Sebuah kapal nelayan beruÂkuran sedang, bercat hijau, mendekati Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. Beberapa nelayan berdiri di pinggir perahu itu, sambil meÂmegang tali. Mereka bersiap meÂnyandarkan kapal ke pelabuhan. Tali tersebut dibutuhkan untuk menambatkan kapal itu.
Setelah kapal merapat, neÂlayan lain mengangkat beberapa kotak berwarna kuning. Mereka lalu menyerahkan kotak tersebut kepada rekannya yang berdiri di pinggir Dermaga Muara Angke. Ikan berjatuhan dari kotak, keÂtika mereka memindahkannya ke pinggir dermaga.
Mereka kemudian menyusun semua kotak yang dipenuhi ikan lembang itu. Total ada 35 kotak yang dikeluarkan dari perahu. Semua kotak itu disusun menjadi enam baris, tepat di samping kapal. Semuanya merupakan hasil menjaring ikan dalam jarak 2-3 mil dari pelabuhan Muara Angke. "Kami berangkat jam 7 pagi. Jam 7 malam baru melaut lagi," ujar nelayan, Sarbam.
Sarbam mengatakan, setiap hari ia dan rekan-rekannya melaut dua kali, yaitu pagi hingga sore hari dan malam sampai subuh. Saat malam hari, para nelayan yang menggunakan perahu berukuran sedang itu, bisa melaut hingga ke sekitar kepulauan seribu.
Sebab, saat malam ikan lebih banyak berada di lokasi terseÂbut. Kondisi berbeda terjadi jika melaut pagi hari. Ikan juga cukup banyak berada tak jauh dari pelabuhan, sehingga dirinya tidak perlu jauh berlayar. "Tapi itu sebelum ada pulau reklamasi ya. Setelah direklamasi, ikannya hilang," imbuhnya.
Sarbam menyatakan, sekarang kondisi perairan di sekitar Muara Angke sudah sedikit membaik. Ikan memang masih sedikit akibat adanya proyek reklamasi. Namun, kini sebagian nelayan sudah bisa lebih leluasa menÂcari ikan, karena Pulau G sudah kosong. Tidak ada lagi petugas yang melarang mereka mencari ikan di sekitar pulau itu.
"Sudah dua minggu ini tidak ada aktivitas proyek di pulau itu. Nelayan yang pakai kapal kecil, bisa mencari ikan di sana, tidak ada yang mengusir lagi. Kalau kami tidak bisa, karena perairanÂnya terlalu dangkal," ucap dia.
Menurut Sarbam, para nelayan yang menggunakan kapal kecil, tidak hanya mencari ikan di sekitar pulau itu. Banyak yang memilih untuk menyandarkan kapal, sambil menunggu hasil tangkapan di pulau pasir itu. Sebab, nelayan yang pakai perahu kecil tidak bisa bolak-balik melaut dalam satu hari.
"Boros bahan bakar soalnya. Mereka itu sekali melaut, perginyabeberapa hari. Entah mereka sampai menginap di pulau palsu itu apa tidak," ucapnya.
Sarbam mengaku dirinya tidak mengetahui detail, bagaimana kondisi pulau tersebut saat ini. Sebab, perahu yang dinaikinya, tidak mungkin mendekati pulau, sehingga ia hanya bisa memantau dari jauh. "Itu pun hanya pandangan sekilas ketika kami melewati lokasi tersebut. Biasanya malam atau subuh sehabis mencari ikan di sekitar perairan kepulauan seribu," katanya.
Tapi dari beberapa kali memantau, lanjutnya, tidak ada alat berat lagi di pulau tersebut. Truk, bachoe, dan kapal penyemprot pasir sudah tak tampak. Begitu juga para penjaga pulau yang selalu menggunakan
life jacket oranye. Dari kejauhan, yang tampak hanya hamparan pasir luas. "Selain dereÂtan perahu nelayan yang merapat tentunya," tuturnya.
Kondisi tersebut dibenarÂkan Koordinator Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke (Forkema), Saefudin. Dia menegaskan, Pulau G memang dalamkondisi kosong, sehingga nelayan bisa bebas beraktivitas di sana. "Mulai kapannya tidak tahu.Saya hanya tahu dari kawan-kawan kaÂlau nelayan sudah bisa nyari ikan di sana," tegas pria yang sebeÂlumnya kerap melaut di sekitar wilayah Pulau C dan D ini.
Menurut Saefudin, kondisi ini tak lantas membuat nasib semua nelayan membaik. Pasalnya, aktivitas proyek di Pulau C dan Pulau D masih berjalan normal. Hal itu diketahuinya ketika melaut pada Rabu siang lalu. Ketika itu, dirinya tidak bisa merapat, karena keburu dicegah petugas keamanan pulau.
"Saya mendekat karena sebelÂumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah minta agar aktivitas proyek di kedua pulau itu dihentikan seÂmentara. Tapi dari pantauan kami, tidak demikian," ucapnya.
Seperti diketahui, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melayangkan sanksi administratif berupa penghentian sementara seluruh kegiatan operasional pembanguÂnan Pulau C dan D Mei lalu. PT KNI dilarang untuk melakukan aktivitas selain apa yang diperintahkan pemerintah.
Direktur Jenderal bidang Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan, sanksi administratif berlaku selama 125 hari sampai perusahaan pengemÂbang yang bersangkutan, yakni PT Kapuk Naga Indah (PT KNI) dapat memperbaiki pelanggaÂran dan izin lingkungan terkait pembangunan. Penghentian ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri KLHK.
Berdasarkan pantauannya, backhoe, truk, dan kapal peÂnyembur pasir masih bersiaga di kedua pulau itu. Truk berukuran sedang, bahkan terpantau bolak-balik memindahkan batu. Padahal pemerintah hanya membolehkan mereka untuk membuat kanal pemisah antara Pulau C dan D.
"Pas saya desak, katanya lagi buat kanal. Tapi kalau memang lagi bikin kanal, kok yang diangÂkut truk itu pasir batu, bukan paÂsir. Bikin kanal itu kan dikeruk," terangnya.
Koordinator Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke, Saefudin mengaku tidak bisa memastikan, pekerjaan apa yang tengah dilakuÂkan di kedua pulau itu. Karena dirinya tidak bisa mendekat dari laut atau pun darat. Pasalnya, jemÂbatan penghubung antara Pantai Indah Kapuk dengan pulau reklaÂmasi juga dijaga ketat. Petugas keamanan pulau bersiaga 24 jam di area tersebut. "Coba saja kalau tidak percaya," tandasnya.
Menurut Saefudin, sebetulnyakeberadaan Pulau C dan D inilah yang paling merugikan nelayan Muara Angke. Sebab, ketika pulau tersebut mulai dibangun, pengembang bekerjatanpa memperhatikan lokasi tempat para nelayan membudidayakan kerang hijau. Semua bambu yang digunakan untuk menangkap kerang, patah akibat ditabrak. Sedangkan kerang-kerangnya menghilang karena ombak kaÂpal yang lalu lalang. "Akibatnya, nelayan rugi besar. Sebab, untuk bisa melakukan itu, nelayan memÂbutuhkan modal sekitar Rp 15 juta per orang," tuturnya.
Dia memaparkan, akibat konÂdisi ini, banyak nelayan yang berganti pekerjaan untuk meÂmenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada yang jadi kuli bangunan, pemulung, buruh atau ikut ke kapal besar. Sebab, kapal kecil sudah tidak bisa digunakan lagi untuk mencari kerang di sana.
"Air keruh, ditabur jaring pun tak ada ikan. Pendapatan turun dratis. Ada yang pindah ke perairan ke Sumatera, yakni Lampung," paparnya.
Saefudin menilai, proyek reÂklamasi membuat nelayan kecil semakin terjepit. Biaya untuk melaut bertambah. Biasanya, mereka hanya membutuhkan 20 liter solar, tetapi karena adanya pulau reklamasi, maka perahu mereka membutuhkan 20 sampai 40 liter solar karena jarak yang jauh. Waktu melaut pun otomatis ikut berubah.
"Awalnya, mereka berangkat subuh dan pulang sore hari. Sekarang berangkat subuh, pulangÂnya bisa subuh lagi," jelas dia.
Dia menuturkan, banyak jenis ikan yang telah menghilang dari perairan Muara Angke seperti kerapu. Ikan kembung masih bisa didapatkan disekitar Pulau C dan D. "Paling masih dapat ikan mata belo, ukurannya kecil. Udang sudah lama tidak ada," tandasnya.
Saefudin menyatakan, sejakawal para nelayan sudah ingin melakukan perlawanan keras terÂhadap dibangunnya kedua pulau tersebut. Namun, pihaknya tidak bisa melawan karena pengemÂbang dikabarkan memberikan ganti rugi terhadap nelayan tertentu. "Ada yang cuma diganti Rp 3 juta, Rp 5 juta. Niat perlaÂwanan kami jadi kandas duluan," sesalnya.
Dia mengaku belum tahu langÂkah apa yang akan diambil para nelayan, terkait kondisi Pulau C dan Pulau D itu. Saefudin hanya berharap pemerintah bisa berÂsikap tegas kepada pengembang kedua pulau tersebut.
Sekadar informasi, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendaftarkan gugatan di PTUN terkait pemberian izin reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. KNTI menggugat SK Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Nelayan menilai, reklamasi tersebut berdampak buruk bagi pekerjaan mereka dan dapat merÂusak lingkungan sekitar. Mereka mendaftarkan gugatan ke PTUN pada Selasa, 15 September 2015 dengan Nomor Perkara 193/G.LH/2015/PTUN-JKT. ***
BERITA TERKAIT: