Hukuman Mati Rentan Langgar Hak-hak Terpidana

Imparsial Terus Bersuara Lantang

Kamis, 28 Juli 2016, 08:10 WIB
Hukuman Mati Rentan Langgar Hak-hak Terpidana
foto:net
rmol news logo Jelang eksekusi mati gelombang III, kalangan aktivis HAM terus menyerukan agar pemerintah membatalkan rencana tersebut.
 
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf menuturkan, eksekusi mati merupakan bentuk peng­ingkaran negara terhadap pen­egakan HAM. Dalam Nawacita, Presiden Jokowi bahkan mene­kankan penghormatan terhadap HAM.

"Kita berharap presiden tidak mengingkari janji politiknya, dan bisa memerintahkan agar hukuman mati tidak diterap­kan di Indonesia," ujarnya, di Jakarta.

Al Araf menerangkan, saat ini dalam revisi KUHP yang sedang berlangsung, hukuman mati se­dang digeser dari pidana pokok menjadi pidana alternatif. Selain itu, terpidana mati yang sudah dihukum lebih dari 10 tahun hukumannya akan diringankan menjadi seumur hidup.

"Ketika pemerintah menyer­ahkan draf revisi KUHP ke DPR kita bisa melihat adanya niat politik untuk menggeser posisi hukuman mati," katanya.

Seharusnya, sebelum revisi KUHP disahkan pemerintah tidak melakukan eksekusi mati. Al Araf menekankan, sangat berbahaya jika eksekusi mati diterapkan da­lam situasi peradilan yang marak dengan unfair trial.

Menurut Al Araf, jauh lebih baik jika presiden fokus pada perbaikan sistem dan tata pen­egakan hukum. "Bila hukuman mati diterapkan dan belakangan ada salah penghukuman tentu ini tidak bisa dikoreksi," tekannya.

Imparsial melihat, dalam kon­teks efek jera hukuman mati ternyata tidak mampu mengu­rangi angka kejahatan. Meski sejumlah terpidana sudah di­hukum mati, angka kejahatan terorisme dan narkotika ternyata tidak berkurang.

"Jangan sampai hukuman mati bernuansa politis seperti yang terjadi di era Orde Baru, pemer­intah harus mencari jalan yang lebih baik," tandasnya.

Peneliti Imparsial, Evitarossi Budiawan menyebutkan, dalam sistem peradilan yang buruk, ek­sekusi mati sangat rentan melang­gar hak-hak terpidana. Dalam ka­sus terpidana mati kasus Zulfiqar Ali, yang bersangkutan ternyata tidak mendapatkan pendampin­gan kuasa hukum selama sebulan setelah penangkapan.

Ali yang merupakan warga negara Pakisan ditangkap pada November 2004 atas kepemilikan 300 gram heroin. Pada Juni 2005, Ali dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang. "Baru di pengadilan, hakim me­minta agar Ali didampingi oleh pengacara," katanya.

Di pengadilan juga terung­kap bahwa foto di Bukti Acara Pemeriksaan (BAP) Ali ternyata bukan foto yang bersangkutan. Bahkan saksi kunci, Gurdip Singh belakangan menarik ke­saksiannya dengan menyatakan Ali bukan pemilik 300 gram heroin tersebut.

Evita menerangkan, banyak dugaan proses hukum yang tidak adil atau unfair trial dalam kasus tersebut. Mulai dari tidak adanya surat penangkapan dan penggeledahan saat Ali ditang­kap hingga dibatasinya akses terpidana ke pihak keluarga.

"Imparsial melihat unfair trial ini tidak hanya dialami Zulfiqar Ali, tapi juga diduga terjadi pada kasus-kasus lain, seperti kasus Zainal Abidin yang telah dieksekusi pada 2015 dimana berkas permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang bersangku­tan terselip selama 10 tahun di Pengadilan Negeri Palembang," sebutnya.

Pengacara Zulfiqar Ali, Saut Edward Rajagukguk menutur­kan, kliennya dihukum mati dengan barang bukti 300 gram heroin yang 50 persennya diop­los dengan panadol. "Jadi Ali ini bukan anggota sindikat narkoba yang punya pabrik dan menge­darkan narkoba," katanya.

Langkah hukum pun sudah di­lakukan, termasuk mengajukan PK pada 2013 lalu, namun dito­lak. Saat pihak Ali mau menga­jukan PK kedua malah terbentur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung yang melarang PK lebih dari satu kali. "Dulu PK bisa berkali-kali, sekarang malah tidak bisa, inilah yang namanya tidak adil," kecamnya.

Saut mengaku mendapat tel­pon dari Kedubes Pakistan yang mendapatkan notifikasi bahwa Zulfiqar Ali masuk ke dalam daftar eksekusi mati gelombang III. Menurutnya, saat ini Ali tengah dirawat di Rumah Sakit Cilacap karena yang bersangku­tan mengidap hepatitis B kronis, batu ginjal, dan diabetes.

"Jadi saat ini klien saya tidak be­rada di Nusakambangan, bahkan kita meminta agar Ali dirawat di Jakarta agar mendapat perawatan dari dokter spesialis," ujarnya.

Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo menyampaikan bahwa hukuman mati adalah wewenang penegak hukum. Sepanjang hukuman mati masih diatur dalam hukum pidana di Indonesia.

"Sepanjang pidana positif masih mengatur pidana mati. Fakta bukti jelas, sudah ink­racht, tidak ada lagi hak hukum yang bersangkutan harus di­tunggu lagi, apa lagi yang mau kita permasalahkan?" katanya di Jakarta, Jumat (22/7). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA