Menghargai kelompok minoritas merupakÂan ajaran ajaran inti semua agama, khususÂnya dalam Islam. Dasarnya banyak ditemukan di dalam Al-Qur'an dan Hadis, serta banyak dipraktikkan pada zaman Nabi dan sahabat. Satu contoh, Safwan ibn Sulaiman meriwayatÂkan sebuah hadis yang menceritakan Nabi Muhammad Saw pernah bersabda: "Barang siapa yang menzalimi seorang muhad (orang yang pernah melakukan perjanjian damai) atau melecehkan mereka, membebani beban di luar kesanggupan mereka, atau mengambil harta tanpa persetujuan mereka, saya akan menjadi lawannya nanti di hari kiamat". (HR. Abu Daud). Hadis ini luar biasa. Nabi dengan begitu tegas memberikan kepemihakan keÂpada kaum yang tertindas, terzalimi, dan terÂlecehkan, tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, agama, dan kepercayaan. Hadis ini sebenarnya sejalan dengan semangat ayat: Walaqad karramna Bani Adam (Dan sesÂungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam). (Q.S. Al-Isra'/17:70). Banyak lagi ayat dan hadis senada dengan ayat ini.
Tradisi Nabi ini dilanjutkan oleh para saÂhabatnya. Suatu ketika Umar ibn Khaththab blusukan di daerah-daerah, ia menyaksikan langsung sekelompok non-muslim dihukum dengan berjemur di bawah terik panas maÂtahari di salah satu daerah di Syam (Syiria). Umar bertanya kenapa mereka dihukum sepÂerti ini? Dijawab karena mereka enggan memÂbayar pajak (juzyah). Khalifah Umar kelihaÂtannya tidak setuju dengan hukuman seperti ini dan ia meminta agar mereka dibebaskan dengan hukuman seperti itu. Umar juga meÂminta kepada para penguasa lokal agar merÂeka tidak membebani mereka dengan beban di luar kesanggupan mereka, dan memperÂlakukan mereka sebagai manusia seperti halnya memperlakukan umat Islam. KhaliÂfah Umar juga pernah menemukan salahseÂorang pengemis buta dan tua dari kalangan non-muslim. Umar bertanya, dari ahlul kitab mana engkau wahai kakek tua? Kakek tua itu menjawab: Aku adalah seorang yahudi. Umar melanjutkan pertanyaannya: Apa yang memÂbuatmu seperti begini? Kakek itu menjawab: Aku membutuhkan makanan dan kebutuhan pokok. Umar membawa kakek itu ke rumahÂnya dan membuat secarik memo yang isinya meminta petugas Baitul mal (PerbendahaÂraan Negara) yang isinya: "Tolong perhatikan orang ini dan orang-orang semacam ini. Demi Allah, kita tidak menyadari kalau kita telah memakan hartanya lalu kita mengabaikannya di masa tuanya. Sesungguhnya shadaqah itu untuk fakir miskin. Fuqara itu orang muslim dan fuqara ini orang miskin dari ahlul kitab".
Yang manarik dari hadis dan pengalaman sabat Nabi di atas ialah pemberian bantuan dan pertolongan di dalam Islam ialah lintas agama dan budaya. Bantuan dan pertolonÂgan dari umat Islam bukan hanya diadreskan kepada kelompok muslim, tetapi juga kepaÂda kelompok non-muslim, sebagaimana diÂtunjukkan oleh Nabi dan Khulafaur Rasyidin, khususnya Umar ibn Khaththab. Kemiskinan dan keterbelakangan itu tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam tetapi juga oleh kelÂompok agama lain. Siapapun mereka jika meÂmerlukan bantuan dan pertolongan punya hak untuk dibantu, walaupun harus diambilkan dari kas Negara (Bait al-Mal), sebagaimana ditunjukkan oleh Umar ibn Khaththab. Tradisi ini kemudian berlanjut hingga saat ini, yakni umat Islam selalu bertenggang rasa terhadap saudaranya yang minoritas, meskipun kadang mereka merasakan sebaliknya.