Marginalisasi nilai-nilai dan norma ajaran agama tidak mesti diartikan lantaran pemerinÂtah tidak mengakomodir pertimbangan agama di dalam membuat dan menerapkan kebijakan. Akan tetapi bisa juga karena arus kuat modÂernisme yang melanda umat manusia secara universal. Modernisme kini sudah seperti stateÂless values, sebuah tata-nilai yang bebas negÂara. Modernisme memiliki kemampuan untuk menembus batas-batas geografis bangsa dan negara, merasuk ke dalam lapis-lapis budaya, dan menerobos sekat-sekat agama dan keperÂcayaan.
Memang lebih parah lagi jika ada kesengajaan negara untuk mereduksi atau melakuÂkan disfungsionalisasi ajaran agama di dalam masyarakat, seperti yang pernah terjadi di seÂjumlah negara sekuler. Kemal Ataturk ketika menjadi penguasa Turki yang berpenduduk 97 persen muslim, pernah melarang warganya menggunakan simbol-simbol Arab di negerinya, seperti atribut pakaian, termasuk penggunaan azan di masjid-masjid dengan bahasa Arab. Masyarakatnya dipaksa menjadi modern dan sekuler. Namun apa jadinya? Bukannya menÂgantar Turki menjadi lebih baik dan lebih berÂmartabat, bahkan Turki yang pernah menjadi pusat kerajaan Otoman/Usmani terjun bebas ke bawah ditinggalkan oleh sejumlah bangsa dan negara yang pernah menjadi protektoratnya.
Marginalisasi ajaran agama oleh negara yang diwakili pemerintah di dalam masyarakat religius, selain akan melahirkan deprivasi poliÂtik juga berpotensi melahirkan ketegangan horizontal sesama warga bangsa. Apalagi jika marginalisasi itu dirasakan oleh kaum mayoriÂtas, maka itu akan dimaknai dengan berbagai makna yang tendensius. Di antaranya mereka akan membaca pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan deret ukur populasi agama mayoritas tersebut. Persis seperti ini yang pernah diingatkan oleh Gus Dur, bahwa hati-hati jika pertumbuhan ekonomi itu hanya dirasakan oleh kelompok agama tertentu dan tidak ikut dirasakan oleh penganut agama mayÂoritas, maka itu berpeluang menjadi potensi konflik baru di masa depan.
Masyarakat Indonesia tidak perlu diragukan religiusitasnya. Secara konsepsional juga penÂempatan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila menjadi bukti kuat akan hal ini. Perolehan kemerdekaan yang amat heroic dan historicle juga tak dapat dipiÂsahkan kentalnya faktor agama di dalam perÂjuangan kemerdekaan bangsa. Jadi sebaiknya kita konsisten semua pihak menggunakan baÂhasa dan spirit agama di dalam mempertahankÂan dan membangun bangsa ini. Dengan mengÂgunakan bahasa agama maka partisipasi aktif masyarakat pasti akan terwujud, karena mereÂka yakin membela tanah air adalah ibadah.
Dalam masyarakat yang semakin majemuk dan semakin mengalami persaingan ketat, maka pertimbangan nilai-nilai keagamaan sanÂgat diperlukan. Nilai-nilai ajaran agama bagian yang tak terpisahkan dengan karakter bangsa harus tetap mendapat tempat di dalam kehiduÂpan berbangsa dan bernegara.