Pancasila dan ajaran agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia diharapkan saling menÂjiwai dan saling mengokohkan satu sama lain. Agama memberikan penguatan terhadap negaÂra dan negara memberikan penguatan terhadap agama. Pancasila dan Agama bagaikan satu mata uang yang memiliki sisi yang berbeda. Jika di kemudian hari terdapat pertentangan antara keduanya, maka perlu segera diatasi. Akhir-akhir ini isu agama seringkali tampil berhadap-hadapan dengan tatanan negara. Gerakan puritanisme atau pemurnian agama tampaknya melahirkan benturan-benturan baru antara tatanan kenegaÂraan dan apa yang diklaim sebagian orang sebaÂgai ajaran Islam.
Kecenderungan berkembangnya gerakan salafi-jihadi yang berusaha membersihkan khurafat dan bid’ah di dalam masyarakat serÂingkali berhadapan dengan tradisi keagamaan yang sudah mapan dan mendapatkan legitiÂmasi negara. Misalnya hadirnya kelompok anti Perayaan Maulid Nabi, Isra' Mi'raj, perinÂgatan tanggal 1 Muharram, dll dianggap sebaÂgai kegiatan bid'ah yang tidak berdasar. PadaÂhal acara-acara tersebut sudah menjadi tradisi keagamaan rutin dan di antaranya sudah dilemÂbagakan dalam acara negara, seperti PeringaÂtan Maulid Nabi, Peringatan Isra' Mi'raj, dan Nuzulul Qur'an setiap tahun diacarakan seÂbagai acara kenegaraan. Jika itu dibid’ahkan, apalagi diharamkan, maka bukan saja menimÂbulkan masalah internal umat Islam tetapi juga berdampak pada acara kenegaraan.
Dalam pola kehidupan NKRI, apa yang suÂdah dianggap positif dan diterima baik di dalam masyarakat luas, apalagi sudah diakomodasi oleh negara sebagai acara kenegaraan yang diÂperingati secara nasional, sebaiknya tidak perlu diusik lagi. Pemurnian ajaran tidak mesti harÂus mengorbankan kearifan dan kreatifitas lokal sepanjang hal itu tidak terang-terangan bertenÂtangan dengan ajaran dasar agama. Apa yang ditawarkan sebagai standar ajaran pemurnian sesungguhnya belum tentu murni. Apalagi kalau yang dijadikan standar ajaran untuk menilai lebih kental ajaran budaya Timur Tengahnya lebih kenÂtal ketimbang ajaran Islamnya. Contohnya adanÂya gerakan atau seruan penggunaan cadar atau niqab, yaitu pakaian perempuan yang menutupi seluruh anggota badan kecuali kedua bola mata, penggunaan celana di atas tumit, dan kemestian memelihara jenggot, dan atribut fisik keagamaan lainnya. Menjadi seorang muslim yang baik tidak mesti harus menyerupakan diri dengan orang-orang Arab. Kita bisa menjadi The Best Muslim tetapi pada saat bersamaan kita tetap menjadi The Best Indonesian.
Beberapa contoh seruan sudah mirip denÂgan "ancaman" karena bagi mereka yang tidak mengindahkan ajaran da’wah mereka ditakut-takuti dengan neraka. Kalangan masyarakat suÂdah mulai bingung, mana sesungguhnya yang benar. Peran Majlis Ulama Indonesia juga seÂbaiknya lebih pro-aktif melindungi kepercayaan umat yang sudah mapan. MUI harus berani biÂcara bahwa suasana keberagamaan dan tradisi keagamaan (Islam) di Indonesia sudah di atas jalan yang benar. Apalagi dengan kebebasan umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa saat ini sudah sedemikiÂan dilindungi oleh HAM. Semua orang dan goÂlongan bebas mengekspresikan ajaran agama dan kepercayaannya. Lebaran berkali-kali, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, sudah lumrah di InÂdonesia, meskipun pengalaman seperti ini aneh di mata umat Islam negara lain.