Pancasila & Nasionalisme Indonesia (6)

Pendidikan Multi Agama Dan Kepercayaan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 01 Agustus 2017, 10:38 WIB
Pendidikan Multi Agama Dan Kepercayaan
Nasaruddin Umar/Net
ISLAM dan Pancasila sa­ma-sama menerima keberadaan multi agama dan kepercayaan. Adanya kes­an sekelompok warga bang­sa yang seolah memperh­adapkan keberadaan multi agama dan kepercayaan tidak begitu sejalan den­gan semangat Islam dan Pancasila. Hadirnya kelompok yang memper­hadap-hadapkan antara Islam sebagai agama tauhid dan Pancasila yang sila pertamanya Ketuhanan Yang maha Esa dan keberadaan multi agama dan kepercayaan, menjadi bukti masih adanya potensi dan persoalan konsep­tual di negeri ini.

Pemahaman konsep multi agama dan kepercayaan yang terukur dalam pendidikan agama sudah amat mendesak. Pendidikan multi agama dan kepercayaan di sini ialah pendidi­kan keagamaan yang selain mengajarkan ma­teri pendidikan agama dan kepercayaan yang dianut oleh peserta didik juga diajarkan secara terukur konsep agama dan kepercayaan lain, khususnya yang ada di Indonesia. Ini penting untuk memberikan pemahaman dini kepada anak-anak bahwa selain agama yang dianut­nya ada juga agama-agama dan kepercayaan lain memiliki penganut dan pengikut. Mereka juga adalah sesama warga Negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban di negeri ini. Dengan demikian, anak-anak tidak dididik dan diajarkan persepsi yang yang menganggap mereka "orang lain". Meskipun di antara mere­ka ada yang minoritas tetap dihembuskan rasa kasih sayang sebagai sesama warga bangsa.

Perbedaan agama dan kepercayaan tidak layak dijadikan dasar untuk meng-"orang lain"- kan seseorang, apa lagi membencinya. Mereka justru harus dijadikan laboratorium untuk men­gukur kadar toleransi dan kerukunan yang kita miliki. Mereka adalah ornamen konfiguratif yang amat penting untuk menggambarkan keindahan "lukisan Indonesia". Tanpa kehadiran mereka keindahan itu akan berkurang. Sudah saatnya kita menanamkan rasa "kebersamaan" bukan rasa "perbedaan" antara sesama warga bangsa sejak usia dini. Hanya dengan demikian Indo­nesia akan dikenang sebagai subuah Negara ideal, Negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, menghargai hak-hak minoritas.

Namun perlu ditegaskan, pendidikan multi agama dan kepercayaan di sini bukan per­bandingan agama, yang membandingkan antara satu agama dengan agama lain. Men­gukur kelebihan dan kelemahan setiap agama lalu dipersilakan kepada murid sebagai "user" (pengguna) untuk memilih agama mana yang akan dianutnya secara merdeka. Jika demiki­an adanya maka justru akan rancu dan bisa memicu konflik dan keresahan, terutama ke­pada para orang tua. Apa jadinya jika di seko­lah ada etalase agama-agama dan semua murid berhak memilih agama mana yang ia sukai. Sekali lagi tentu bukan itu yang dimak­sud pendidikan multi agama dan kepercayaan di sini. Yang dimaksud pendidikan multi agama dan kepercayaan sesungguhnya selain mem­perkenalkan dan memberikan pendalaman dan penghayatan terhadap agama yang dianut sang murid, juga diperkenalkan secara gener­ik agama-agama lain sebagai fenomena yang hidup di dalam masyarakat. Jadi lebih kepada pengajaran sosiologi agamanya, bukan me­mahamkan substansi agamanya. Dengan de­mikian anak-anak akan sadar sejak dini bah­wa meskipun agamanya yang diyakini paling benar tetapi kelompok penganut agama lain juga memiliki hak yang sama untuk berkeyaki­nan sama. Metode ini selapis lebih menjanjikan harapan ketimbang pengajaran mono religion, yang mengajarkan satu-satunya agama di da­lam subjek Pendidikan agama.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA