WAWANCARA

Ignasius Jonan: Kalau Kontrak Karya Pertambangan Diputus, Terus Mau Dikelola Siapa...

Senin, 16 Januari 2017, 08:44 WIB
Ignasius Jonan: Kalau Kontrak Karya Pertambangan Diputus, Terus Mau Dikelola Siapa...
Ignasius Jonan/Net
rmol news logo Sejak diberlakukan tahun 2009, Undang-Undang Min­erba (Mineral dan Batubara) terus-terusan diakali perusahaan pertambangan. Hingga saat ini, sejumlah perusahaan pertambangan besar tak kunjung selesai membangun smelter. Mereka juga pelit berbagi royalti kepada negara.

Sementara pemerintah sejak dulu terus - menerus mengeluar­kan Peraturan Pemerintah (PP) yang memberi keringanan dan mengulur waktu. Padahal, PP relaksasi sudah pernah diter­bitkan sebelumnya.

Seperti diketahui, pada 11 Januari 2014, pemerintah mengeluarkan dua beleid sekali­gus. Yaitu PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 tahun 2014 ten­tang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

Dalam aturan itu ditegas­kan, pemegang lisensi Kontrak Karya (KK) mineral logam dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi mineral logam hanya memperoleh waktu relaksasi ekspor dalam jangka waktu tiga tahun sejak aturan diundangkan. Nah, sekarang relaksasi ekspor yang diberikan pemerintah justru lebih panjang, yakni lima tahun.

Lalu di mana letak wibawa Undang-Undang Minerba? Berikut penjelasan Menteri Jonan;

Kok pemerintah malah bikin PP relaksasi sih, bukankah Undang-Undang Minerba dan PP sebelumnya sudah tegas mengharamkan ekspor konsentrat?

Kan ini di peraturannya sudah disebutkan akan diawasi setiap enam bulan dan lain sebagainya, progress pembangunan smelter.

Diawasi bagaimana?
Kalau enam bulan pertama progress-nya tidak ada, sesuai rencana yang disepakati ya di­cabut ekspor konsentratnya.

Kenapa nggak tegas aja, set­op ekspor konsentrat seperti perintah undang-undang?

Kalau ini diputuskan, terus mau dikelola siapa. Nah pertan­yaannya begitu. Perusahaannya tutup, employment atau tenaga kerjanya bubar, invetasinya terganggu, pendapatan daerah, pendapatan negara dan lain sebagainya.

Itu kan alasan klasik pe­merintah?
Kalau ditutup, misalnya ini yang ditutup dikasihkan Rakyat Merdeka untuk ngelola. Saya yakin juga nggak akan jadi smelter dalam waktu semalam. Yakin saya. Ini realita yang harus dihadapi, kalau mau di-enforce ya dulu tahun 2014 di-enforce.

Memangnya pemerintah tidak punya opsi lain selain relaksasi?

Ya sekarang saya tanya, nase­hatnya Rakyat Merdeka apa... Nah... Saya kira tetap tidak sang­gup membangun smelter dalam semalam. Pasti juga lima tahun.

Sembari menunggu smelt­ernya selesai, konsentratnya kan bisa untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri. Kan nggak harus ekspor?
Untuk apa di dalam negeri, ka­lau nggak bisa diolah. Ditumpuk gitu saja.

Apa negara tidak bisa bikin pengecualian, semisal dengan menyerahkan pengelolaan kepada BUMN?

Itu bertentangan dengan un­dang-undang dong. Ini bukan soal nasionalisasi lho, ini soal fair practice mengikuti perun­dang-undangan yang ada.

PP ini sudah dikonsultasi­kan ke DPR?
Pembuatan PP dan juga Permen (Peraturan Menteri) itu kita sudah berkonsultasi dengan pimpinan Komisi VII, baiknya apa yang harus dilakukan ke depan. Karena yang harus dih­adapi adalah penerapan undang-undang yang konsisten, dan realita selama ini.

Apa poin penting di PP ini?
Pertama, poin penting dalam PP Nomor 1 tahun 2017 adalah perubahan ketentuan tentang divestasi saham sampai den­gan 51% secara bertahap. Ini penting,dan instruksi Presiden bahwa dengan diterapkannya PP ini maka semua pemegang KK (Kontrak Karya) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) itu wajib tunduk kepada Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, yang wajib itu melakukan divestasi saham sampai 51 persen. Secara bertahap memang jadi mungkin 30 persen dulu, jangka waktu 10 tahun sejak berproduksi. Secara mayoritas sesuai perjanjian KK dan sesuai undang-undang bahwa secara mayoritas itu akan dikuasai negara, dan paling kurang dikuasai oleh BUMN.

Selanjutnya...
Kedua, perubahan jangka waktu permohonan perpanjanganuntuk IUP dan IUPK, paling ce­pat lima tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha. Kalau untuk pertambangan mineral logam, itu pembahasan tdk mungkin sebelum dua tahun berakhir. Ketiga, pemerintah mengatur tentang harga patokan penjualan Minerba. Kita yang akan menentukan patokannya gimana. Keempat, kita juga me­wajibkan dalam PP ini pemegang KK itu untuk mengubah izinnya, jadi dari yang dulunya contract of work, itu menjadi rezim per­izinan IUPK. Ini tidak wajib, kalau mau KK terus tidak apa. tapi kalau KK di pasal 170 UU Minerba, itu dalam lima tahun wajib mengadakan pengolahan dan pemurnian. Tapi kalau tidak, itu wajib mengubah jadi izin usaha, bentuknya IUPK. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA