Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf menuturkan, eksekusi mati merupakan bentuk pengÂingkaran negara terhadap penÂegakan HAM. Dalam Nawacita, Presiden Jokowi bahkan meneÂkankan penghormatan terhadap HAM.
"Kita berharap presiden tidak mengingkari janji politiknya, dan bisa memerintahkan agar hukuman mati tidak diterapÂkan di Indonesia," ujarnya, di Jakarta.
Al Araf menerangkan, saat ini dalam revisi KUHP yang sedang berlangsung, hukuman mati seÂdang digeser dari pidana pokok menjadi pidana alternatif. Selain itu, terpidana mati yang sudah dihukum lebih dari 10 tahun hukumannya akan diringankan menjadi seumur hidup.
"Ketika pemerintah menyerÂahkan draf revisi KUHP ke DPR kita bisa melihat adanya niat politik untuk menggeser posisi hukuman mati," katanya.
Seharusnya, sebelum revisi KUHP disahkan pemerintah tidak melakukan eksekusi mati. Al Araf menekankan, sangat berbahaya jika eksekusi mati diterapkan daÂlam situasi peradilan yang marak dengan unfair trial.
Menurut Al Araf, jauh lebih baik jika presiden fokus pada perbaikan sistem dan tata penÂegakan hukum. "Bila hukuman mati diterapkan dan belakangan ada salah penghukuman tentu ini tidak bisa dikoreksi," tekannya.
Imparsial melihat, dalam konÂteks efek jera hukuman mati ternyata tidak mampu menguÂrangi angka kejahatan. Meski sejumlah terpidana sudah diÂhukum mati, angka kejahatan terorisme dan narkotika ternyata tidak berkurang.
"Jangan sampai hukuman mati bernuansa politis seperti yang terjadi di era Orde Baru, pemerÂintah harus mencari jalan yang lebih baik," tandasnya.
Peneliti Imparsial, Evitarossi Budiawan menyebutkan, dalam sistem peradilan yang buruk, ekÂsekusi mati sangat rentan melangÂgar hak-hak terpidana. Dalam kaÂsus terpidana mati kasus Zulfiqar Ali, yang bersangkutan ternyata tidak mendapatkan pendampinÂgan kuasa hukum selama sebulan setelah penangkapan.
Ali yang merupakan warga negara Pakisan ditangkap pada November 2004 atas kepemilikan 300 gram heroin. Pada Juni 2005, Ali dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang. "Baru di pengadilan, hakim meÂminta agar Ali didampingi oleh pengacara," katanya.
Di pengadilan juga terungÂkap bahwa foto di Bukti Acara Pemeriksaan (BAP) Ali ternyata bukan foto yang bersangkutan. Bahkan saksi kunci, Gurdip Singh belakangan menarik keÂsaksiannya dengan menyatakan Ali bukan pemilik 300 gram heroin tersebut.
Evita menerangkan, banyak dugaan proses hukum yang tidak adil atau unfair trial dalam kasus tersebut. Mulai dari tidak adanya surat penangkapan dan penggeledahan saat Ali ditangÂkap hingga dibatasinya akses terpidana ke pihak keluarga.
"Imparsial melihat unfair trial ini tidak hanya dialami Zulfiqar Ali, tapi juga diduga terjadi pada kasus-kasus lain, seperti kasus Zainal Abidin yang telah dieksekusi pada 2015 dimana berkas permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang bersangkuÂtan terselip selama 10 tahun di Pengadilan Negeri Palembang," sebutnya.
Pengacara Zulfiqar Ali, Saut Edward Rajagukguk menuturÂkan, kliennya dihukum mati dengan barang bukti 300 gram heroin yang 50 persennya diopÂlos dengan panadol. "Jadi Ali ini bukan anggota sindikat narkoba yang punya pabrik dan mengeÂdarkan narkoba," katanya.
Langkah hukum pun sudah diÂlakukan, termasuk mengajukan PK pada 2013 lalu, namun ditoÂlak. Saat pihak Ali mau mengaÂjukan PK kedua malah terbentur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung yang melarang PK lebih dari satu kali. "Dulu PK bisa berkali-kali, sekarang malah tidak bisa, inilah yang namanya tidak adil," kecamnya.
Saut mengaku mendapat telÂpon dari Kedubes Pakistan yang mendapatkan notifikasi bahwa Zulfiqar Ali masuk ke dalam daftar eksekusi mati gelombang III. Menurutnya, saat ini Ali tengah dirawat di Rumah Sakit Cilacap karena yang bersangkuÂtan mengidap hepatitis B kronis, batu ginjal, dan diabetes.
"Jadi saat ini klien saya tidak beÂrada di Nusakambangan, bahkan kita meminta agar Ali dirawat di Jakarta agar mendapat perawatan dari dokter spesialis," ujarnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo menyampaikan bahwa hukuman mati adalah wewenang penegak hukum. Sepanjang hukuman mati masih diatur dalam hukum pidana di Indonesia.
"Sepanjang pidana positif masih mengatur pidana mati. Fakta bukti jelas, sudah inkÂracht, tidak ada lagi hak hukum yang bersangkutan harus diÂtunggu lagi, apa lagi yang mau kita permasalahkan?" katanya di Jakarta, Jumat (22/7). ***
BERITA TERKAIT: