Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Situasi Indonesia Dari Kacamata "Asal Bukan Jokowi"

Kekuatan Yang Kuasai NKRI: Kuning, Putih Dan Naga

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Jumat, 04 Mei 2018, 02:17 WIB
Situasi Indonesia Dari Kacamata "Asal Bukan Jokowi"
Derek Manangka/Net
"PERCUMA Bro, loe ngritik kinerja Menteri Rini Soemarno. Kita boleh taruhan. Sampai dengan Tahun Baru Kuda pun, Presiden Jokowi tak akan berani menindak si Rinsoe (Rini Soemarno). Jangankan menindak. Menegur pun Jokowi tak punya keberanian. Dan buat Jokowi, dia tidak bertindak apapun - termasuk terhadap Rinsoe, lalu hal itu antara lain menyebabkan dia tak terpilih kembali di tahun 2019, itu tak masalah bagi beliau. Apapun kata orang, dia tidak peduli. Dia merasa sudah cukup pencapaiannya. Dari tukang meubel jadi Presiden. Itu kan sudah sebuah prestasi luar biasa".
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

"Yang ngotot supaya Jokowi terpilih lagi, bukan dia sendiri. Tapi orang-orang sekitar dia. Nah loe tebak sendiri, siapa-siapa mereka".

"Jadi kalau mau diperkecil apa yang jadi persoalan negara kita saat ini, sebetulnya bagaimana mencari pemimpin yang benar-benar mampu memimpin. Kita darurat pemimpin".

"Kalau peduli pada masa depan NKRI, kita harus bicara dan mencari siapa pemimpin Indonesia yang pantas. Sebab Jokowi tidak berperan sebagaimana seorang pemimpin. Dia hanya dijadikan 'boneka' oleh kekuatan tertentu. Kekuatan ini berkepentingan memeras semua kekayaan Indonesia".

"Kita berdebat soal bagaimana mengganti Presiden Jokowi sebagai pemimpin. Tapi kita tidak memahami, pemimpin yang seperti apa yang sebetulnya yang kita maui".

"Negara kita saat ini sedang diperebutkan atau dikuasai oleh tiga kekuatan. Yang satu saya namakan "Kekuatan Kuning" dan satunya lagi "Kekuatan Putih". Lalu di antara dua kekuatan itu, ada "Kekuatan Naga" yang satu kakinya di Kekuatan Kuning dan kaki satunya lagi di Kekuatan Putih".

"Lalu Jokowi ada di mana? Dia berada dalam kontrol tiga kekuatan ini".

"Yang saya sedihkan, elit politik kita berpura-pura tidak tahu tentang keadaan ini. Rakyat terus mereka bohongi. Rakyat mereka adu domba. Agendanya jelas, bagaimana negara kita kacau, terus menerus kacau, sehingga yang akan terus berkuasa Tiga Kekuatan tadi: Kuning, Putih atau Naga, dalam arti Konglomerat".

"Tiga Kekuatan ini, tidak sama kepentingan mereka dengan mayoritas rakyat Indonesia.  Mereka tidak berkepentingan Indonesia memiliki Presiden yang kapabel dan pintar".

"Jangan kaget kalau situasi seperti ini tak bisa dihentikan, kelak Indonesia akan punya Presiden dari kalangan Pelawak, Penyanyi Dangdut atau Bintang Sinetron. Lihat pengalaman tetangga kita Filipina. Dia pernah punya Presiden emak-emak (Corry Aquino dan Gloria Macapagal), Joseph Estrada (bintang film). Hasilnya apa?"

"Saya khawatir konsep penghancuran sebuah negara kaya seperti yang diterapkan di Filipina, sedang terjadi di negara kita".

Itulah serentetan pernyataan sekaligus pertanyaan dari Jufri Firmansyah, seorang putra Betawi yang mengaku kecewa berat dengan kepemimpinan Jokowi.

Ungkapan Jufri - bukan nama sebenarnya, tercetus dalam sebuah percakapan kolegial kami berdua, Rabu kemarin sore, 2 Mei 2018.

Kami memilih sebuah kafe kecil yang tak terkenal di bilangan Jakarta Selatan, agar bebas dari interupsi orang sekitar yang mungkin mengenali kami berdua.

Kami sudah bersahabat sejak tahun 1990-an. Dan diskusi berdua sudah merupakan bagian dari  menu kami setiap kali bertemu.

Kami berdua sama-sama tidak berafiliasi ke sebuah partai politik.

Persahabatan kami terbentuk melalui sebuah grup diskusi yang anggotanya, tidak sampai 12 orang. Anggota-anggotanya terdiri dari berbagai profesi.  

Kriteria utama untuk menjadi anggota, karena diajak oleh anggota yang mengenal dekat. Dan mampu berpikir secara kritis. Termasuk yang berani mengkritisi Presiden Soeharto.

Salah satu keunikan grup kami, di dalamnya ikut satu dua jenderal yang masih aktif atau orang sipil yang dikenal cukup dekat, mempunyai akses ke Keluarga Presiden Soeharto.

Padahal di zaman itu, seorang jenderal, seakan tabu duduk berdiskusi bebas dengan "orang jalanan seperti saya dan Jufri".

Begitu pula seorang yang punya akses ke Cendana bisa melaporkan  sebuah kegiatan  yang coba-coba mengkritisi Soeharto.

Zaman itu boleh dibilang sedang jaya-jayanya kekuasaan Soeharto.

Dalam situasi seperti itu , Soeharto tidak memerlukan masukan dari siapa-siapa.

Kami semua tahu, Soeharto lebih suka mendengar pujian.

Semua anggota, juga punya status yang jelas. Tidak punya kesulitan finansil.

Kami sebetulnya simpatisan Jokowi, bekas Walikota Solo tersebut. Kami bersimpati,  terutama karena keluguan dan wajah serta penampilannya mengesankan bahwa dia bukan tipe pemimpin yang koruptif.

Tapi entah mengapa, seiring dengan perjalanan waktu, pandangan kami mengalami metamorfosa.

Jokowi bukanlah pemimpin yang patut kami wakafkan semua empati dan simpati.

Kesan yang ada, Jokowi pun makin senang dapat pujian. Dia mulai risih kalau dikritik.  Jokowi berubah. Sehingga kami pun ikut berubah.

Hampir tiga puluh tahun lalu, ketika berkumpul, cerita yang keluar diskusi, lebih banyak mencermati pertumbuhan bisnis. Sebab saat itu, Indonesia sedang dijuluki salah satu negara Macan Asia (The Asian Tiger).

Topik lainnya, humor politik. Yang pasti tidak ada Hoax.

Salah satu humor politik yang cukup terkenal pada waktu itu soal siapa kira-kira pengganti Presiden Soeharto.

Pergantian Soeharto, hanya bisa dibicarakan dalam ruang tertutup.

Itu pun terbatas dalam bentuk satire.  Tidak ada yang berani membicarakan hal itu secara secara terbuka,  seperti sekarang.

Sebagai sebuah humor bernada satire, cerita singkatnya begini:

Pada satu pertemuan dengan cucu-cucunya, di Jl. Cendana, Jakarta Pusat, kediaman pribadi, Pak Harto bertanya apa cita-cita mereka.

Pak Harto dengan gembira mendengar kepintaran cucu-cucunya dalam menjawab.

Namun ada satu cucu yang terpaksa ditanggapinya seperti orang dewasa.

Hal itu terjadi karena sang cucu  satu-satunya yang menjawab  bahwa dia juga bercita-cita menjadi Presiden.

"Oh kalau cita-cita seperti itu, ndak boleh", komentar Eyang Soeharto.

"Mengapa saya nggak boleh……," lanjut pertanyaan sang cucu.

"Yah, karena eyang masih ingin menjadi Presiden…..," jawab Pak Harto.

Esensi dan moral humor lebih dari 20 tahun lalu itu, adalah rakyat Indonesia 'diam' membahas pergantian Presiden, sebab Presidennya,  memang tampil berwibawa sebagaimana seorang pemimpin.

Terlepas kekurangan-kekurangan Soeharto sebagai manusia, tetapi pada waktu itu, kewibawaan Soeharto membuat tidak semua orang berani bicara: "saya juga mau maju sebagai calon presiden".

Alasan lain mengapa tidak semua orang berani mendeklarasikan ingin jadi Presiden? Karena jabatan Presiden, memiliki nilai kesakralan yang tinggi. Kesakralannya itu dijaga dan terjaga.

Presiden Soeharto, ikut menjaga kesakralan tersebut, dengan caranya sendiri.

Terjaganya kesakralan jabatan Presiden, membuat semua pembantu Presiden, pun ikut terimbas.

Seorang Menteri tak sembarangan  bertindak. Tanpa dikritik, setiap Menteri tau apa yang patut dan mana yang tidak.

Menteri pun ikut menjadi panutan.

Seorang Menteri tidak sembarang membuat kebijakan yang bertentangan dengan hati nurani masyarakat.

Memang kurang fair membandingkan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun dengan Jokowi yang baru empat tahun.

Seorang Soeharto yang pernah menjadi Pangkostrad sementara Jokowi yang cuma berpengalaman memimpin kota Solo.

Perbandingan Soeharto dan Jokowi menjadi valid, hanya karena kedua-duanya menjadi Presiden berkat dukungan Amerika.

Dan setelah menjadi Presiden, keduanya menggunakan Konglomerat.

Perbedaannya, Soeharto cukup taktis meanfaatkan Amerika sehingga dia tidak menjadi "boneka" beneran, sementara Jokowi ………….. silahkan isi sendiri.

Terhadap konglomerat, Soeharto bisa memanfaatkan mereka secara tepat guna.

Sedangkan Jokowi, dia dikontrol oleh konglomerat. Tidak percaya?

Lihatlah nasib pengampunan pajak. Para konglomerat yang menjadi pengemplang pajak mendapat amnesty.

Sementera para wajib pajak - yang rata-rata penghasilan mereka megap-megap, dikejar-kejar dengan ancaman penalty.

Jufri meneguk kopinya, kemudian bertanya:

"Kalau menurut tafsiran loe, apa urgensinya petinggi JP Morgan menemui Presiden…….".

Jufri mengutip berita Detikdotkom pagi itu.

Setelah berpikir sejenak, saya menjawab seperti seorang pakar. Padahal saya menjawab dengan harapan dapat reaksi darinya.

"Kayaknya JP Morgan sebagai perusahaan Amerika yang sudah berusia lebih dari 140 tahun, hanya ingin menyampaikan pesan dari Washington, bahwa Amerika tetap mendukung keterpilihan Jokowi di tahun 2019," jawabku.

"Alasan loe apa bro?"

"JP Morgan sebagai bagian dari salah satu Bank Investasi, dikenal sebagai penasehat sekaligus penyelamat Indonesia, ketika berada dalam krisis. Di era Soeharto, Morgan Bank juga membantu Indonesia. Dengan dipercayanya JP Morgan sebagai agent untuk menjual surat utang Indonesia, itu sama dengan pemerintah Indonesia menyerahkan kepada penasehat Amerika itu, untuk mencarikan uang atau hutang untuk kita".

"Itu pemahaman saya yang awam dalam soal utang luar negeri".

"JP Morgan pasti akan berupaya keras mencari uang buat Indonesia, di bawah kepemimpinan Jokowi. Jadi jangan kaget kalu Jokowi terpilih lagi".
 
Jufri menepok jidat. [***] (Bersambung)

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA