KPU berniat mengoreksi hasil perbaikan undang-undang terseÂbut. Nanti setelah diundangkan, KPU bakal secepatnya mengaÂjukan uji materiil (
judicial reÂview) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap undang-undang tersebut.
KPU merasa keberatan denÂgan Pasal 9 undang-undang tersebut, lantaran dinilai bertenÂtangan dengan visi KPU dalam UUD '45 yang bersifat tetap dan mandiri. Termasuk juga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bertugas mengadili dugaan pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu.
Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie mengutarakan kekecewaannya terhadap produk DPR tersebut. Berikut penuturan bekas Ketua Mahkamah Kosntitusi (MK) yang kini memimpin DKPP terkait hasil revisi Undang-Undang Pilkada;
Benar Undang-Undang Pilkada yang sudah disahkan itu tidak memuaskan?Ya pokoknya kita kalau suÂdah disahkan, ini kan berlaku mengikat. Jadi KPU, Bawaslu, DKPP ikut saja.
Konkretnya, pasal apa saja yang tidak memuaskan itu?Banyak yang tidak memuasÂkan. Tapi nggak usah dibicaraÂkan. Udah jadi mau diapain.
Satu saja, poin yang kira-kira paling riskan dalam revisi Undang-Undang Pilkada kali ini?Ya yang ditakutkan itu soal independensi. Tapi saya tidak menganjurkan KPU yang memÂpersoalkan. KPU nggak usah terlibat di dalam pembentukan undang-undang. Kita laksanakan apa yang ada saja
Jika ada poin Undang-Undang Pilkada itu menginterÂvensi independensi KPU, apa benar KPU bisa bikin aturan sendiri dan mengabaikan undang-undang tersebut?Nggak. Tidak bisa. Dia harus menjabarkan aturan yang ada. Nggak bisa dia (KPU) ngarang sendiri.
Jadi bagaimana jalan keluarnya?Ya bisa
judicial review.KPU yang mengajukan?Tapi jangan KPU yang ngaÂjuin. Biar masyarakat, nggak apa-apa. Kalau KPU kan hanya pelaksana undang-undang. Jadi lebih baik dia tidak usah meÂlibatkan diri. Walaupun secara hukum bisa. Tapi saya anjurkan janganlah, biar masyarakat aja.
Pastinya jangan KPU?Jangan KPU. KPU kan hanya pelaksana undang-undang. Jadi lebih baik biar masyarakat saja yang mengajukan judicial reÂview, kalau memang dianggap itu mengganggu independensi KPU.
Dari tahun ke tahun, produk undang-undang khususnya soal pilkada seringkali tidak memuaskan banyak pihak?Iya. Kalau sudah jadi apa boleh buat.
Caranya agar ke depan tidak terulang?Caranya ya
judicial review. Dibatalin (undang-undang), bisa. Tapi yang mengajukan jangan pelaksana undang-unÂdang. Tidak baik. Lebih baik masyarakat saja. Karena KPU hanya pelaksana undang-unÂdang.
Apa judicial review masih memungkinkan. Bukankah waktunya sudah sangat singÂkat?Ada apa dengan waktu. Nggak ada masalah. Kan ada aturan peralihan. Nggak usah terlalu ditakuti oleh jadwal.
Tapi tahapan-tahapan Pilkada kan harus terus berÂjalan, dengan begitu waktunya semakin mepet...Itulah yang menjadi masalah. Karena ditakut-takuti oleh jadÂwal, maka semua orang lalu mau cepet-cepet.
Jadi?Dalam perubahan hukum itu ada prinsip universal, namanya aturan peralihan. Jadi tidak ada masalah sebetulnya. Tidak usah dipatok ngejar target waktu. Itu menyebabkan tidak utuh cara melihat upaya melakukan konsolidasi aturan pemilu itu jadi sepenggal-sepenggal terus menerus dari dulu begitu.
Padahal kita ini sudah reÂformasi 18 tahun, masak bikin undang-undang lima tahun, lima undang-undang dibikin terus menerus. Jadi habis waktu kita, tidak berjangka panjang meÂmikirkan sistim pemilu kita.
Tapi memang banyak yang mengkhawatirkan revisi Undang-Undang Pilkada denÂgan jadwal tahapan Pilkada yang mepet?Maka sebetulnya semua pemÂbentuk undang-undang, juga semua pakar, juga semua LSM sering salah paham dengan jadÂwal tahapan, seakan-akan janÂgan membuat undang-undang melampaui batas tahapan.
Padahal hukum itu ada aturan universal dengan ketentuan peralihan. Nggak ada masalah perubahan hukum kapan saja. Supaya kita jangan diganggu oleh agenda yang sepenggal-sepenggal.
Jadi, baiknya sekarang baÂgaimana?Nah, sekarang sudah kadung, sudah jadi RUU-nya. Sudah disahkan. Tapi dengan semangat sepenggal-sepenggal. Jadi nggak sempurna. Tapi nggak apa-apa. Yang penting kita laksanakan apa yang sudah ditentukan unÂdang-undang. ***
BERITA TERKAIT: