Pengalaman seperti ini pernah dialami Nabi ketika memimpin dunia Islam yang sudah muÂlai berkembang. Suatu ketika Nabi mengutus representatifnya menjadi gubernur di sejumlah wilayah. Salahseorang sahabat dites oleh Nabi untuk menjadi Gubernur di Yaman, yaitu Mu'az ibn Jabal. Nabi bertanya kepadanya: "SekiranÂya ada persoalan yang muncul di dalam masyarakat, bagaimana memutuskan persoÂalan itu?' Dijawab oleh Mu'az: "Saya akan meÂmutuskan berdasarkan Kitabullah (Al-Quran)". Selanjutnya Nabi bertanya: "Jika anda tidak menemukan konsep penyelesaiannya di dalam Al-Qur’an?" Dijawab Mu’az: "Saya akan memuÂtuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah." Ditanya lagi: "Sekiranya anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah RasuÂlullah?". Dijawab oleh Mu’az: "Saya akan memÂpergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ajtahidu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun." Lalu Nabi menyambutnya: "Segala puji bagi AlÂlah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!".
Hadits riwayat Abu Daud tersebut diperkuat dengan riwayat lain dalam bentuk fragmen yang menceritakan detik-detik kepergian Rasulullah Saw. Salahseorang sahabat Nabi bertanya: "Ya Rasulallah! Apakah engkau sakit? Sekiranya engkau meninggalkan kami, bagaimana naÂsib kami?". Dijawab Nabi: "Engkau memiliki Al- Quran". Pertanyaan dilanjutkan: "Ya Rasulallah! walaupun dengan Kitab yang membawa penÂerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran kepadamu. Jika engkau sudah tidak ada lagi, siapakah yang akan menjadi sumber petunjuk kami?".
Nabi menjawab: "Berbuatlah seperti aku berÂbuat dan seperti aku katakan!" Dilanjutkan lagi: "Tetapi Rasulullah, setelah engkau pergi buÂkankah peristiwa-peristiwa baru mungkin munÂcul yang saat engkau masih hidup persoalan itu tidak muncul? Apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang seÂsudah kami?". Nabi menjawab: "Allah Swt telah memberikan kesadaran kepada setiap manuÂsia sebagai media bagi setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!"
Ijtihad adalah kreatifitas seorang pemimpin atau hakim di dalam memecahkan persoalan yang tidak ditemukan dasar penyelesaiannya di dalam Al-Qur'an dan hadis. Persoalan-persoalan aktual semakin banyak dan semakin kompleks di dalam masyarakat, sementara Al-Qur’an dan hadis tidak mungkin bertambah lagi. Cara penyelesaiannya diakali dengan berbagai cara, termasuk menerÂapkan metode analogy (qiyas), yakni memecahÂkan persoalan yang dasarnya tidak ditegaskan di dalam Al-Qur’an dan hadis.
Qiyas bisa menjadi bagian dari ijtihad jika para hakim memilih memutuskan suatu perkara denÂgan cara menerapkan analogi terhadap dalil-dalÂil yang sudah ada kepada sebuah kasus yang memiliki keserupaan inti masalah. Cara kerja qiÂyas memiliki beberapa ketentuan dan persyaratan yang ketat. Pada prinsipnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang memenuhi persyaratan. Di antara persyaratan tersebut ialah menguasai Al-Quran, As-Sunnah, dan segala seÂluk-beluknya, memahami sejarah Islam, juga beÂrakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam persyaratan di sini ialah kemampuan bahasa Arab (Walaupun dalam keadaan pasif).
Idealnya seorang mujtahid adalah juga seÂorang ulama dalam arti memahami ilmu-ilmu bahasa Arab dan keilmuan Islam yang standard lainnya.