Kendatiogah mengomentari manuver Ahok, Juri tak mau menunggu putusan judicial review yang diajukan Ahok ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal yang mewajibkan cuti bagi calon petahana. "Pokoknya undang-undang yang belum di batalkan masih berlaku," tamÂbahnya.
Saat ini, jelas Juri, di dalam Undang-Undang Pilkada disÂebutkan adanya kewajiban atau keharusan mengajukan cuti. Tetapi undang-undang tersebut tidak menyebut adanya sanksi bagi petahana yang enggan menÂgajukan cuti. Berikut wawancara selengkapnya;
Sikap Ahok yang menolak ambil cuti, tanggapan anda?Kita kan nggak bisa punya pandangan orang per orang. Kita kan bangun sistem.
Kalau aturannya secara keseluruhan?Analisis politik itu, nggak boleh.
Kok analisis politik, aturanÂnya bagaimana?Aturannya itu kan kepala daerÂah yang belum menjabat dua kali pada jabatan yang sama, itu boleh menjadi calon. Siapa saja.
Bukan masalah boleh atau tidak menjadi calon, tapi boleh atau tidak petahana tidak amÂbil cuti?Ya itu nanti dibahas di peraturan kampanye. Kan belum ada. Belum bahas itu. Kan tahapannya belum jalan, masih lama. Oktober.
Jadi KPU belum punya aturan itu?Sudah, cuma kan belum ditetapkan. Sesuatu yang belum ditetapkan nggak boleh menjadi pendapat resmi.
Apa mau menunggu putuÂsan MK dulu?Tahapan nggak boleh menungÂgu suatu proses yang belum pasti dong. Pokoknya undang-undang yang belum dibatalkan masih berlaku.
Ada sanksi nggak jika menoÂlak cuti?Kalau di undang-undang tidak menyebut sanksi.
Apa hal penting yang perlu diperhatikan oleh semua pihak dari tahapan-tahapan pilkada serentak ini?Pokoknya yang paling penting adalah tahapan ini akan segera masuk tahapan pemutakhiran pemilih, pencalonan, verifikasi faktual. Makanya harus segera peraturannya selesai.
Maunya KPU, paling telat kapan?Tadi sudah diputuskan 15 September. Kita sih lebih cepat lebih senang. Yang bikin tidak cepat kan bukan KPU.
Soal potensi DPT ganda baÂgaimana mengantisipasinya? Nanti mau dibahas di peÂmutakhiran pemilih. Belum.
Terkait masa berlaku e-KTP seumur hidup, itu apa tidak menimbulkan persoalan baÂru? Misalnya jika pemiliknya meninggal dunia apa bisa dipastikan tidak disalahgunaÂkan oleh pemilih fiktif ketika Pilkada?Lho kan, administrasi kepenÂdudukan pemerintah sudah punya mekanisme untuk meÂnyeleksi penduduk kan. Pindah, mati, lahir itu ada catatannya semua.
Tapi celah untuk menyalahÂgunakannya e-KTP seumur hidup kan masih terbuka?Pemerintah sudah menjamin, ya kan. Administrasi kepenÂdudukannya sudah ada. Jadi mengenai perkembangan penÂduduk itu ada catatannya seÂmua.
Memangnya bisa dideteksi jika ada yang menyalahguÂnakan?Ya bisa dong. Pasti itu. Masak nggak bisa secanggih itu.
Belajar dari Pilkada taÂhun lalu, kasus DPT (Daftar Pemilih Tetap) ganda masih banyak bertebaran hampir di seluruh daerah di Indonesia. Kok Anda begitu yakin pemiÂlih e-KTP fiktif bisa dideÂteksi?Ya memang nggak boleh milih lebih sekali. Makanya ada tinta, ada waktu dibatasi dia memilih di situ. Kan ada daftar pemilih, ada datanya.
Jangan ditanya terus, memang begitu. Kalau mau pertanyaan tambahan terus pasti ada. Nanti kalau orangnya mati bagaimana, kalau mati hidup lagi bagaimaÂna... He-he-he. ***
BERITA TERKAIT: