Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

E-KTP Yang Sudah Jadi Dipajang Di Mading

Blangko Belum Bisa Penuhi Kebutuhan Warga

Jumat, 09 Juni 2017, 10:22 WIB
E-KTP Yang Sudah Jadi Dipajang Di Mading
Foto/Net
rmol news logo Sempat kosong selama beberapa bulan, warga Jakarta yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik atau e-KTP, kini sudah mulai bisa mendapatkannya. Meski belum semua.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah mendistribusikan blangko e-KTP ke se­jumlah kelurahan dan kecamatan di Ibu Kota. Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, merupakan salah satu kelurahan yang mendapat "jatah" blangko e-KTP.

Di sini, warga bisa mencek e-KTP yang sudah dicetak. Nama-nama warga yang e-KTP-nya sudahjadi, ditulis di sebuah kertas berdasarkan RW domisilinya. Kertas-kertas tersebut ditempel di mading kaca berukuran 2x1,2 meter.

Di mading tersebut, tampak warga Kelurahan Lubang Buaya yang sudah mendapatkan e-KTP sejak awal Mei 2017. Pantauan Rakyat Merdeka, kemarin, di kertas terakhir, tercatat tanggal 7 Juni 2017, ada 21 nama warga yang e-KTP-nya sudah jadi.

Untuk mengambil e-KTP yang sudah jadi, warga harus masuk ke ruang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pelayanan (PTSP) kelurahan tersebut. Letaknya berada di sebelah kiri pintu masuk kelurahan. Di ruangan 10x6 meter persegi, warga dilayani. Tercatat ada empat loket pelayanan. Tiga loket untuk pelayanan berbagai macam keperluan warga, sedangkan satu loket lainnya untuk perekaman data e-KTP.

Hari itu, Muhammad Andika, warga RW 6, Kelurahan Lubang Buaya, terlihat duduk tertib di kursi ruang tunggu PTSP. Bersama seorang rekannya, dia ngobrol sembari menunggu antrean. Di jarinya terselip no­mor antrean 067. Hari itu, dia ingin mengambil e-KTP miliknya yang sudah jadi.

"Mau ambil e-KTP saya, katanya sudah jadi, dan harus datang sendiri, tak boleh diwakilkan. Soalnya, verifikasi sidik jari lagi," katanya saat berbincang.

Andika mengaku lupa kapan dia melakukan perekaman e-KTP. Seingatnya, sudah lebih dari tiga bulan. "Saya dikasih tahu Pak RT, nama saya ada di daftar yang e-KTP-nya sudah jadi," terang pemuda yang mengenakan ke­meja garis-garis tersebut.

Menurut seorang petugas Kelurahan Lubang Buaya, blangko e-KTP mulai dikirim ke kelura­han tersebut seusai Pilkada DKI putaran kedua. "Katanya bakal dikirim pas April, ya memang sudah dikirim, tapi belum cukup untuk semua yang belum dapat. Prioritas untuk yang sudah rekam duluan," kata petugas tersebut.

Dia berharap, tak ada lagi hambatan dalam pengiriman blangko e-KTP. Soalnya, katadia, warga di wilayahnya banyak yang protes karena e-KTP-nya tidak kunjung selesai. "Untungnya, warga mau dijelas­kan," ucapnya.

Blangko e-KTP juga sudah mulai diterima Kelurahan Bambu Apus, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Sebelumnya, kelurahan ini sempat tidak mendapat kiriman blangko sejak Juli 2016. "Sudah didistribusi­kan dari dua bulan lalu," ucap Isin, Kepala Satuan Pelaksana Kependudukan dan Catatan Sipil (Kasatpel Dukcapil) Kelurahan Bambu Apus, saat ditemui di ruang kerjanya.

Tapi, sambung Isin, blangko yang dikirim dari kecamatan, belum bisa memenuhi jumlah yang dibutuhkan kelurahannya. "Memang ada puluhan ribu yang dikirim ke DKI, tapi mungkin karena harus dibagi per wilayah, jadi belum bisa memenuhi. Kandari dinas dulu, baru nanti dikirim ke wilayah, ke kecamatan, dari kecamatan baru ke kita," terangnya.

