Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Maaf, Status "Negara Gagal" Bakal Terwujud

*) Krisis 1998, Kembali Berulang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 19 Mei 2018, 10:26 WIB
Maaf, Status "Negara Gagal" Bakal Terwujud
Sudrajat/FB Derek Manangka
MELANJUTKAN perbincangan yang berbeda, tetapi memiliki konteks dan substansi yang sama, saya terpanggil mengeluarkan rasa khawatir yang dalam tentang masa depan Indonesia.

Rasa khawatir ini bukan untuk melemahkan semangat perjuangan dari mereka yang masih terus berjuang dan optimis.

Rasa khawatir ini mengemukan, sebab optimisme seperti yang sering dikatakan oleh elit pemimpin tidak berbanding lurus dengan yang dirasakan oleh masyarakat awam.

Rasa khawatir ini semakin membesar setelah dari dua perbincangan yang berbeda, dilakukan secara terpisah, tetapi memiliki konteks dan substansi yang sama.

Bahwa kita patut prihatin dan berjaga-jaga. Mimpi Indonesia menjadi sebuah negara sukses, bisa berubah menjadi seperti sebuah mimpi buruk.

Dua pembicaraan itu terjadi pada pekan ini di Jakarta. Yang satu berlangsung di Senayan City, satunya lagi di pojok sebuah "warung kopi" hotel bintang lima, Grand Hyatt. Dua-duanya berada di lokasi "Golden Triangle" ibukota NKRI.

Perbincangan pertama dengan Mayjen TNI (Purn) Sudrajat.

Bekas Sekretaris Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata di era Orde Baru ini, jelas-jelas mengemukakan kekhawatirannya dengan menitip beratkan pada masalah keamanan bangsa.

"Kita tidak tahu apa dan bagaimana sesungguhnya yang terjadi di Morowali, sebuah wilayah yang berada di Sulawesi Tangah. Dan satu lagi di daerah Sulawesi Tenggara," ujar bekas Dubes RI untuk RRT tersebut.

Di dua tempat yang cukup jauh dari Ibukota Jakarta, berlangsung kegiatan yang menunjukkan betapa rentannya kendali pemerintah terhadap keamanan dan pengamanan sebuah negara.

Di era Orde Baru, situasi seperti ini, tidak ada dan tidak terjadi sama sekali.

Ibarat kata, seekor semut di sebuah hutan belantara di Papua sana, bisa diditeksi oleh aparat keamanan ataupun intelejen. Kalau semut itu memang harus diselamatkan demi tegaknya keamanan Papua sebagai bagian NKRI, berapa pun biayanya, tindakan penyelamatan harus dilakukan.

Dalam soal keamanan dan keselamatan bangsa ataupun kedaulatan negara merdeka, prinsip yang berlaku, tidak ada hitung-hitungan soal biaya.

Sudrajat yang sempat direkrut Susi Pujiastuti, Menteri Perikanan dan Kelautan untuk mengelolah perusahaan penerbangan miliknya "Susi Air", tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

Bahkan keputusannya untuk maju dalam perebutan kursi Gubernur Jawa Barat, lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan menyelamatkan Indonesia.

Meningat Jawa Barat merupakan provinsi yang paling dekat dengan ibukota NKRI, sekaligus memiliki 43 juta penduduk, terbanyak dari semua provinsi Indonesia.

Sudrajat juga prihatin dengan penyelenggaraan Pilkada serempak maupun Pilpres 2019 - dimana aroma perpecahan bangsa, sangat dia rasakan.

"Pilkada dan Pilpres 2019 diartikan sebagai sebuah Pesta Demokrasi. Karena pemahaman atas "pesta" maka kita menghamburkan uang demikian banyak. Sebuah penghamnburan yang tidak bermakna yang hanya menghancurkan sendi-sendi perekonomian kita," kata Sudrajat.

"Silahkan anda hitung, berapa banyak uang yang terbuang di tahun politik itu. Lalu tanya, apakah pembuangan uang itu bermanfaat," tanya Sudrajat yang dalam Pilkada Jawa Barat ini, memilih "Pahe" Paket Hemat.

Tidak mau jor-joran, bersaing membuang uang.

Perbincangan dengan Sudrajat, melahirkan judul tulisan "Minoritas Tahu Diri, Kelompok Mayoritaspun Otomatis Jadi Bijaksana!".

Yang kedua, 'ceramah' Kisman Latumakulita, wartawan dan aktivis, melahirkan tulisan "Menangkal "Pembohongan", Mengkritisi Manuver "Licik" Elit Bangsa".

Tiada maksud mengungkit apalagi memanaskan suhu sentimen rasial.

Tetapi dari perbincangan dengan Sudrajat dan Kisman Latumakulita, dengan topik yang berbeda, saya menemukan 'benang merah'.

Apa yang disinggung oleh Sudrajat dengan bahasa tersirat atau bersifat diplomatis, cukup "nyambung" dengan yang disoroti secara "vulgar" oleh Kisman.

Padahal Sudrajat dan Kisman tidak saling kenal. Profesi mereka berbeda dan mereka tidak saya ajak membicarakan topik tertentu.

Baik Sudrajat maupun Kisman, manakala bicara tentang persoalan-perosalan bangsa, bertutur seperti air mengalir.

Bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia saat ini berada dalam ancaman serius.  

Ancaman itu muncul karena para elit yag berkuasa sibuk mengurusi kepentingan golongan atau pribadi demi keuntungan dan kenyamaman mereka sendiri.

Yang menyedihkan, para konglomerat yang rata-rata warga Indonesia keturunan Cina atau non-pribumi - dimana jumlah mereka tidak sampai 10 orang, namun "power" mereka demikian kuat. Sehingga mereka bahkan mampu 'mengontrol' rezim yang berkuasa.

Banyak yang berharap dan berpikir, Reformasi 1998, sekaligus mereformasi penguasaan ekonomi dan keuangan oleh kelompok minoritas ini.

Tapi nyatanya tidak demikian. Kekuatan dan pengaruh kelompok minoritas ini, semakin besar.

Kerusuhan 1998 yang disebut-sebut banyak merugikan kelompok minoritas ini, 20 tahun kemudian, justru berbeda. Merekalah yang lebih banyak memetik keuntungan. Lihatlah pertumbuhan Jakarta, dengan menjadikan gedung-gedung pencakar langit sebagai barometer.

Tahun 1998, Jakarta masih begitu sepi dari gedung-gedung bertingkat. Kini 2018, 20 tahun kemudian, sangat berbeda. Dan pemilik dari hampir semua gedung-gedung bertingkat itu -  kalau bukan mereka yang termarginalisasi di tahun 1998, yah mereka yang menerima kucuran dana BLBI.

Krisis 1998 berlanjut menjadi multi krisis Indonesia. Tapi mereka yang termarginalisasi, justru bisa "come back" secara signifikan.

Bahkan secara bisik-bisik ada yang mengatakan, para konglomerat ini, tidak sekedar berbisnis. Mereka ikut menentukan hampir semua kebijakan pemerintah.  

Yang paling cukup mendasar misalnya, sebagian besar uang yang beredar di republik saat ini, berada di tangan kaum minoritas ini.

Sementara fenomena yang cukup mengejutkan, kelompok minoritas ini menguasai hampir semua media broadcasting di Indonesia.

Jika dulu, kelompok ini hanya bergerak dalam bidang bisnis tradisional, tetapi sekarang, mereka sudah ‘menguasai’ bisnis media yang nota bene merupakan bisnis modern.

Dengan menguasai media, para konglomerat ini, sudah bisa menggiring pembentukan opini. Opini positif yang selalu berpihak kepada mereka.

Mungkin tak banyak yang menyadari, kebijakan keuangan yang mestinya menjadi wilayah seorang Menteri Keuangan, tapi toh bisa mereka pengaruhi atau intervensi.

Coba lihat, bagaimana para konglo ini bisa memaksa pemerintahan Joko Widodo agar memberi pengampunan pajak.

Kebijakan pengampunan ini dilihat dari sisi mereka yang berada di posisi “empot-empotan” membayar pajak, jelas tidak “fair”.

Alasannya, di sisi lain pemerintah terus menebar kampanye agar para wajib pajak yang tidak masuk kategori konglo, harus melunasi iuran pajak mereka sesuai jadwal.

Di pihak lain, ada segelintir pembayar pajak yang jumlah tunggakan mereka bertriliunan rupiah, justru diberi keringanan melalui kebijakan Tax Amensty atau Pengampunan Pajak.

Tidak “fair”. Maksudnya di dalam kebijakan pengampunan ini, terselip “dusta”.

Pemerintah menyatakan yakin dengan pegampunan pajak, bahwa ratusan triliunan rupiah akan masuk ke kas negara.  

Pengampunan Pajak juga akan mendorong uang yang diparkir oleh para konglo di luar negeri, akan dipindahkan ke Indonesia.

Nyatanya, Nonsens!

Presiden Joko Widodo yang begitu percaya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani, pun tak bisa berbuat apa-apa.

