Namundari total 542 daerah provinsi, kabupaten dan kota itu, ada 57 daerah yang kena sanksi penundaan penyaluran DAU. Anggarannya dipangkas antara 15 sampai 20 persen.
Lantas apa sebabnya? Berikut penjelasan Boediarso Teguh Widodo, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan;
Kenapa pemangkasan DAU itu bisa kembali terjadi?Itu karena ada beberapa daerah,57 daerah yang laporan, realisasi anggaran, dan kebutuÂhan anggaran operasional untuk tiga bulan itu, kalau mereka nggak menyampaikan laporan dikenakan denda, yaitu dendanÂya berupa penundaan dari DAU sebesar 15 sampai 20 persen. Nah 57 daerah itulah yang keÂbetulan tidak menyampaikan itu, konsekuensinya ditunda 15-20 persen dari DAU-nya.
Salah siapa ini sebenarnya?Jadi ini memang salahnya daerah. Kalau mereka segera menyampaikan laporan yang sesuai dengan peraturan perunÂdang-undangan ya kita akan segera salurkan. Tapi selama tidak patuh pada aturan main, kita akan kenakan sanksi penundaan. Itu saja sebetulnya.
Dari daerah apa kendalanya?Ya nggak tahu. Kan mereka sendiri yang tahu. Kalau kita, seÂlama mereka nggak menyampaiÂkan ya sudah. Dan itu kan sudah berlaku sejak lama. Tiap bulan ada saja daerah yang terlambat menyampaikan, gitu.
Dengan denda pemangkasan DAU ini tentunya akan berÂimplikasi pada pembangunan di daerah. Ini bagaimana?Kan hanya 15 persen dari total DAU, ya ndak ada apa-apanya lah. Kalau mereka nggak patuh pasti kita akan kenakan sanksi, gitu aja. Jadi mereka harus disiÂplin, gitu. Jangan minta uangnya saja.
Tapi ini kayaknya bukan kali pertama terjadi?Tiap bulan pasti ada daerahyang nggak patuh. Selama mereka nggak menyampaikan laporan, ya nggak akan kita saÂlurkan.
Apa tidak ada pendampinÂgan atau upaya pro-aktif dari pusat ke daerah untuk memÂperbaiki masalah ini?Oh sudah, kita sudah pro-aktif, sudah ngingatin. Sudah kita kasih Bimtek (bimbingan teknis). Kita sudah cukup pro-aktif, kadang-kadang kita kirim staf untuk ke sana untuk melihat persoalannya apa, kendalanya apa, kita bantu. Kita sudah sangat-sangat baik itu.
Mungkin kendalanya justru lantaran adanya konflik poliÂtik anggaran antara eksekutif dengan legislatif barangkali?Ya nggak. Ya hanya karena malas saja. Kan sama saja itu, bayar termin mestinya pekerÂjaannya selesai, kemudian diangÂgap gagal gitu, rekanan. Kayak gini ini kewajiban, itu otomatis itu DPPKAD (Dinas Pendapatan Pengelolan Keuangan Aset Daerah) tiap bulan harusnya bikin, di-
record, dicatat, dibuat jurnal, dibuat buku besar. Itu kan sudah kewajiban rutinnya merÂeka, sesuai aturannya akutansi, tinggal lapor saja kok susah.
Lalu, dana denda ini akan dialihkan ke mana?Mereka itu kan harusnya ada penundaan DAU, itu pun mesÂtinya bulan September-Oktober itu kita bayarkan pertengahan bulan ini itu sudah kita lunasi bahkan sampai tahun kemarin. Mereka itu kelebihan likuiditas sekarang ini sebetulnya. Yang harusnya bulan September dan Oktober yang kita tunda dua bulan itu, itu sekarang ini akhir tahun sudah kita salurkan. Jadi kondisinya kayak gitu.
Masak pemangkasan itu ngÂgak berdampak signifikan sih?Ya nggak. Malah daerah-daerah yang ditunda itu mereka terimanya
double, tiga bulan sekaligus. Januari, kemudian yang harusnya pertengahan Oktober dan November itu sekaÂrang malah sudah dicairkan akhir tahun kemarin. Dan itu pasti akan jadi Silpa (sisa lebih perhitungan anggaran).
Kok bisa dipastikan Silpa?Kalau dicairkan akhir tahun, kemudian tidak dibelanjakan kan akhirnya menjadi silpa. Bisa lebih pembiayaan itu bisa langÂsung digunakan untuk APBD tahun berikutnya. Itu sebenarnya sudah kita bayar Rp 9,7 triliun untuk 169 daerah.
Apa masalahnya lantaran daya serap anggaran daerah tersebut memang rendah?Kalau daya serap anggarannya rendah, saya laporan APBD-nya belum terima. Tapi yang jelas kaÂlau ya DAU-nya kita bayar yang seharusnya pertengahan Januari, kita bayar akhir Desember ya tentu dia pasti punya kelebihan likuiditas, gitu. Jadi pada saat akhir tahun kemarin, kita itu baÂyar DAU bulan Januari ditambah dengan DAU bulan Oktober dan September yang ditunda. Tiga bulan sekaligus, di 169 daerah tadi. ***
BERITA TERKAIT: