Empu Tantular, seorang arif yang pertama kali memopulerkan istilah Bhinneka Tunggal Ika di dalam karya monumentalnya 'Hutasoma'. MungÂkin ia tidak pernah membayangkan istilah yang dirumuskannya itu akan menjadi simbol pemerÂsatu bangsa dan negara yang amat dahsyat di kemudian hari. Para
founding fathers bangsa ini memungut istilah ini sebagai ungkapan untuk mewadahi keberadaan bangsa Indonesia yang sedemikian heterogen dan plural menjadi sebuah negara ideal, Negara Kesatuan Republik IndoÂnesia (NKRI). Kalimat ini tergores di dalam pita yang dicengkeram burung garuda. Hingga saat ini menururut bacaan penulis belum pernah seÂorang pun mempersoalkan kalimat tersebut. Kata "Ketuhanan Yang Maha Esa" masih ada yang mempersoalkannya tetapi kata ini seolah bebas dari cela untuk dikritisi. Hal ini bisa dimaklumi karÂena semua agama dan kepercayaan serta adat istiadat sepertinya sepakat menganggap istilah itu penuh kearifan.
Al-Qur'an sendiri sesungguhnya mempunyai semangat yang sama dengan istilah tersebut. Al-Qur'an menegaskan bahwa perbedaan, hetÂerogenitas, dan pluralitas adalah sunnatullah. Menolak keragaman berarti menolak sunnatullah. Dalam Al-Qur'an ditegaskan:
Wa lau sya'a RabbuÂka laja’alnakum ummatan wahidah (Jika Tuhan-Mu menghendaki niscaya ia menjadikan kalian suatu umat/(Q.S. al-Maidah/5:48). Dalam ayat tersebut AlÂlah Swt menggunakan kata lau, bukannya in atau idza. Dalam kaedah Tafsir dijelaskan, apabila Allah menggunakan kata lau (jika) maka sesungguhnya hampir mustahil kenyataan itu tidak akan pernah terÂjadi. Kalau kata in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pasti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi. Masalahnya sekarang kamus bahasa Indoneseia kita tidak memiliki kosa kata sepadan dengan bahaÂsa Arab, sehingga keseluruhannya diartikan dengan jika (if). Al-Qur’an mempersilakan manusia berbeda-beda tetapi jika terjadi konflik Al-Qur'an mengajak para pihak untuk kembali kepada prinsip kesamaan (kalimah
sawa'/common platform).
Ketegangan antara golongan atau kelompok di dalam masyarakat Indonesia sesungguhnya lebih banyak dipicu oleh pengingkaran kalimat luhur "Bhinneka Tunggal Ika". Munculnya istilah kelompok "sesat" yang dituduhkan oleh suatu kelompok atau perorangan kepada kelompok lain, sesungguhnya bisa menjadi bukti masih lemahnya pemahaman dan kesadaran di dalam berbangsa dan bernegara, terutama jika diserÂtai dengan tindakan-tindakan kekerasan. AdanÂya tuduhan pengkafiran atau pemusyrikan dari satu kelompok ke kelompok lain, bahkan saling usir-mengusir dan bunuh-membunuh lantaran diÂpicu penafsiran sumber ajaran agama. Tentu saja kenyataan ini sangat disesalkan karena mereka sama-sama berpegang kepada kitab suci yang sama tetapi mereka saling bermusuhan satu sama lain. Indonesia yang menghayati motto: Bhinneka Tunggal Ika, seharusnya konflik horiÂzontal tidak perlu terjadi. Meskipun suku, etnik, agama dengan berbagai aliran dan mazhabnya berbeda-beda namun persamaan historis sebaÂgai satu bangsa yang pernah mengalami pahit getirnya perjuangan melawan penjajah membuat perbedaan-perbedaan tersebut ibarat sebuah lukisan yang berwarna-warni membuat lukisan itu menjadi lebih indah.