WAWANCARA

Irjen Antam Novambar: Banyak Pelaku Tindak Pidana Menggunakan Obat-obatan Palsu Sebelum Lakukan Kejahatan

Rabu, 07 September 2016, 10:00 WIB
Irjen Antam Novambar: Banyak Pelaku Tindak Pidana Menggunakan Obat-obatan Palsu Sebelum Lakukan Kejahatan
Irjen Antam Novambar/Net
rmol news logo Bareskrim Polri bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menggerebek lima gudang produksi obat palsu di Balaraja, Banten. Penggerebekan dilakukan se­bagai tindak lanjut dari penye­lidikan produksi dan peredaran obat palsu sejak delapan bulan lalu. "Bermula dari temuan kecil, informasi kecil, dikembangkan se­hingga kami dapat langsung meng­gerebek tempat tersebut," ujar Wakil Kepala Bareskrim Polri Irjen Antam Novambar di Bareskrim Polri, Jakarta, kemarin.

Antam menyatakan, dari lima gudang ini ditemukan lebih dari 42 juta butir obat palsu. Petugas juga menemukan alat produksi obat ilegal tersebut. "Kami juga menemukan bahan baku obat, bahan kemasan, produk jadi obat, dan obat tradisional siap edar," kata dia. Berikut wawancara selengkapnya:

Jenis obat ilegal yang berha­sil diamankan apa saja?
Obat-obatan tersebut antara lain Carnophen, Trihexyphenydyl, Heximer, Tramadol, dan Somadryl. Trihexyphenydyl dan Heximer itu obat pereda rasa sakit untuk mengobati penya­kit parkinson. Obat penenang sebetulnya, tapi kalau dipakai berlebihan sangat berbahaya. Tim gabungan juga menemu­kan jenis obat Carnophen yang memiliki kandungan bahan aktif Carisprodol, dan jika sering digunakan akan menimbulkan efek halusinasi. Selain itu uga ditemukan Dextrometorphan yang merupakan obat antitusif, atau obat batuk.

Kalau obat tradisionalnya?
Untuk obat tradisional yang dipalsukan antara lain bermerek Pa’e, African Black Ant, New Anrat, Gemuk Sehat, dan Nangen Zengzhangsu. Sebetulnya bahan bakunya adalah tumbuhan herb­al. Tapi pelaku menambahkan bahan kimia berbahaya.

Apa efek dari obat-obatan tersebut?
Obat -obatan itu sering dis­alahgunakan untuk menimbul­kan efek halusinasi. Akibatnya, obat-obatan itu sering jadi pe­nyebab gangguan keamanan, seperti perkelahian. Banyak pelaku tindak pidana yang men­gaku menggunakan obat-obatan palsu tersebut sebelum melaku­kan kejahatan.

Obat-obatan itu banyak beredar dimana?

Kebanyakan di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Selatan. Petugas di sana melapor­kan beberapa kejadian perkela­hian dipicu oleh konsumsi obat-obatan tersebut. Tapi peredaran­nya sendiri sangat luas, yaitu dari Sabang sampai Merauke.

Modusnya seperti apa?

Modus yang digunakan pelaku kejahatan ini adalah dengan memproduksi obat yang sudah dibatalkan nomor izin edarnya. Semua produk obat tradisional merupakan produk tanpa izin edar. Pelaku mencantumkan nomor izin edar fiktif. Kemudian mereka juga memalsukan obat yang telah memiliki izin edar, serta mencampur bahan kimia obat dalam obat tradisional. Contohnya Carnophen dan Somadryl. BPOMsudah mengh­entikan izin edar obat yang han­ya mengandung Carisoprodol sejak 2013.

Cara peredarannya ba­gaimana?
Penyebaran hanya secara lisan hingga diedarkan ke warung-warung. Sebaran yang luas itu tak lain karena harganya yang murah. Satu tablet obat palsu dan ilegal itu hanya dihargai Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Obat-obatan ilegal ini, diduga menargetkan konsumen dari kalangan masyarakat bawah, karena harganya yang cukup murah itu.

Sudah berapa tersangka yang ditahan dalam kasus ini?
Belum ada tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini. Hingga saat ini, Bareskrim Polri masih melakukan pengemban­gan dengan pemeriksaan para saksi. Sejauh ini sudah ada 15 saksi yang diperiksa.

Apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh Bareskrim Polri?
Selain memeriksa saksi, kami juga akan terus bekerja sama dengan institusi terkait ter­masuk BPOM, guna melakukan pengembangan. Sebab sebaran­nya cukup luas, bahkan di selu­ruh wilayah Indonesia. Artinya akan sangat berbahaya bagi masyarakat jika tidak segera diberantas.

Nantinya para pelaku akan dijerat dengan pasal apa?
Kemungkinan Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2006, hukuman yang dikenakan bagi para pengedar dan pembuat obat ilegal dan palsu mencapai 10 tahun penjara, serta denda Rp 1 miliar.

Selain pasal tersebut, para pelaku juga bisa dikenakan Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2006 yang lebih berat, yakni hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA