Pancasila & Nasionalisme Indonesia (154)

Mendalami Sila Kelima: Berkesetaraan Jender

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 17 Januari 2018, 10:23 WIB
Mendalami Sila Kelima: Berkesetaraan Jender
Nasaruddin Umar/Net
ISLAM Indonesia dan Pancasila sama-sama mengusung dan mem­promosikan kesetaraan jender. Kesetaraan jender di sini bukan persamaan jender (gender equality) tetapi kesetaraan jender (gender equity). Yang per­tama lebih mengedepankan persamaan hak dan kewajiban tanpa memandang adanya nilai perbedaan di antara keduanya. Yang kedua masih lebih bersifat ketimuran yang memberikan unsur-unsur keunikan perem­puan. Yang terakhir ini mempromosikan ke­setaraan dimana laki-laki dan perempuan tampil memerankan diri dengan keunikan masing-masing di dalam berbagai bidang kehidupan tanpa kesan diskriminasi satu sama lain, baik di sektor privat maupun di sektor publik. Kesetaraan jender mengakui adanya perbedaan (distinction) tetapi tidak menolerir terjadinya pembedaan (discrimi­nation) antara laki-laki dan perempuan. Yang pertama lebih banyak didukung oleh kelompok feminis progressif sedangkan yang kedua didukung oleh kelompok soft feminist dan belakangan disebut eco-femi­nism.

Semangat Islam dan Pancasila meman­dang laki-laki dan perempuan memiliki per­bedaan tetapi tidak untuk dibeda-bedakan, baik secara biologis maupun dampak dari perbedaan biologis tersebut. Tidak bijak­sana jika kita menyamakan tugas antara perempuan yang sedang menjalani fungsi reproduktifnya, seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan menjalani menstruasi disa­makan tugas dan tanggung jawab sosial-ekonominya dengan laki-laki. Perempuan yang sedang menjalani siklus reproduksi tidak bisa dijadikan alasan menilainya tidak produktif, karena sesungguhnya ia sedang menjalankan fungsi khusus yang luar biasa. Dikatakan luar biasa karena kaum laki-laki tidak pernah bisa menjalani fungsi adiko­drati tersebut. Justru kesetaraan jender terwujud ketika kita memberikan dispensa­si kepada kaum perempuan yang sedang menjalani fungsi adikodrati tersebut. Inilah keadilan dan kesetaraan jender dalam arti gender equity.

Masyarakat yang menghargai apalagi menjunjung tinggi kesetaraan jender akan melahirkan suasana damai kestabilan di dalam masyarakat. Baik di dalam lingkup masyarakat terkecil seperti keluarga mapun dalam lingkup masyarakat luas. Ketimpangan sosial pasti muncul manakala ketidaka­dilan jender terjadi di dalam masyarakat. Karena itu, keadilan jender bagian yang tak terpisahkan dari upaya mewujudkan keadi­lan sosial. Selain hal itu menjadi perintah agama juga menjadi amanah Pancasila dan konstitusi untuk memperjuangkan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Dalam Al-Qur'an ditegaskan: "Sesungguh­nya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan." (Q.S. al-Nahl/16:90). Perintah berlaku adil di sini termasuk keadilan dan kesetaraan gender, karena di dalam beberapa ayat menekank­an tidak bolehnya mendiskreditkan salah­satu jenis kelamin di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Tuhan, sama-sama sebagai khalifah, sama-sama anak cucu Adam, sama-sama berpotensi meraih prestasi dunia-akhirat. Perbedaan yang ber­sifat biologis, termasuk komposisi kimia dan segala dampaknya, tidak bisa dijadikan ala­san untuk mendiskreditkan apa lagi meru­mahkan perempuan, seperti yang pernah di alami kaum perempuan di masa primitif. Aktualisasi kesetaraan jender tidak hanya di level wacana, sebagaimana sering disuara­kan di mimbar agama oleh pemuka agama, di mimbar politik oleh para politisi, di LSM penggiat kesetaraan jender, tetapi betul-betul dituntut menjadi kenyataan. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA