Anggapan seperti ini tidak sepenuhnya beÂnar karena masih banyak sekali sistem ajaran yang sulit dicerna akal tetapi tetap bertahan dan dipertahankan masyarakat. Termasuk daÂlam Islam, misalnya jika logika yang digunaÂkan untuk memahami keberadaan tayammum, yaitu penggunaan debu sebagai pengganti air untuk menyucikan diri, maka mungkin sulit diÂpahami. Banyak doktrin besar dalam agama besar yang tidak sejalan dengan logika tetapi tetap dipertahankan. Tidak tanggung-tanggung yang justru mempertahankannya ialah para toÂkoh pemikir dari agama tersebut. Inilah misÂteri agama. Dalam Islam, dikenal ada Rukun Iman untuk mengamankan sistem ajaran yang mungkin sulit dicerna oleh akal. Memang benar bahwa jika semua ajaran agama harus serasi dan sejalan dengan logika, maka seketika itu agama berheti statusnya sebagai agama dan menjelma menjadi filsafat etika. Filsafat tidak akan pernah bisa memanusiakan manusia seÂcara sejati. Mungkin atas dasar kenyataan ini, Prof Hull dalam History and Philosophy of SciÂence menyatakan, agama tidak mungkin bisa diasingkan dengan pemeluknya.
Menarik untuk dikaji mengapa agama-agama lokal dan sejumlah aliran kepercayaan tetap bertahan hidup? Sumber kekuatannya dari mana? Bagaimana mereka menyiasati kehiduÂpan masyarakat modern yang serba rasional? Bagaimana sistem regenerasi dan memelihara generasi mudanya supaya mereka tetap kenÂtal dengan agama dan kepercayaannya? Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah terhadap mereka? Kalangan sosiolog agama sepÂerti Max Weber pernah menyatakan, populasi umat beragama selalu terapung bersama agÂamanya. Semodern apapun sebuah bangsa agama tetap eksis di dalamnya.
Problemnya yang sering muncul ialah mesÂtikah mereka "dibina" menurut 'apa adanya' sekalipun ada terlintas dalam kesadaran bahÂwa agama dan kepercayaan tersebut berdiri di atas landasan yang batil? Mestikah mereka "dibina" dengan 'bagaimana seharusnya' sekaÂlipun ada dugaan keharmonisan di antara merÂeka akan terganggu. Dengan kata lain, mesÂtikah kehormonisan itu dipertahankan walau di atas landasan yang batil, atau mestikah sesuatu yang haq itu ditegakkan sekalipun harus mengorbankan keharmonisan di dalam masyarakat. Pertanyaan mendasar ini sering menjadi wacana akhir-akhir ini.
Memang serba dilema, mendiamkan perÂsoalan ini sama artinya melakukan pembiaran terhadap sebagian warga bangsa kita hidup di dalam ketidakadilan. Pada sisi lain menghadirÂkan regulasi baru untuk mengakomodir mereka bisa menimbulkan ketegangan konseptual baru dan berdampak pada sistem kenegaraan yang sudah terlanjur mapan. Sebutlah misalnya, jika mereka diakomodir dalam bentuk pemberian pengakuan maka dampaknya ialah persentasi penganut agama yang sudah mapan pasti menÂgalami penurunan signifikan secara statistik, karÂena agama lokal dan aliran kepercayaan yang pernah "menumpang" dalam kolom agamanya hijrah ke kolomnya sendiri. Belum lama ini akhÂirnya kolom agama bagi para penghayat "agama lokal" diberi kesempatan mencantumkan status agamanya di kolom KTP. Diharapkan dengan deÂmikian mereka bisa merasakan nuansa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.