Selama populasi kelompok mustadh’afin masih tinggi maka selama itu kesempurnaan keberagamaan masih dipertanyakan. Bahkan di dalam Al-Qur’an ada surah khusus yang mengancam orang-orang yang tidak prihatin terhÂadap kelompok ini, yaitu Q.S. al-Ma'un: "TahuÂkah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (Q.S. al-Ma’un/107:1-7).
Bahasa agama yang sering digunakan unÂtuk membela kaum yang tertindas, terdhaliÂmi, termarginalisasi, dan kaum miskin ialah mustadh'afin. Kaum mustadh'afin muncul sebaÂgai kelas khusus di dalam masyarakat yang serÂing dipolitisasi. Di dalam Q.S. Al-Ma’un tersebut cukup jelas dan gamblang menjelaskan siapa sesungguhnya kelompok mustadh’afin yang membutuhkan perhatian semua pihak. Dalam ayat di atas setidaknya disebutkan dua kriteria universal yaitu yatim dan miskin.
Dalam kitab-kitab Tafsir dijelaskan bahwa yaÂtim sesungguhnya bukan hanya anak yang ditÂinggal mati oleh ayahnya waktu masih kecil, seÂbagaimana dirumuskan di dalam kitab-kitab fikih klasik. Dengan merujuk kepada kamus bahasa Arab paling advanced, "Lisan al-'Arab", salahÂsatu versinya 12 jilid, menjelaskan makna yatim yaitu adanya keterpisahan antara sesuatu denÂgan sesuatu yang lain (
al-inqitha' 'an al-syai'). Anak yatim disebut yatim karena ditinggalkan oleh pelindung utamanya, yaitu figur ayah. Bahkan dalam pengertiannya yang lain semua orang yang membutuhkan perhatian dan pertoÂlongan adalah yatim. Termasuk pengertian lainÂnya ialah orang yang belum memiliki pasangan hidup. Yang kedua ialah miskin. Dalam Lisan al-'Arab disebutkan dua pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, miskin lebih parah daripaÂda faqir. Sebaliknya menurut Imam Syafi', faqÂir lebih parah daripada miskin. Baik faqir atau miskin sama saja. Di Indonesia kedua konsep itu sering dijadikan kata majmuk yaitu faqir-misÂkin. Berbeda dengan pengertian yang pernah dirumuskan BAPPENAS yang mengelompokÂkan kemiskinan itu kepada tiga kategori, yaitu kemiskinan natural, yakni mereka menjadi misÂkin karena musibah seperti orang-orang yang mengalami kebakaran, tsunami, dan lain-lain. Kelompok kedua kemiskinan kutural, yaitu kemiskinan yang bersifat budaya, yaitu mereÂka yang termanjakan oleh kesuburan dan keÂkayaan alam atau lingkungan keluarga. MerÂeka bekerja secara tanggung, tidak maksimal, karena harapannya masih bertumpu kepada kekayaan orang tua atau keluarga. KelomÂpok ketiga yaitu kemiskinan struktural, yakÂni mereka yang miskin bukan karena malas atau kena mushibah tetapi mereka tidak puÂnya modal usaha dan keterampilan, akhirnya mereka hanya mengandalkan otot, bukannya otak dan profesionalisme. Kelompok ini dapÂat diatasi dengan tiga pendekatan. Satu kelÂompok dinilai lebih tepat diberi ikan, karena sudah masuk kategori miskin darurat. Kedua ada yang diberi pancing, bukan ikan, karena kondisinya sudah memungkinkan untuk itu. Kelompok ketiga mereka yang sudah layak diberi perahu dan selanjutnya bisa melibatÂkan orang lain di dalam perahu itu di dalam menyelesaikan problem kemiskinannya.