Pembacaan dan pemaknaan ulang kitab suci para tokoh agama dalam perspektif keindoneÂsiaan amat penting bagi bangsa yang plural seperti Indonesia ini. Kita sulit membayangkan adanya dialog interfaith tanpa keutuhan pemaÂhaman atau saling pengertian kelompok-kelÂompok internal dari suatu agama. Seringkali ketegangan intrafaith lebih tinggi ketimbang ketegangan interfaith. Bahkan seringkali juga terjadi ketegangan dan konflik intrafath berimÂbas kepada ketegangan interfaith. Paling sering terjadi konflik, baik intrafaith maupun interfaith, dipicu oleh persoalan definisi kebahasaan atau redaksional. Boleh jadi para pihak tidak bisa dengan mudah mengenyampingkan perbeÂdaan dan konflik itu melalui kearifan membaca sebuak teks yang dipersoalkan. Sangat boleh jadi antara para pihak sesungguhnya tidak ada persoalan yang mendasar, yang ada hanya persoalan teknis pembacaan teks yang sudah terlanjur disakralkan dan ditabukan.
Dialog intrafaith dan interfaith ke depan, tidak lagi berhenti dari sudut pandang kebahasaan, tetapi mengacu kepada hakekat dan tujuan umum atau spirit universal kitab suci itu. DaÂlam beberapa hal yang bersifat semantik-ideÂologis bisa diselesaikan dengan cara agree in disagree. Sebab jika dialog masih berkutat dalam soal kebahasaan dan redaksional, masÂing-masing pihak bisa bisa mengklaim dirinya paling benar. Ke depan, dialog intrafaith dan inÂterfaith sebaiknya lebih diarahkan kepada hal-hal yang bersifat fraksis, hal-hal yang bersifat konkret dan bersentuhan langsung dengan kehidupan riil masyarak lapis bawah. Dialog konseptual biarlah menjadi domain para tokoh dan ilmuan agama. Akan tetapi masyarakat laÂpis bawah perlu dialog model lain, yang bukan mengangkat persialan teoretis, yang tidak langÂsung menyentuh kehidupan mereka. Dialog bisa dikembangkan dalam arti berhubungan seÂcara interaktif antara sesama komunitas intraÂfaith maupun interfaith di dalam menyelesaikan persoalah kerusakan lingkungan, menuntaskan fasilitas umum secara bersama-sama, memÂerangi kejahatan narkoba, pencurian, korupsi, dan persoalan pornografi dan pornoaksi, yang oleh semua agama memang melarangnya.
Dialog dalam bentuk penyiapan aktivitas bersama yang bisa menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga mereka masing-masing. Pengalaman penulis pernah memimpin sebuah yayasan yang didukung oleh penyandang dana dari luar. Kita menyewa empang lumaÂyan luas di sekitar Cengkareng, lalu kita pekerÂjakan orang-orang yang berbeda agama dan etnik. Termasuk di dalamnya keturunan Tionghoa. Ketika prahara reformasi meletus tahun 1997, etnik Tionghoa yang bekerja di empang itu dirondai oleh komunitas muslim sehingga mereka hidup aman, meskipun sanak keluarga mereka ada yang korban. Perbedaan agama dan suku di antara mereka sama sekali tidak menimbulkan persoalan. Bahkan di antara merÂeka saling mengasihani sebagai sesama pengÂgarap empang. Produktivitas mereka semakin berkembang. Udang yang dipelihara di empang mereka kualitasnya menembus pasar luar negÂeri. Dialog dalam format lain sangat diperlukan bangsa ini. Bukan berarti dialog konvensional tidak penting tetapi dialog yang bisa memperÂtemukan kelompok-kelompok masayarakat laÂpis bawah, yang jumlahnya mayorits, perlu diuÂpayakan. Mungkin modalnya tidak besar tetapi hasilnya bukan hanya menghasilkan uang tetapi kedamaian sejati.