Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Indonesia “Terjebak” Dalam Lilitan “Benang Kusut” OKI

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Rabu, 13 Desember 2017, 22:53 WIB
Indonesia “Terjebak” Dalam Lilitan “Benang Kusut” OKI
Derek Manangka/Net
ORGANISASI Kerjasama Islam (OKI)-sebelumnya bernama Organisasi Konperensi Islam, pekan ini menggelar KTT Luar Biasa di Istambul, Turki. Agendanya membahas keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Jerusalem, sebagai ibukota Israel.

Indonesia sebagai salah satu dari 57 negara anggota OKI, ikut serta.

Keikutsertaan Indonesia yang langsung dipimpin oleh Presiden Joko Widodo ini, menarik. Sebab dari bahasa tubuh dan intonasi kosa kata Presiden RI, Jokowi tampaknya ‘sangat marah’ dengan aksi Donald Trump. Setidaknya gusar.

Secara politik, militer, ekonomi atau apapun bentuknya, pemindahan ibukota itu tak mengubah bentuk hubungan Indonesia dengan Israel. Tetapi sikap kita seakan-akan, kehidupan kita sebagai sebuah bangsa sangat terganggu. Ketergangguan itu, jauh melebihi kepentingan Palestina.

Terhadap Amerika, juga kita kurang lebih sama. Seakan-akan dengan pemindahan ibukota Israel itu, lalu hubungan dagang, politik, kerja sama bilateral maupun multilateral dengan Amerika Serikat, sangat terganggu.

Bukan meremehkan ataupun melebih-lebihkan. Tapi menentang Amerika itu, harus dengan perhitungan matang.

Jangan reaktif. Dan sikap kita terhadap Amerika kali ini, justru terlalu reaktif.

Kalau mau yang konkrit, proteslah kehadiran kembali pangkalan militer Amerika di Subic dan Clark, Filipina. Sebab pengembalian itu merusak konstalasi ASEAN. Dan di ASEAN Indonesa adalah leader.

Atau yang bersifat kemanusiaan. Sejumlah warga negara Indonesia di Amerika, dalam waktu dekat ini akan dideportase, dengan alasan macam-macam. Layangkanlah protes tersebut ke Gedung Putih sebelum para warga keturunan Indonesia dipermalukan…

Amerika Serikat bukanlah negara sempurna. Tapi juga bukan tipe negara yang bisa digertak, ditekan apalagi ditakut-takuti. Bukan jamannya menghadapi Amerika dengan retorika.

Lagi pula baik OKI maupun Presiden Jokowi-maaf-bukanlah pihak yang kredibel, akuntabel serta “powerfull” untuk menekan Amerika.

Reaksi Indonesia dalam kasus Jerusalem yang digulirkan Donald Trump, tak bisa dijamin akan membuahkan seperti yang diharapkan.

Perhitungan seperti inilah yang saya maksud-bagaimana menghadapi Amerika.

Jangan lupa. Jangankan OKI, organisasi yang beranggotakan 57 negara. PBB saja yang lebih besar porto folionya, dengan angota lebih dari 100 negara, tokh tak mampu menekan Washington.

Yang terjadi, sebaliknya. Washington atau Amerika Serikat-lah yang justru menekan dan mendikte PBB. Dengan Hak Veto yang dimilikinya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Amerika dapat menggugurkan apapun rencana keputusan yang mau diambil PBB-jika hal itu tidak sesuai keinginan AS.

Dikaitkan dengan Donald Trump, Presiden AS yang senang dengan sensasi dan kontroversi ini, apapun sikap OKI, sepertinya tak akan mampu membuatnya Donald Trump “jengah”.

Bagi kakek atau eyang berusia 70 tahun, inilah saatnya-kesempatan terakhir baginya untuk melakukan berbagai percobaan konsep.

Jargon dia, di masa kampanye Presiden : “To Make America Great Again”, kini sedang diuji cobakannya.

Trump tak peduli percobaan itu sesuai atau bertentangan dengan Impian Amerika (American Dream). Namun itulah manuver Presiden yang doyan “kawin cerai” ini.

Kalau Indonesia atau Presiden Jokowi mau menentang dan menantang Donald Trump, sebaiknya bukan dalam isu yang berkaitan dengan Israel.

Carilah isu yang lebih dekat dengan kepentingan nasional. Atau carilah isu yang bisa membuat seluruh rakyat Indonesia tergerak membantu.

Persoalan pemindahan ibukota Israel, terlalu “lokal” tetapi juga terlampau “global”.

“Besar” kalau didiskusikan secara "lokal" di Pejambon, tetapi terlalu “kecil” kalau oleh Indonesia diangkat sebagai isyu "global".

Presiden Jokowi perlu mengingatkan Menlu Retno dan jajarannya, bahwa kritik masyarakat, mereka yang awam dalam diplomasi, perlu diperhitungkan.

Misalnya ada yang mengatakan, bagaimana mungkin Indonesia bisa ikut menyelesaikan sengketa Israel – Palestina, sementara Indonesia tidak mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara ?

Dengan status seperti itu, belum apa-apa, Israel sudah menolak ide dan keterlibatan Indonesia.

Menghadapi Amerika Serikat, Jokowi perlu meniru Soeharto. Yang mampu bersandiwara. Mampu meminjam tangan Amerika, untuk menyikut dari belekang atau samping.
,
Pada saat belum kuat, semua yang berasal dari Amerika oleh Soeharto, diamini.

Namun ketika Soeharto sudah merasa kuat, dia tiru gaya Soekarno. Antara lain dengan menghidupkan Gerakan Non-Blok (GNB). Pada tahun 1992, gerakan yang sangat tidak disukai Amerika ber-KTT di Jakarta.

Untuk sementara waktu Soeharto berhasil. Sebab tahun berikutnya Soeharto berhasil menyampaikan gagasan GNB tentang bagaimana mengelola dunia secara lebih berkeadilan.

Konsep itu disampaikan langsung kepada peserta KTT G-7 di Tokyo, Jepang, Juni 1993. Satu di antara negara peserta KTT Tokyo itu, Amerika Serikat dengan Ketua delegasinya Bill Clinton.

Boleh percaya atau tidak. Boleh anggap contoh ini mengada-ada. Yang pasti saya menjamin, cerita ini bukan “hoax”.

Kurang dari 10 tahun, setelah KTT Tokyo, tepatnya tahun 1998, Soeharto terpaksa lengser secara sukarela dari kekuasaan.

Yang perldu dicermati, sebelum pelengseran itu, secara sistemik rezim Soeharto, diganggu. Mulai dari memanasnya isu rasial, pertentangan antara militer “hijau” dan “merah putih” lantas nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terus melemah (1997).

Amerika, tempat dimana Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional bermarkas, kemudian mengirim “Dokter IMF” bernama Michael Camdessus.

Tujuan resmi “wong” Prancis ini, untuk menolong Indonesia atau Presiden Soeharto yang menghadapi multi krisis. Namun yang terjadi, IMF justru membuat pernafasan Soeharto pelan-pelan tersumbat.

Pesan moral dari ilustrasi ini, Presiden Joko Widodo maupun Melu Retno Marsudi, perlu lebih “prudent” dalam mengelolah dan menjalan politik luar negeri.

Jangan lalai tapi juga jangan reaktif. Sehingga bisa terjebak oleh perangkap asing. Satu di antaranya yang dilempar Amerika Serikat ataupun Donald Trump.

Menggunakan forum OKI sebagai salah satu alat perjuangan internasional, boleh-boleh saja. Tapi jangan sampai terkesan, Indonesia-lah yang paling mampu mengatur OKI. Indonesia lah negara anggota yang paling didengar oleh OKI.

Sebab yang tak boleh dilupakan, di dalam OKI, terdapat sejumlah negara yang keberpihakannya pada Israel, sangat kuat. Padahal kesan selama ini, OKI adalah organisasi yang paling serius membantu Palestina.

Kalaupun tidak berpihak, minimal tidak mau bersuara keras, menghindari ketersinggungan Israel dan sekutu abadinya Amerika.

Sebutlah Jordania dan Mesir, yang dua-duanya berbatasan langsung dengan Israel dan masing-masing menempatkan Duta Besarnya di Tel Aviv.

Mesir dan Jordania, 50 tahun lalu (1967), pernah terlibat perang langsung dengan Israel. Mesir kehilangan Sinai, Jordania kehilangan Jerusalem.

Tapi peperangan setengah abad lalu itu, tak membuat dua negara Arab/Islam ini, menempatkan Israel sebagai musuh utama mereka.

Berbeda dengan Indonesia. Kita tidak pernah berperang dengan Israel. Namun kita tidak bisa mengadopsi konsep Mesir dan Jordania.

Kita memusuhi Israel. Tapi hampir semua produk Israel, terutama yang berkaitan dengan IT, merajai pasar Indonesia. Setidaknya kalau bukan buatan, yah temuan orang Yahudi (Israel). Bukan Yahudi (Ethiopia).

Politik luar negeri kita kalau sudah menyangkut Israel, sering kali membingungkan.

Di era Presiden SBY, Indonesia baru bisa menjadi anggota pasukan penjaga perdamaian PBB di Libanon Selatan, setelah Israel memberi persetujuan.

Tadinya Israel menolak Indonesia. Sebab yang bersengketa di Libanon Selatan, pihak Israel dan Kelompok Hisbullah. Penolakan didasarkan pada asumsi Israel. Bahwa dengan tidak adanya hubangan diplomatik kedua negara, maka Indonesia pasti menjadi negara yang tidak netral.

Entah apa dan bagaimana diplomasi yang dimainkan Presiden SBY ketika itu. Yang pasti Indonesia akhirnya disahkan oleh PBB sebagai negara anggota penjaga perdamaian di Libanon Selatan. Hingga sekarang.

Kabar yang belum terkonfirmasi beredar, menyebutkan Israel menyetujui Indonesia dengan syarat, pasukan Indonesia yang bertugas di bawah bendera PBB, harus menggunakan senjata buatan Israel, sekalipun harus dibeli lewat Prancis.

Turki, lain lagi ceritanya. Negara Islam yang terletak di jalur persimpangan Eropa dan Asia ini, merupakan kolaborator kuat Amerika Serikat.

Ketika Perang Dingin, Turki menjadi anggota NATO (North Atlantic Treaty Organization - Pakta Pertahanan Atlantik Utara) yang disponsori Amerika Serikat.

NATO didirikan untuk menghambat perluasan pengaruh Uni Sovyet, lewat Pakta Warsawa.

Seiring dengan bubarnya Uni Sovyet pada tahun 1990, Pakta Warsawa pun ikut bubar. Namun NATO yang sudah kehilangan musuh, masih tetap dipertahankan. Dan di Turki hingga saat ini pangkalan militer Amerika Serikat, masih beroperasi.

Hal yang menarik dan kontroversi dari posisi Turki – yang perlu dicermati adalah sikapnya yang terkesan lebih “non-blok” dibanding dengan Indonesia yang menjadi salah satu pendiri Gerakan Non-Blok.

Menghadapi krisis Syria, Turki lebih dekat dengan Rusia. Sementara Syria yang dipimpin rezim Assaad, merupakan musuh utama Amerika. Terbentuklah permusuhan Rusia- Amerika di Syria. Namun posisi Turki tetap unik.

Turki, mungkin satu-satunya negara Islam dan anggota OKI, yang bisa “mengangkangi” Rusia – Amerika, dalam satu konflik. Dan herannya dua negara besar yang “dikangkangi” oleh Turki tersebut, tidak merasa “dikangkangi”.

Pada 28 November 2015, jet tempur F-16 Turki menembak jatuh pesawat tempur Rusia Sukhoi Su-24 di perbatasan Syria.

Insiden ini tadinya diperhitungkan akan membuat Turki dimusuhi Rusia dan permusuhan ini akan membuat Turki lebih lengket dengan Amerika.

Tapi yang terjadi, Presiden Rusia, Vladimir Putin sendiri yang menegaskan, insiden itu tidak perlu membuat hubungan Moskow – Istambul, terkendala.

Turki berhasil memainkan diplomasi kelas tinggi, sebab penembakan pesawat tempur, tidak membuat situasi politik di kawasan Timur Tengah, bereskalasi.

Turki berhubungan baik dengan Rusia, juga sama baiknya dengan Amerika Serikat.

Pertanyaannya, adakah jaminan - Turki sebagai sahabat Amerika sekaligus tuan rumah KTT OKI akan ikhlas – jika semua delegasi mengutuk, mengecam Presiden AS Donald Trump ? Entahlah.

Terkait dengan Israel, Turki juga dikenal sebagai salah satu negara Islam yang punya hubungan baik dengan negara Yahudi tersebut.

Hubungan kedua negara hanya terganggu oleh insiden kapal LSM di tahun 2010.

Namun dua tahun lalu, Israel – Turki, seperti kata CNN, sudah menanda-tangani kerja sama bisnis bernilai USD 20,- miliyar atau sekiar Rp. 260,- Triliun.

Karena itu, tidak berlebihan kalau disimpulkan, dalam kasus pemindahan ibukota Israel, patut dipertanyakan apakah Turki bersikap seperti Indonesia. Yang begitu agresif melakukan manuver, melalui forum OKI.

Jangan-jangan Indonesia "sinbuk sendiri". Indonesia keliru mengatisipasi. Dan tanpa disadari telah terjebak oleh lilitan benang kusut ala OKI.

Hal lain dari akibat manuver agresif Indonesia di OKI, bakal berbuah pahit.

Lobi-lobi Amerika baik di Washington, Jakarta ataupun di Timur Tengah, bakal mngganggu atau menggembosi ambisi bekas Walikota Solo untuk menjadi “Presiden Dua Periode”. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA