal tersebut godaannya sangat besar. "Yang pent­ing, sesama anggota Dewan saling mengingatkan saja agar tidak terlibat korupsi," harap dia.

Selain itu, lanjut Sarmuji, sistem politik yang membutuh­kan biaya tinggi juga membuat banyak anggota Dewan ber­tindak "terlalu kreatif" untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga banyak yang terjerat KPK. "Negara harus turut me­mikirkan hal itu. Termasuk mem­berikan bantuan dana ke parpol secara proporsional," sarannya.

Sebab saat ini, kata dia, ban­tuan negara ke parpol sangat kecil sehingga tidak cukup untuk membiayai operasional partai. "Harus dihitung berdasarkan kebutuhan operasional partai," sarannya.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (Sekjen DPP) Partai Golkar Lodewijk Fredrich Paulus menambahkan, Fayakhun juga tetap menjadi kader Partai Golkar, hanya dicopot dari ja­batannya sebagai Ketua DPD DKI Jakarta dan membiarkan­nya menjalani proses hukum di KPK.

Selain itu, Fredrich mem­bantah adanya aliran dari ka­sus korupsi itu untuk mem­biayai Musyawarah Nasional (Munas) di Bali pada tahun 2016. "Anggaran dana untuk penyelenggaraan Munas sudah jelas sumbernya," jelasnya.

Dia meminta dibedakan antara dana untuk kepentingan partai dan oknum. "Tahu darimana ada aliran dana masuk ke Golkar. Tidak ada. Itu urusan pribadi dia," tampiknya.

Terpisah, Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto menambahkan, partainya telah menunjuk Sekretaris Fraksi Golkar DPR, Agus Gumiwang Kartasasmita, sebagai Plt Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta menggantikan Fayakhun Andriadi yang telah ditetapkan tersangka oleh KPK. "Kemarin sudah diputus. Plt nya Pak Agus Gumiwang," ujar Airlangga.

Menurut Airlangga, nanti­nya Agus Gumiwang selaku Plt Ketua DPD Golkar DKI Jakarta bertanggung jawab untuk melak­sanakan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) daerah gu­na menunjuk Ketua DPD Golkar DKI Jakarta yang definitif. "Mungkin dalam waktu dua bulan menyiapkan musyawarah luar biasa daerah,"  tandasnya.

Menurut Airlangga, penun­jukan Agus Gumiwang sebagai Ketua DPD Golkar DKI karena Fayakun telah mengajukan pen­gunduran diri dari jabatannya karena menjadi tersangka di KPK, sejak Sabtu (17/2).

Terkait dengan status ter­sangka Fayakhun, Airlangga mengatakan, Partai Golkar siap memberikan bantuan hukum. Namun, bantuan hukum itu akan diberikan jika Fayakhun men­gajukan permintaan. "Kita baru revitalisasi. Pada waktunya, Pak Fayakhun akan membicarakan hal itu," pungkasnya.

Latar Belakang
Disebut Dalam Dakwaan Nofel, Diduga Terima Fee Rp 12 Miliar

KPK menetapkan politikus Partai Golkar Fayakhun Andriadi seba­gai tersangka kasus pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Rabu (14/2).

Dalam kasus ini, Fayakun diduga menerima suap berupa hadiah atau janji yang terkait dengan jabatannya untuk me­muluskan anggaran pengadaan satelin monitoring di Bakamla pada APBN-P tahun anggaran 2016 sebesar Rp 1,2 triliun.

KPK menemukan bukti per­mulaan, bahwa Fayakhun men­erima fee sebesar 1 persen dari total nilai anggaran Bakamla sebesar Rp 1,2 triliun atau seki­tar Rp 12 miliar. Fee itu diberikan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah melalui anak buahnya, Muhammad Adami Okta.

Fahmi Darmawansyah meru­pakan pemilik perusahaan yang memenangi tender proyek sat­ellite monitoring di Bakamla. Suap untuk Fayakhun diberikan secara bertahap sebanyak em­pat kali. Selain itu, Fayakhun juga diduga menerima 300 ribu Dollar AS.

Fayakhun merupakan tersang­ka keenam dalam kasus suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla. Sebelumnya, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka, yaitu Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi, pengusaha Fahmi Darmawansyah, Hardy Stefanus dan M. Adami Okta dari pihak swasta; serta Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan. Saat ini, Nofel masih menjalani proses persidangan. Adapun empat orang lain te­lah divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Nama Fayakhun disebut dalam dakwaan Nofel. Fayakhun didu­ga menerima imbalan 927.756 dolar ASatau sekitar Rp 12,8 miliar dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah untuk membuka blokir penganggaran drone dalam proyek pengadaan satelit monitoring di Bakamla.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, setelah melakukan proses penyelidikan dan berdasarkan fakta persidan­gan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan ke tahap penyidi­kan dan menetapkan Fayakhun sebagai tersangka. "Dalam kasus ini, tersangka diduga menerima suap berupa hadiah atau janji yang terkait dengan jabatannya," ujar Marwata.

Fayakhun diduga menerima fee 1 persen atau Rp 12 miliar dari total anggaran Bakamla Rp 1,2 triliun. Pemberian suap ini dilakukan secara bertahap empat kali dari tersangka Fahmi mela­lui anak buahnya, Adami Okta. Selain itu, ia diduga menerima 300 ribu dolar AS.

Dengan begitu, Fayakhun diduga terlibat dalam korupsi terkait dengan rencana kerja dan anggaran kementerian nega­ra/lembaga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun ang­garan 2016, yang akan diberikan kepada Bakamla.

Dalam proses penetapan, jelas Marwata, tim penyidik KPK mendapat beberapa alat bukti berupa keterangan saksi, surat, barang elektronik, serta fakta per­sidangan. Alat-alat bukti tersebut, kata Marwata, menunjukkan bahwa Fayakhun diduga memu­luskan anggaran Bakamla.

Dalam kasus ini, Fayakhun disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau (b) atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seba­gaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sementara, Direktur Utama PT Merial Esa dan PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah mengakui Fayakhun Andriadi menerima Rp 12 mil­iar. "Ada pemberian juga, dalam bentuk dollar AS," ujar Fahmi kepada jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (24/1).

Menurut Fahmi, Fayakhun pernah mengklaim bahwa ia ber­jasa dalam meloloskan anggaran pengadaan satelit monitoring senilai Rp 500 miliar. Kemudian, anggaran pengadaan drone se­nilai Rp 400 miliar.

Fahmi menambahkan, Fayakhun meminta agar diberikan fee senilai 1 persen dari anggaran to­tal Bakamla dalam APBN sebe­sar Rp 1,2 triliun. Adapun, fee tersebut senilai Rp 12 miliar.

Menurut Fahmi, uang itu telah diserahkan kepada Fayakhun. Penyerahan sebanyak empat kali, dilakukan melalui anak buah Fahmi, Adami Okta. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA