Biasanya jika orang ditimpa kemalangan, penderitaan, atau musibah, yang paling pertama dipanggil orang ialah Tuhan. Seolah-olah hanya Tuhanlah segala-galanya bagi dirinya. Dia pasrahkan diri sepenuhnya hanya kepada TuÂhannya. Ibadah pun terasa lebih syahdu dan khusyuk. Sebaliknya jika seseorang diuji denÂgan kemewahan dan kegemerlapan hidup banÂyak sekali yang dipanggil. Orang lain, yang boleh jadi tidak halal bagi dirinya yang selalu di-SMS. Tuhan Sang Pemberi Rezki justru tidak pernah dipanggil. Akibatnya, lupa diri dan hilang konÂtrol. Situasi seperti ini justru pertanda awal keÂjatuhan. Jika Tuhan menjauh dari diri seseorang maka dipastikan tidak ada ketenangan hidup. AlÂlah mengingatkan: "Ala bidzikrillah tathmainnul qulub" (Hanya dengan mengingat Allah akan terÂcapai ketenangan hidup).
Betapa banyak contoh dalam kehidupan dan dalam kisah Kitab Suci, mengingatkan kita bahwa ujian yang paling berat bagi manusia, baik sebaÂgai pribadi maupun sebagai anggota keluarga dan warga bangsa, jika tidak hati-hati dengan ujian keÂbaikan (balaun hasanah) maka akan tergelincir. Orang lebih mudah bangkit dari ujian keburukan daripada ujian kebaikan. Banyak sekali mantan orang terpinggirkan yang kemudian menduduki central power, banyak mantan orang miskin jadi konglomerat, dan banyak yang tadinya orang keÂcil menjadi orang besar. Dalam perjalanan jauh ke depan, yakni ujung hayat sampai akhirat, kita perlu menyiasati dua bentuk ujian ini. Jika balaun sayyiah mendera kita lawanlah dengan kesabaran (al-shabr) dan jika ujian kebaikan mendatangi kita hadapilah dengan kesyukuran (al-syukr). Al-Shabr dan al-syukr bagaikan dua kepal sayap kehidupan yang perlu diseimbangkan. Jangan hanya pandai bersabar terhadap musibah tetapi tidak pandai bersyukur terhadap kenikmatan hidup. Atau janÂgan hanya pandai bersyukur tetapi tidak tahan unÂtuk bersabar.
Setiap manusia akan diuji Tuhan dengan dua ujian, yaitu ujian keburukan (balaun sayyiah) dan ujian kebaikan. Ujian berupa keburukan biasanÂya sesuatu yang tidak dikehendaki oleh manuÂsia, bahkan kebalikan dari kehendak manusia. Contoh ujian keburukan itu ialah musibah beruÂpa kecelakaan yang membawa korban, penyakit yang mendera, kebangkrutan usaha, kegagalan dalam pekerjaan, dan kematian anggota keluarÂga terdekat. Kesemuanya ini membuat hati kita menjadi terpukul dan bersedih.
Orang-orang bijak selalu menasehati kita terhadap musibah. Jika seseorang ditimpa musibah tidak perlu terlalu bersedih karena, pertama musibah bukan hanya menimpa diri kita tetapi semua orang pernah merasakannya. Kedua, musibah seringkali menjadi akhir dari sebuah penderitaan. Kalau kita bawa ke bahasa agama, setiap musibah pasti ada hikmahnya. Boleh jadi musibah itu "surat cinta" Tuhan terhadap kita, setelah sekian lama Tuhan merindukan kehadÂiran kita di hadirat-Nya tetapi tidak pernah kita hiÂraukan. Akhirnya dengan cara lain, yaitu berupa musibah, Tuhan mengundang kita dan kita pun sampai kepadanya. Bukankan Sosok yang palÂing pertama kita panggil kalau dilanda musibah adalah Tuhan?