Agama dan kepercayaan lokal di Nusantara umumnya didominasi oleh kepercayaan animisme. Faham ini secara substansial bisa mengaktualisasikan diri ke dalam agama-agama formal, seperti agama Islam,agama Budha, agama Hinda, dan agama Keristen. Budaya masyarakat Indonesia yang menÂganut system budaya maritime, yang lebih terbuka terhadap kelompok dan kekuatan nilai-nilai luar dibanding budaya
continental (daratan).
Elastisitas ajaran Islam dan keterbukaan agama dan kepercayaan lokal Nusantara memudahkan kedua komponen nilai ini bisa beradaptasi satu sama lain. Dalam posisi ini masing-masing elitnya juga memudahkan berkomunikasi satu sama lain. Kelompok elit muslim memamfaatkan kondisi seperti ini untuk memperkenalkan substansi ajaranÂnya langsung ke dalam masyarakat melalui hubungan dagang para penganjurnya.
Perkembangannya lebih lanjut, kedua kelompok dengan hati-hati membiucakan hal-hal yang lebih sensitif.Pemuka-pemuka agama Islam sering memikirkan sesuatu yang krusial; mestikah mereka (penganut agama dan kepercayaan lokal) "dibina" menurut 'apa adanya' meskipun berdiri di atas landasan yang batil? Mestikah mereka "dibina" dengan 'bagaimana seharusnya' sekalipun ada dugaan keharmonisan di antara mereka akan terganggu. Denagn kata lain, mestikah kehormonisan itu dipertahÂankan walau di atas landasan yang batil, atau mestikah sesuatu yang haq itu ditegakkan sekalipun harus mengorbankan keharmonÂisan di dalam masyarakat?
Memang serba dilema, mendiamkan persoalan ini sama artinya melakukan pemÂbiaran terhadap sebagian warga bangsa kita hidup di dalam ketidak adilan. Pada sisih lain menghadirkan regulasi baru untuk mengakomodir mereka bisa menimbulkan ketegangan konseptual baru dan berdampak pada sistem kenegaraan yang sudah terlanÂjur mapan. Sebutlah misalnya, jika mereka diakomodir dalam bentuk pemberian penÂgakuan maka dampaknya ialah prosentasi penganut agama yang sudah mapan pasti mengalami penurunan signifikan secara statistik, karena agama local dan Aliran Kepercayaan yang pernah "menumpang" dalam kolom agamanya hijrah ke kolomnya sendiri. Di samping itu, pemerintah harus meÂnyiapkan struktur, minimal setingkat Direktur di Kemterian Agama dan kantor-kantor perÂwakilan cabang, termasuk personalia dan prasarananya; sementara angka-angka pasti mereka belum jelas, dan selama ini umumÂnya berdasarkan klaim. Belum lagi dampak sosialnya menyangkut masalah perkawinan, muzakki, mustahiq (zakat),
mauquf 'alaih (waqaf), dll. Hal ini betul-betul memerlukan pemikiran mendasar dan komprehensif.
Pemerintah Hindia Belanda jugan sering memperkeruh hubungan harmonis ini dengan memberikan tekan kepada salahsatu pihak dan mendukung pihak lain. Terkadang menjalankan politik belah bamboo dan terkadang obyektif memihak kepada kelompok mayoritas Islam dengan menjalankan "poltik etik" dengan memÂberikan pengakuan kepada komuntas umat Islam. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Orde Lam dan Orde Baru kelihatannya mengÂgunakan politik
"status quo" mengenai hubunÂgan antara agama Islam dan agama-agama dan kepercayaan local.