Rakyat yang kritis, lalu menyaksikan panorama ini, hanya bisa mengelus dada.

Saya berpendapat, didominasinya sistem perekonomian dan keuangan oleh sejumlah konglomerat warga Indonesia keturunan Cina - merupakan sebuah persoalan serius yang harus ditanggapi dan diselesaikan secara baik-baik. Secara dingin dan terukur.

Siapapun tidak boleh lagi berlindung pada asumsi, bahwa persoalan yang melibatkan status konglo non-pri, merupakan hal sensitif. Sehingga terminologi pri dan non-pri pun tetap tidak boleh digunakan.

Yah persoalan pri dan non-pri bisa menjadi sensitif, sebetulnya tergantung pada niat baik atau buruk membicarakannya.

Sepanjang dilakukan secara matang dan berbasis pada wawasan kebangsaan, persoalan sensitif akan hilang dengan sendirinya.

Justru persoalan ini semakin menjadi sensitif, sebab para konglo ini sendiri sudah bersikap tidak “tahu diri”. Terus berbuat memperbesar kekayaan mereka.

Dan kalau seorang Sudrajat, yang notabene bekas Duta Besar Indonesia untuk Cina (RRT) dan Ketua Lembaga Persahabatan Indonesia-Cina, juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan saya - tentu saja soal perbedaan pri dan non-pri, bukan sengaja diada-adakan.

Sehingga sudah saatnya, kita “menggugat” terjadinya kesenjangan sosial.

Jurang yang begitu lebar antara kehidupan masyarakat Indonesia keturunan Cina dengan warga bangsa yang dulunya disebut pribumi, wajib dipersempit bahkan dihilangkan.

Saya percaya jika “gugatan” ini dilandaskan pada semangat persatuan dan kesatuan, mencegah Indonesia dilanda permasalahan sosial tapi berasa rasial, potensi menjadi sebuah negara gagal, dapat dicegah.

Atau “gugatan” ini tak akan menimbulkan masalah.

Yang terpenting, otoritas harus sadar. Bahwa berlindung dari jargon yakni masalah pribumi dan non pribumi, tidak boleh dibahas secara terbuka, sudah tidak relevan.

Bahkan kalau otoritas tidak sadar atau tidak mau sadar, masalah kesenjangan ini, sangat berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa - bila jargon dan terminologi non-pri versus pri, dilarang digunakan.

Jargon itu, sekali lagi menurut saya sudah usang. Justru dengan kita hanya ingin berusaha menutupi adanya ketidakpuasan yang bersumber dari kesenjangan sosial, maka kita telah memilih sikap yang tidak jujur alias munafikun.  

Dan yang lebih parah lagi, pembatasan atas pembahasan itu, sebenarnya telah dimanfaatkan, dikapitalisasi oleh kelompok non-pri. Khususnya mereka yang menguasai semua sendi kehidupan dan kebutuhan manusia.

Pribumi dan Non-Pribumi di Indonesia itu, sudah merupakan sebuah keniscayaan.

Yang terjadi selama ini kita coba membantah keniscayaan itu.

Persoalan minoritas versus mayoritas seolah tidak eksis di Indonesia. Justru sikap yang tidak mau mengakui eksistensi itu yang terus menimbulkan masalah.

Sama dengan sikap sekelompok elit dalam kekuasaan, bahwa negara gagal itu, tak mungkin menimpa Indonesia.

Tunggu!

Dengan Presiden Joko Widodo hanya konsentrasi pada bekerja, bekerja dan bekerja, cara Presiden itu justru yang berbahaya.

Presiden harus peka dengan keadaan lingkungan. Peka terhadap suara-suara yang tidak mengemuka secara lantang.

Segala tindakan Presiden harus berlandaskan pada semangat mencegah Indonesia menjadi negara gagal.

Saya sih berprinsip, lebih baik kita “prepare the worst” ketimbang hanya menafikan setiap kritik yang dirasakan terlalu pedas.

Terpuruknya Indonesia oleh akibat krisis 1998, antara lain karena sikap para elit pada waktu itu, terbelah. Dan di tengah keterbelahan itu, elit yang memegang kekuasaan merasa yang paling kuat dan paling benar.

Suasana 1998 atau kemiripan situasi 20 tahun lalu, sepertinya kembali berulang.

Kembalinya situasi buruk tersebut, itulah yang harus kita cegah bersama-sama. Bangun kebersamaan, singkirkan segala bentuk pemikiran yang berbasis ego centris. (Bersambung) [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA