Hari menjelang sore, gemiricik air mengalir tenang. Babeh Idin serius mengamati sungai. Senyumnya mengembang ketika melihat tidak satu pun sampah yang terbawa arus.
Kondisi kali masih alami dan asri. Hanya rimbunan pohon bambu yang menjadi tembok di sepanjang bantaran kali ini. "Kali ini setiap hari dibersihkan warga, jadi selalu bersih," ujar Idin saat ngobrol dengan
Rakyat Merdeka di kawasan Hutan Kota Sangga Buana, Karang Tengah Raya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu (18/5).
Hutan Kota Sangga Buana merupakan kawasan revitalisasi Kali Pesanggrahan dengan konÂsep terpadu yang melibatkan masyarakat sekitar. Tidak hanya kali yang diperhatikan, tapi ekonomi warga sekitar kali juga turut diperhatikan. Seperti, penaÂnaman pohon, peternakan ikan hingga kuda yang menempati areal seluas 120 hektare.
Lokasi hutan tersebut cukup mudah dijangkau karena tidak jauh dari Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Memasuki kawasan hutan, pengunjung langsung dihadapkan dengan dinding warna hitam yang berada di tenÂgah-tengah lapangan. Tulisannya, "Hutan Kota Pesanggrahan Sangga Buana Karang Tengah".
Di belakang dinding itu terdapat 17 tiang yang menyangga bola dunia. Arti Sangga berfungsiuntuk menyangga sesuatu benda yang ada di atasnya. Serta, Buana menyimbolkan bumi atau dunia yang di dalamnya terdapat udara, tumbuhan, air, manusia, satÂwa, dan lain-lain yang harus dijaga dan dirawat serta dilestarikan.
Tidak hanya peternakan, di areal tersebut juga dibangun pondok-pondok kecil yang terÂbuat dari bambu bergaya Betawi. Fungsinya bermacam-macam seperti, tempat tinggal Idin, perpustakaan hingga langgar untuk sholat.
Tidak perlu khawatir, setiap pengunjung bebas masuk ke areal hutan tersebut, tanpa perlu membayar uang sepeser pun. "Pengunjung juga bebas mengambil buah di areal hutan, asalkan tidak merusak pohonÂnya," ujar orang Betawi ini.
Demi memudahkan pengunÂjung, tersedia jalan setapak yang telah dilapisi paving block untuk menghubungkan berbagai fasilitas yang ada di hutan ini. Seperti peternakan ikan, kuda dan kambing.
Jalan setapak juga memperÂmudah pengunjung menjelaÂjahi hutan hingga ke tepi Kali Pesanggrahan yang letaknya cukup jauh. Namun, jika hujan turun, harus ekstra hati-hati karena jalanan licin.
Dalam membangun kawasan Hutan Kota Sangga Buana ini, Idin tidak bekerja sendirian. "Saya meÂlibatkan lima ribu warga sini yang ikut membantu melestarikan kawasan ini," ujar dia.
Berbagai macam fasilitas yang ada di kawasan hutan ini, kata Idin, bermula dari Kali Pesanggrahan yang dikelola dan dirawat selama puluhan tahun. "Pada akhirnya, sungai memÂberikan keberkahan bila dikelola dengan benar," yakinnya.
Bukti berkah Kali Pesanggrahan, kata pria kelahiran 1956 ini, mayoritas warga yang tingÂgal di dekat kali menggantungÂkan hidupnya dari tempat ini. Dia mencontohkan, ada yang beternak ikan, kuda, kambinghingga mengelola sampah. "Setiap hari kami mengelola sampah," tuturnya.
Karena mengelola sampah yang didapat di sepanjang Kali Pesanggrahan, sambung Idin, kesejahteraan warga mulai meningkat. "Paling tidak, mereka bisa mengantongi duit setiap hari dari mengelola sampah. Belum lagi yang beternak kambÂing dan ikan secara swadaya," ucapnya.
Hasil dari seluruh usaha itu, Babeh Idin mengaku tidak meÂnikmatinya sendirian. "Saya di sini cuma menggerakkan. Warga yang jalan," tuturnya.
Idin mengatakan, kecintaanÂnya terhadap Kali Pesanggrahan tidak terjadi secara tiba-tiba. Tapi, sudah berlangsung seÂjak tahun 1981. Mulanya, dia merasa kesal karena sungai yang merupakan tempat bermainÂnya pada masa kecil itu rusak parah. Sampah bertebaran yang mengakibatkan warna sungai kehitam-hitaman.
Kerusakan tersebut, kata pria yang gemar mengenakan pakaÂian khas Betawi ini, karena menjamurnya pembangunan perumahan mewah tidak jauh dari aliran sungai tersebut.
Sebagai bentuk kekesalannya tersebut, Idin berjalan kaki dan naik rakit seorang diri menyusuri Sungai Pesanggrahan dari huluÂnya, yaitu di Gunung Pangrango, Jawa Barat, hingga ke muaranya di Jakarta Utara sejauh 136 kiloÂmeter. "Saya berjalan lima hari enam malam untuk menuntasÂkan perjalanan itu," kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Selama dalam perjalanan, Idin mendapat pelajaran. Seperti, seÂmua rumah dibangun membelaÂkangi sungai. "Sehingga, sungai dijadikan tempat pembuangan sampah," sesalnya.
Selain itu, dia juga rajin menÂcatat pepohonan, ikan-ikan jenis apa, serta satwa apa saja yang hilang akibat perilaku serakah dan jorok manusia. Dia lantas membandingkan kenyataan pahit di sepanjang sungai itu dengan nilai tradisi yang dihayati warga, yang secara turun-temuÂrun tinggal di pinggiran Sungai Pesanggrahan.
"Sudah hilang cerita, jangan suka mengotori sungai, karena sungai tempat mengenal Tuhan. Sedih," tutur Idin dengan mata yang agak basah.
Kendati tujuannya baik, Idin mengaku tidak selamanya apa yang diperjuangkannya mulus di tengah jalan. Banyak cobaan dan kendala dihadapinya.
"Saya pernah diinterogasi aparat. Tapi, saya tidak pernah surut membersihkan Sungai Pesanggrahan," tegasnya.
Idin juga punya pengalaman lain yang tidak mengenakkan selama lebih dari 20 tahun menÂgurusi Kali Pesanggrahan. Suatu ketika, dia menghadapi seorang pejabat yang tinggal di komplek perumahan mewah di dekat bibir sungai. Pejabat tersebut suka membuang sampah semÂbarangan ke kali, kendati sudah berulangkali dinasihati. Pemilik rumah mewah itu akhirnya tersÂinggung karena dinasihati.
"Dia membentak, siapa Kamu! Saya kelompok tani, Pak. Siapa suruh kamu? Nggak ada yang nyuruh Pak," cerita Idin.
Belum puas, sang pemilik rumah mewah itu lantas meÂnanyakan surat keputusan (SK) pengangkatannya sebagai pemÂbersih Kali Pesanggrahan. "Dari mana kamu dapat SK? Saya jawab, dari langit," kenang pria dua anak ini.
Tidak puas, esok harinya Idin meletakkan sejumlah kantong sampah di pagar rumah orang tersebut. "Supaya dia paham, bagaimana rasanya ada sampah di depan hidungnya" cerita Idin berapi-api.
Dalam kesempatan bincang-bincang tersebut, Idin kerap menyebut dirinya "jawara". Maksudnya, bukan orang yang jago berkelahi. "Tapi, bagaimana jawara bisa menjadikan musuh menjadi sahabat," kata dia berfilosofi.
Namun, lanjutnya, jawara harus lurus, ikhlas, berani, benar, tawadu serta menghargai setiap perbedaan pendapat. "Kalau ada orang membenci kita, bukan mereka tidak setuju, tapi karena belum paham," tandasnya.
Idin lantas bercerita awal dirinya terjun membersihkan Sungai Pesanggrahan, dirinya dianggap orang gila. "Tapi kita tak pernah dendam, bersabar, bagaimana akhirnya maksud kita itu dipaÂhami orang lain," ujar Idin.
Di akhir pembicaraan, Idin memberi masukan agar revitalisasi sungai tidak dilakukan Pemprov DKI dengan cara arogan. "Jangan terlalu mudah mengÂgusur warga yang tinggal di banÂtaran sungai, tanpa memberikan solusi konkret," katanya.
Seharusnya, kata pria bertuÂbuh subur ini, pemberdayaan warga di sekitar sungai diperhaÂtikan dengan baik. "Kalau sudah diperhatikan, warga dengan suka hati pindah dari bantaran kali."
Selain itu, Idin juga mengusulkan agar Pemprov DKI melakukan penghijauan berupa penanaman pohon bambu di sekitar bantaran sungai. Soalnya, pohon tersebut efektif untuk menguÂrangi residu dan membuat air sungai menjadi jernih dan berÂsih. "Kalau Pemda butuh saran, saya siap memberi masukan," ucapnya. ***