Hanya saja cara masuknya berbeda-beda. Ada negara yang menyisir kurikulum dan syllabus denÂgan mendrop seluruh materi yang berpotensi bisa menimbulkan pemahaman keras. Ada juga denÂgan cara-cara memberikan perbandingan dengan pendapat atau pandangan lain, meskipun dalilÂnya sama. Cara-cara seperti umum dilakukan, terÂmasuk di Indonesia. Materi perbandingan mazhab (muqaranah al-madzahib) menjadi materi penting di dalam pembelajaran agama. Materi pengenalan dasar agama-agama lain juga diperkenalkan atau diajarkan di dalam jenjang pendidikan tertentu agar peserta didik tidak hanya mengenal kebaikan agaÂmanya sendiri tetapi pada agama lain terdapat juga ajaran kebaikan.
Kitab-kitab dan buku-buku bacaan dan terbitan juga dikendalikan dengan cara menyeleksi baÂhan-bahan bacaan peserta didik. Tentu dengan cara ini tidak mudah karena bahan bacaan sekaÂrang tidak hanya dalam bentuk buku yang gamÂpang diatur pendistribusiannya. Yang lebih berat ialah dalam bentuk e-books atau internet, yang bisa menyuguhkan apapun, termasuk bagaimaÂna cara merakit bom. Terbukti sejumlah kasus keÂjadian bom pelakunya mengaku belajarnya dari internet. Bagi orang yang berbakat dan memiliki keinginan dan motivasi kuat bisa saja menemuÂkan ide-ide cerdas melalui internet, sementara inÂternet sekarang sudah sangat personal, karena melekat di dalam HP yang diakses kapan saja dan di mana saja.
Obyek lain yang sering dijadikan target ialah orang-orang atau kelompok, yayasan, lembaga yang dicurigai memiliki jaringan khusus yang berpoÂtensi menggalang kekuatan untuk menciptakan keÂresahan dengan melakukan serangkaian kekerasÂan atau ancaman kekerasan di dalam masyarakat. Bagi mereka targetnya adalah menimbulkan kepanÂikan dan ketakutan publik. Dengan begitu mereka menganggap separuh targetnya sudah tercapai. Karena itu, peran media juga sangat penting. MeÂdia bisa menemukan sarang teroris atau kelompok-kelompok mengkhawatirkan, tetapi dengan media juga kelompok-kelompok itu menjadi besar karena selalu dibesar-besarkan.
Hal lain yang sering menjadi tema ialah masalah pencegahan, penindakan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Keempat persoalan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak keamanan atau pemerintah, tetapi semua pihak, termasuk lingÂkum keluarga sebagai unit masyarakat terkecil. Pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi bisa saja diemban oleh pemerintah bersama segenap aparat hokum dan keamanan, tetapi masalah reÂintegrasi harus menjadi bagian yang tak terpisahÂkan dengan masyarakat luas. Di sini sering munÂcul masalah penting dan amat mendesak, karena rata-rata pelaku teroris itu masih muda usia, seÂhingga kalau mereka dipenjara lima tahun misÂalnya, mereka masih memiliki usia yang cukup panjang. Jika masyarakat menolak kehadiranÂnya maka tidak mustahil mereka akan mencari kembali jaringan lamanya. Bagaimana pun juga mereka juga adalah manusia biasa yang membuÂtuhkan hak-hak hidup yang standar seperti maÂkan. ninum, berkeluarga, dan bersosialisasi. Jika mereka ditolak oleh masyarakat mereka mau ke mana, padahal mereka juga manusia dan juga warga bangsa?