Sebagai perbandingan, Islam inklusif agak mirip dengan logika yang digunakan di dalam Konsili Vatikan II tahun 1965 daÂlam agama Katolik, yang melakukan peÂrubahan sikap mendasar, yaitu menerima kebenaran yang bersumber dari luar gereja Katolik. Umat Katolik diminta untuk mengÂhormati nilai-nilai kebenaran dan apa yang dianggap baik dari agama-agama lain. BerÂbeda dengan sebelumnya, gereja hanya mengakui kebenaran dan kebaikan yang bersumber dari doktrin ajaran Katolik. SeÂmenjak itu agama Katolik dianggap sebagai agama yang inklusif karena sudah terbuka untuk menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari luar dirinya.
Secara populer Islam inklusif sering diniÂlai lebih dekat kepada pemahaman Islam moderat, karena lebih menekankan titik temu
(principle of identity) dengan kelomÂpok lain. Bahkan ada sebagian kelompok mengategorikannya sebagai kelompok IsÂlam liberal. Sebaliknya Islam ekslusif serÂing dinilai lebih dekat kepada pemahaman agama Islam garis keras karena lebih meÂnekankan perbedaan (principle of negation) dengan kelompok agama lain. Kedua kelÂompok ini masing-masing mengklaim diri benar dengan mendasarkan pandanganÂnya kepada Al-Qur'an dan hadis.
Kelompok Islam inklusif sering merujuk kepada ayat: "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar berÂiman kepada Allah, hari kemudian dan beÂramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
(Q.S. al-Baqarah/2:62). DeÂmikian pula dalam ayat lain: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhÂadap mereka dan tidak (pula) mereka berÂsedih hati.
(Q.S. al-Maidah/5:69).
Dalam hadis juga dikemukakan sebagai dasar: "Hikmah atau kebenaran adalah miÂlik umat Islam, di mana dan dari manapun pun kalian temukan ambillah" (hadis). Hadis lainnya: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak karimah" (Hadis). Maksudnya untuk pembinaan umat Islam tidak mesti harus dimulai dari titik nol, tetapi bisa dipertahankan nilai-nilai luhur dari masa lampau yang masih dominan. KelÂompok ini sering mengutip kaedah: "MemÂpertahankan nilai-nilai lama yang masih relevan dan mengambil alih nilai-nilai baru yang lebih baik."
Inklusifisme Islam Indonesia bukan hanÂya terbuka terhadap nilai-nilai agama yang datang sebelumnya tetapi juga nilai-nilai adat-istiadat yang relevan dan sejalan denÂgan ajaran Islam diambil sebagai kebuÂtuhan asesoris (tahsiniyyat) ajaran Islam. Motto yang popular di sejumlah wilayah InÂdonesia ialah: "Adat bersendi Syara, dan Syara' bersendi
Kitabullah." Itulah keindaÂhan Islam Indonesia.
Subhanallah.