Dia menuturkan, waktu pengiriman ke kelurahannya pun tidak menentu. Tidak bisa dipastikan, per hari atau per pekan. Namun, seingat Isin yang mengenakan kopiah putih, kelura­hannya sudah mendapat kiriman sebanyak tiga kali. Terutama se­jak Pilkada DKI putaran kedua.

"Kita kan waktu itu dapat juga, nyetak juga, tapi karena kosong jadi sedikit-sedikit," ujarnya.

Seingat Isin, sejak kosong dari Juli 2016, sudah ada sekitar 110 blangko yang dikirim ke Kelurahan Bambu Apus. Tapi, karena tak mencukupi kebutu­han, pihak kelurahan mempriori­taskan yang yang sudah rekam sebelum Juli 2016. "Yang sudah jadi kita kasih tahu melalui Ketua RT-nya, dan harus ambil sendiri karena verifikasi sidik jari lagi," jelasnya.

Terpisah, Lia, Kepala Seksi Dukcapil Kelurahan Setu men­gatakan, sebenarnya di kelura­hannya tidak pernah ada keko­songan blangko e-KTP. Blangko untuk e-KTP, kata dia, selalu dikirim dari Kemendagri.

"Tapi, jumlahnya terbatas. Sehingga, e-KTP warga tidak langsung jadi. Sekarang juga tetap dikirim, tapi memang belum semua warga yang sudah merekam data langsung dapat e-KTP," terang Lia saat berbincang.

Serupa dengan beberapa ke­lurahan di wilayah Kecamatan Cipayung, di Kelurahan Setu, sambung Lia, blangko e-KTP diprioritaskan kepada warga yang telah merekam data ter­lebih dahulu.

"Yang rekam duluan dapat duluan, yang kemarin-kemarin sempat tertunda karena blangkonya terbatas," terangnya.

Lebih lanjut, menurut Lia, perekaman e-KTP tetap berlang­sung meski saat ini kekurangan blangko. "Arahan dari dinas, kita kasih surat keterangan yang bisa dipakai untuk mengurus berba­gai keperluan warga," tuturnya.

Meski sudah mendapatkan kiriman blangko, Riko, warga Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, mengaku belum mendapat e-KTP. "Padahal, sudah hampir enam bulan saya menunggu. Dengar-dengar, kelurahan sudah dikirimi blangko, semoga cepat jadi KTP saya," ucapnya.
 
Latar Belakang
Angka Kerugian Keuangan Negara Dalam Kasus e-KTP Sekitar Rp 2 T

Proyeke-KTP telah bergulir sejak 2011 di Kemendagri. Megaproyek itu menghabiskananggaran dengan sistem multiyears sekitar Rp 6 triliun, menggunakan pagu anggaran 2011-2012.

Sebelum digulirkan, besarnya nilai anggaran sempat memunculkan aroma tak sedap. Mendagri saat itu Gamawan Fauzi, yakin proyek tersebut tidak tersentuh tangan-tangan ko­ruptor. "Kalau ada (pelanggaran), ungkapkan saja. Saya malah dari awal minta tolong ke KPK, dua kali presentasi ke mereka. ICW saya surati, saya juga minta ke BPKP. Kalau ada (pelanggaran), buka semua," kata Gamawan.

Sebenarnya, sosialisasi untuk e-KTP sudah dilakukan sejak 2003. Kemudian pada 2011, proses pengadaan barang dan pembuatan e-KTP dilakukan. Saat itu, Gamawan mengatakan, peme­nang tender segera diumumkan. Saat itu, pemenangtender adalah konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Konsorsium itu terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Sandipala Arthaput dan PT Quadra Solution.

Dalam perjalanannya kemu­dian, proyek itu dilaporkan ke KPK oleh Government Watch (Gowa) pada 23 Agustus 2011. Direktur Eksekutif Gowa Andi W Syahputra saat itu menyebut, proses pelelangan sejak perenca­naan hingga lelang telah diarah­kan ke konsorsium tertentu.

KPK pun merespons laporan tersebut, meski sebelumnya lembaga itu juga telah melaku­kan kajian sejak Februari 2011, sebelum proses tender dilaku­kan. Kemudian, KPK pun mem­berikan rekomendasi kepada Kemendagri terkait proyek itu yang disebut KPK tidak dilaku­kan. Meski, kemudian Gamawan mengklaim lima dari enam reko­mendasi itu telah dilakukan.

KPK lalu melakukan pulbaket (pengumpulan bahan keterangan) sebelum menyelidiki perkara itu. Hingga akhirnya pada 22 April 2014, KPK menaikkan status penanganan perkara dari penyelidikan ke penyidikan.

KPK kemudian menetapkan seorang tersangka dalam kasustersebut, Sugiharto, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Sugiharto merupakan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan di Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri. Dia dijerat dengan pasal pe­nyalahgunaan wewenang serta memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain.

Ketua KPK saat itu, Abraham Samad menyebut, kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut diperkirakan mencapai Rp 1 triliun. KPK juga tidak membantah adanya informasitambahan dari Muhammad Nazaruddin, terpidana kasus Wisma Atlet, terkait kasus ini.

Ketika itu, sejumlah nama dicegah KPK bepergian ke luar negeri. Mereka adalah Sugiharto, Irman (Dirjen Dukcapil), Isnu Edhi Wijaya (bekas Dirut Perum PNRI), Anang Sugiana Sudihardjo (Dirut PTQuadra Solution), dan Andi Agustinus (wiraswasta).

Proses penyidikan pun dilakukan KPK seperti biasa, dari pemeriksaan saksi hingga sejumlah penggeledahan. Waktu ber­lalu, tetapi penanganan kasus itu belum ada progres signifikan. Hingga pada akhirnya pucuk pimpinan KPK berganti dan diisi Agus Rahardjo Cs pada Desember 2015.

Saat itu, Agus berkomitmen menyelesaikan utang-utang penanganan kasus, termasuk e-KTP. Agus juga menyebut, penghitungan kerugian keuan­gan negara mencapai lebih dari Rp 2 triliun. "Yang kita terima, kerugian negaranya lebih dari Rp 2 triliun. Menghitungnya itu dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)," ucap Agus.

Pada akhirnya, KPK mengu­mumkan tersangka lain dalam kasus itu setelah penanganan kasus lebih dari dua tahun. Tersangka yang ditetapkan saat itu adalah Irman, bekas Dirjen Dukcapil. "Penyidik telah menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan IR, mantan Dirjen Dukcapil, sebagai ter­sangka," kata Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati beberapa waktu lalu.

KPK lalu semakin intens memeriksa saksi-saksi kasus ini. Nama-nama seperti Setya Novanto, Gamawan Fauzi, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, Agun Gunandjar, Chairuman Harahap, Agus Martowardojo, hingga Yasonna Laoly pun dipanggil untuk dim­intai keterangan.

Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menyatakan, sepanjang 2016, KPK menerima pengembalian uang dari ber­bagai pihak terkait kasus itu. Total pengembalian uang se­nilai Rp 250 miliar, dengan rincian Rp 220 miliar dari 5 korporasi dan 1 konsorsium, serta Rp 30 miliar dari perorangan.

Pengembalian dari peroranganitu berasal dari 14 orang, termasuk anggota DPR. Namun, Febri enggan mengungkap siapa saja nama-nama itu. Meski demikian, Febri menegaskan, pengem­balian uang itu tidak menghapus unsur pidana.

KPK pun melimpahkan berkas perkara kasus itu ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta pada 1 Maret 2017. Berkas perkara itu disarikan menjadi satu surat dakwaan bagi dua terdakwa. Berkas itu setebal 24 ribu halaman. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA