Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menangkal "Pembohongan", Mengkritisi Manuver "Licik" Elit Bangsa

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Kamis, 17 Mei 2018, 11:16 WIB
Menangkal "Pembohongan", Mengkritisi Manuver "Licik" Elit Bangsa
Kisman Latumakulita/Repro
SUDAH menjadi semacam tradisi di antara kami wartawan dan aktivis dari dua generasi, secara tidak terjadwal tapi berkala, mendiskusikan situasi masalah negara. Khususnya manakala terjadi semacam krisis, krisis terbarukan dan para elit terbelah.

Kami bertemu, ketika instink masing-masing seperti sedang memanggil-manggil. Bahwa negara sedang dalam keadaan darurat dan memerlukan kami berkumpul untuk mencari solusi.

Padahal kami semua bukanlah orang-orang penentu kebijakan. Kami hanyalah warga biasa. Namun merasa bagian dari "stakeholders" yang punya hak dan merasa punya tanggung jawab sosial sebagai warga bangsa terhadap eksisnya negara tercinta Indonesia.

Klaim kami atas hak ini, jelas sepihak dan belum tentu dianggap patut.

Pendapat dan pemikiran kami tidak wajib diadopsi dan dijalankan oleh para penentu kebijakan. Namun kami juga beranggapan, hak bersuara kami pun, tidak boleh dihambat.

Itulah suasana yang membentuk terjadinya pertemuan Rabu siang hingga malam 16 Mei 2018 di Coffee Shop, Grand Hyaty Hotel, Jakarta Pusat.

Jumlah kami, hanya lima orang. Tapi kami merasa sebagai mewakili semua strata masyarakat Indonesia.

Mewakili warga Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan seluruh kepulauan yang tercerai berai. Mulai dari Bali, NTB, NTT hingga ke kawasan kepulauan Maluku.

Kali ini, giliran Kisman Latumakulita, wartawan dan pimpinan majalah "Forum Keadilan" yang diberi kepercayaan berbicara sebagai narasumber.

Dipercayanya Kisman, bukan tanpa alasan. Antara lain, dia orang yang dinamis dan luwes bergaul.

Gerakannya dalam mencari-cari info, untuk ukuran jurnalis zaman now, tergolong tak ada tandingannya. Ia mampu berdiskusi bebas - seperti sahabat sejumlah pimpinan angkatan, partai politik, menteri dan para advokasi kebangsaan.

Info-infonya, rata-rata masih sangat yang bersifat confidential.

Kisman beredar di berbagai pertemuan di dalam gedung dan ruang tertutup, sampai ke tempat terbuka seperti lapangan golf.

Kisman selalu melihat sebuah persoalan, terutama politik, dari sudut "helikopter".

Selain itu, di tempat terbuka yang kita tidak tahu siapa-siapa yang mengelilingi kami, Kisman tidak punya rasa kikuk, demam panggung apalagi malu.

Suara lantang menggelegar, seperti gaya orang yang suka menggertak.

Bagi Kisman tempat terbuka seperti "Coffe Shop" tersebut, justru merupakan 'panggung' terhormat untuk menyampaikan pemikiran, gagasan dan kegalauan secara genuine.

Sekalipun di kiri kanan kami terdapat tamu-tamu yang berpenampilan sopan, Kisman dengan gaya urakan, tak merasa risih menyampakan uraiannya.

Di sekitar kami mungkin ada pasangan yang berkencan dengan alasan bisnis, yang sepertinya tidak mau terganggu oleh percakapan dengan suara kencang, oleh Kisman, tak dipedulikan.

"Kita membahas persoalan bangsa. Walaupun suara kita tidak didengar oleh orang-orang yang berkuasa, tapi hal itu tidak boleh menghalangi hak kita bersuara. Negara ini milik kita. Sayangnya kewenangan mengurus negara ini, tidak berada di tangan kita," Kisman beragumentasi.

Topik yang dibahas oleh aktivis Pemuda Muslimin Indonesia itu, memang hal-hal sensitif dan menyangkut persoalan bangsa.

Seperti persoalan agama, perbenturan agama atau silang pendapat soal peran minoritas dan mayoritas.

Kisman, sesuai pengakuannya bersahabat baik dengan Habib Rizieq Shihab. Sebaliknya persahabatannya dengan ustadz yang tengah mengasingka diri di Timur Tengah itu, tak mencegah hubungan baiknya dengan mereka yang bersebarangan dengan HRS.

Bahkan tidak sekedar itu. Yang dia kupas, lebih spesifik lagi. Yaitu soal 'pembohongan' yang dilakukan oleh pejabat yang sedang berkuasa, cara-cara para elit bermanuver secara licik, sampai dengan tidak kritisnya lagi komunitas wartawan dalam melihat persoalan bangsa.

Dalam persoalan agama. Kisman misalnya melihat ada secaman rekayasa. Perekayasanya dari kekuatan yang tidak bisa diidentifikasi secara pribadi ataupun kelembagaan.

Yang pasti kekuatan itu tergolong dari mereka yang menginginkan agar NKRI menganut sistem negara federal atau negara bagian seperti Amerika Serikat.

Kisman sangat menentang skenario ini.

Alasannya, historis. Ketika 73 tahun lalu para "founding fathers" sedang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, mayoritas perwakilan sudah sepakat agar Indonesia menjadi sebuah negara Islam.

Tapi di saat-saat yang menentukan, dua wakil dari Indonesia Timur, yaitu Johannes Latuharhary dan A.A. Maramis menentang recana itu.

"Kami mewakili rakyat Indonesia Timur, tidak akan bergabung bila, Indonesia menjadi sebuah negara Islam," argue dari kedua pemuda asal Indonesia Timur tersebut.

Singkat cerita, Indonesia akhirnya tidak menjadi sebuah negara Islam.

Kalau sejarah ini digunakan sebagai pembelajaran, maka bagi Kisman, bangsa Indonesia mestinya patut berterima kasih kepada kedua putra asal Indonesia Timur itu.

Kisman yang berasal dari Tidore, Maluku Utara, Indonesia bagian Timur, juga mengklaim, tidak banyak pemimpin Indonesia yang paham sejarah. Bahwa sekitar sepertiga wilayah Indonesia yang disebut nusantara saat ini, merupakan pemberian dari Sultan Tidore. Etsetera…..

Dari soal sejarah, Kisman meloncat ke soal 'pembohongan' para elit.

Salah satu yang disoroti Kisman pernyataan-pernyataan defesif dari Menteri Keuangan. Bahwasanhya, utang luar negeri Indonesia, bukan sebuah persoalan serius seperti yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan.

Apalagi dengan membandingkan negara industry seperti Jepang dan Amerika juga punya utang luar negeri yang besar.

"Benar soal fakta besas tersebut. Tapi bedanya untuk membayar utang itu, Jepang atau Amerika, memiliki keemampuan berlipat untuk membayarnya".

"Kalau negara kita tidak. Untuk membayar utang, kita harus berhutang," ujar Kisman.

Nah perbedaan inilah yang disembunyikan oleh pemerintah, cq Menteri Keuangan.

Kisman juga tak urung kecewa dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Mata uang kita merosot terhadap nilai tukar semua mata uang. Termasuk mata uang negeri miskin di Asia, Bangladesh," kata Kisman dengan nada suara yang meninggi. Seakan dia sedang mendebat Menteri Keuangan.

Bicara soal Pemilu Presiden 2019, Kisman lau merefer ke "Catatan Tengah" beberapa waktu lalu.

Bahwa campur tangan AS dalam setiap Pilpres di Indonesia, sudah merupakan sebuah keniscayaan.

"Boleh jadi Pilpres 2019, tinggal berupa seremonial saja. Presiden RI sudah ditentukan lewat kekuatan campur tangan asing," katanya tanpa menyebut nama.

Kendati begitu, Kisman memberi "clue", siapa pejabat Indonesia yang baru-baru ini berkunjung ke Amerika Serikat.

"Dia bukan Menteri, tapi disambut seperti seorang calon Presiden," katanya.

Ketika kami menebak, apakah Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, Kisman hanya mengatakan, buka file pemberitaan yang berada dalam siklus dua bulan.

Di situ akan terlihat, siapa sosok yang ke Amerika.

Dalam konteks itu pula, Kisman kemudian mempersoalkan usaha seorang ketua umum sebuah partai, yang mencoba menjadikan anaknya sebagai Presiden atau Wakil Presiden di Pilpres 2019.

"Usaha tersebut, tidak patut didukung," katanya.

"Kalau dia mau anaknya jadi Presiden, suruh dulu anaknya bertarung di tingkat Walikota dan Bupati. Jangan hanya bermodalkan pendidikan Harvard dan merasa memiliki wajah ganteng, lalu dianggap sudah patut menjadi Presiden RI," ujar Kisman dengan nada agak ketus.

"Dia, orangtua anak itu, harus meniru Soekarno. Setelah berbagai usaha Soekarno membela kepentingan bangsa, masuk keluar penjara, maka teman-temannya yang minta supaya Soekarnolah yang menjadi Presiden. Demikian pula dengan Wapres Mohammad Hatta. Jadi duet pemimpin Indonesia itu, bukan rekaya orangtua. Tapi kehendak warga bangsa. Dan baik Soekarno maupun Hatta, dua-duanya pernah mengalami hidup di penjara. Bahkan Hatta, meringkuk penjara di Belanda, karena dia menentang penjajahan Belanda di Indonesia".

Hari sudah beranjak pukul 20:00, tanpa terasa, kami sudah 8 jam berada di Coffee Shop. Badan puh sudah letih, sehingga Kisman, Teddy Setiawan, Andreas Ambesa, Teddy Setiawan dan saya, memutuskan berhenti membahas soal negara. Kami semua pulang ke rumah masing-masing. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA