Semangat Islam dan Pancasila memanÂdang laki-laki dan perempuan memiliki perÂbedaan tetapi tidak untuk dibeda-bedakan, baik secara biologis maupun dampak dari perbedaan biologis tersebut. Tidak bijakÂsana jika kita menyamakan tugas antara perempuan yang sedang menjalani fungsi reproduktifnya, seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan menjalani menstruasi disaÂmakan tugas dan tanggung jawab sosial-ekonominya dengan laki-laki. Perempuan yang sedang menjalani siklus reproduksi tidak bisa dijadikan alasan menilainya tidak produktif, karena sesungguhnya ia sedang menjalankan fungsi khusus yang luar biasa. Dikatakan luar biasa karena kaum laki-laki tidak pernah bisa menjalani fungsi adikoÂdrati tersebut. Justru kesetaraan jender terwujud ketika kita memberikan dispensaÂsi kepada kaum perempuan yang sedang menjalani fungsi adikodrati tersebut. Inilah keadilan dan kesetaraan jender dalam arti gender equity.
Masyarakat yang menghargai apalagi menjunjung tinggi kesetaraan jender akan melahirkan suasana damai kestabilan di dalam masyarakat. Baik di dalam lingkup masyarakat terkecil seperti keluarga mapun dalam lingkup masyarakat luas. Ketimpangan sosial pasti muncul manakala ketidakaÂdilan jender terjadi di dalam masyarakat. Karena itu, keadilan jender bagian yang tak terpisahkan dari upaya mewujudkan keadiÂlan sosial. Selain hal itu menjadi perintah agama juga menjadi amanah Pancasila dan konstitusi untuk memperjuangkan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Dalam Al-Qur'an ditegaskan: "SesungguhÂnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan."
(Q.S. al-Nahl/16:90). Perintah berlaku adil di sini termasuk keadilan dan kesetaraan gender, karena di dalam beberapa ayat menekankÂan tidak bolehnya mendiskreditkan salahÂsatu jenis kelamin di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Tuhan, sama-sama sebagai khalifah, sama-sama anak cucu Adam, sama-sama berpotensi meraih prestasi dunia-akhirat. Perbedaan yang berÂsifat biologis, termasuk komposisi kimia dan segala dampaknya, tidak bisa dijadikan alaÂsan untuk mendiskreditkan apa lagi meruÂmahkan perempuan, seperti yang pernah di alami kaum perempuan di masa primitif. Aktualisasi kesetaraan jender tidak hanya di level wacana, sebagaimana sering disuaraÂkan di mimbar agama oleh pemuka agama, di mimbar politik oleh para politisi, di LSM penggiat kesetaraan jender, tetapi betul-betul dituntut menjadi kenyataan.